Jakarta, 29 Oktober 2025 — Komitmen politik dari pucuk pimpinan negara seolah menguap di udara, meninggalkan jutaan pekerja rumah tangga (PRT) dalam bayang-bayang kekerasan dan eksploitasi. Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) hari ini melancarkan tagihan keras kepada Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI: Sahkan RUU PPRT sekarang juga!.
Setelah 21 tahun perjuangan yang terkatung-katung, nasib RUU PPRT kembali terbentur tembok birokrasi dan “kajian kembali,” meskipun puluhan kajian telah dilakukan sebelumnya. Janji Presiden Prabowo pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025, untuk mengesahkan RUU ini dalam waktu tiga bulan, serta janji Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad untuk segera membahasnya, kini hanya dianggap “menguap”.
Mirisnya, pengesahan RUU yang pro-rakyat ini justru disalip oleh RUU BUMN yang disahkan dalam waktu tak sampai sebulan, menunjukkan adanya ketidakseimbangan prioritas antara kepentingan kekuasaan/ kelas atas dengan inisiatif yang pro-rakyat.
Kekerasan Berlanjut, Perbudakan Modern Masih Terjadi
Lita Anggraeni dari JALA PRT menegaskan bahwa RUU PPRT ini masih “diganjal” oleh pimpinan DPR, bahkan menyebut pimpinan DPR telah menjadi “agen perbudakan modern”. Keadaan ini bukan sekadar lambatnya legislasi, tetapi menyangkut hidup dan mati pekerja perempuan.
Selama bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai dimana PRT rentan terhadap perlakuan penuh kekerasan dan eksploitasi, Kekerasan berbasis gender, fisik, seksual, hingga kasus tragis femisida (pembunuhan pekerja perempuan) yang pelakunya seringkali adalah majikan, terus terjadi. Data menunjukkan setidaknya 128 PRT pada tahun 2020-2024 mengalami kekerasan. Jam kerja yang tidak sehat dimana mereka dipaksa bekerja 24 jam penuh tanpa cuti dan istirahat, suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Ajeng dari Perempuan Mahardika menekankan bahwa penundaan ini melambangkan bayangan masa depan perempuan yang diabaikan oleh pemerintah. “Setiap hari selalu ada korban baru,” ujarnya tegas.
Pengakuan Negara atas Pekerjaan yang Fundamental
Eva Kusuma Sundari dari Institut Sarinah menilai 21 tahun pengabaian ini adalah bukti lemahnya DPR dalam memproses RUU PPRT. Padahal, pekerjaan PRT adalah fundamental dan menjadi pondasi bagi struktur ekonomi.
Nadila Yuvitasari dari Kalyanamitra menyoroti pentingnya peran PRT dalam memungkinkan warga lain beraktivitas. Pekerjaan merawat anak dan lansia yang dilakukan PRT, yang seringkali dianggap tidak penting, adalah pekerjaan keperawatan yang esensial.
Pengesahan UU PPRT adalah wujud nyata dari pertama, Pengakuan Negara atas pekerjaan domestik sebagai pekerjaan yang sah, kedua yaitu Perlindungan Inklusif yang akan melindungi tidak hanya PRT perempuan, tetapi juga pekerja laki-laki seperti sopir, dan memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak antara PRT dan majikan. Dan yang ketiga yaitu Hak atas Jaminan Sosial yang akan mendorong perluasan sistem jaminan sosial inklusif, memperbaiki data ketenagakerjaan informal, dan mewujudkan perlindungan sosial universal.
Seruan dan Desakan Komitmen
Koalisi mendesak para pimpinan DPR, khususnya Sufmi Dasco Ahmad yang telah berjanji, dan Puan Maharani agar berkontribusi positif menjadikan UU ini sebagai legasi sejalan dengan amanah Soekarno tentang keadilan sosial.
Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia meminta anggota DPR membaca draf secara utuh untuk memahami bahwa UU ini melindungi kedua belah pihak. Dizi, seorang content creator, menambahkan bahwa tanpa perlindungan di dalam negeri, sulit bagi negara untuk melindungi PRT Indonesia di luar negeri, seperti di Arab Saudi, yang jumlahnya sangat besar.
Syahar Banu dari Jaga Pengasuhan menyerukan para pemberi kerja untuk segera memberikan BPJS Ketenagakerjaan kepada PRT sebagai langkah meringankan beban dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat, bahkan sebelum UU disahkan.
“Ini bukan mengharap belas kasihan, tapi perjuangan yang harus diwujudkan,” tutup Ajeng. Koalisi menegaskan, RUU PPRT harus disahkan sekarang. Pengesahan UU PPRT ini adalah langkah nyata negara menuju pemenuhan hak asasi manusia dan janji melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali.






