Mengakhiri Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas dan Kaum Perempuan Atas Hak Kerja Layak
“Bahwa penyandang disabilitas itu bukan orang sakit, bukan orang yang harus dikasihani, atau menerima kedermawanan terus-menerus. Jika lingkungannya mendukung, penyandang disabilitas tidak akan menunjukan kedisabilitasannya. Dia tidak hanya bisa berkomunikasi tapi juga berkontribusi secara maksimal tanpa hambatan.” Ujar Alifa dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) diskusi publik bertajuk “Penyandang Disabilitas dan Kaum Perempuan Dalam Pemenuhan Hak Pekerjaan yang Layak” pada 9 Desember 2024 di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung.
“Jika kita mengacu pada pengertian disabilitas pada Undang-Undang no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UUPD), Penyandang disabilitas itu adalah mereka yang secara fisik, motorik dan mental mengalami hambatan untuk bisa berinteraksi, berpartisipasi secara penuh, berkontribusi secara efektif dengan lingkungannya atas dasar kesetaraan.” tambah Alifa.
UUPD pun menyebutkan, akan memberikan insentif kepada lembaga dan perusahaan negara maupun perusahaan swasta yang memenuhi hak-hak Penyandang Disabilitas. Sebaliknya, setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang hak Penyandang Disabilitas diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 145).
Namun sayangnya, secara umum para penyandang disabilitas masih mengalami diskriminasi atas hak pekerjaan yang layak. Mereka mengalami tingkat pengangguran yang tinggi, dihadapkan dengan prasangka mengenai produktivitas mereka, dan sering kali dikecualikan dari pasar tenaga kerja. Selain menghadapi diskriminasi pada tahap perekrutan, dan tidak diupah layak. Penyandang disabilitaspun sebagian besar bekerja dengan status kerja yang rentan seperti kontrak untuk meminimalkan risiko bagi pemberi kerja.
Perempuan memiliki peluang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan daripada laki-laki, dan lebih mungkin mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual. Berdasarkan data ILO dengan menggumpulkan survei 1.173 responden di Indonesia disebutkan bahwa 70,93 persen pekerja di Indonesia pernah mengalami atau pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Syarif Arifin dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) sebagai narasumber lainnya menyampaikan paparan dari hasil riset[1] yang telah dilakukannya pada tahun ini. Dari hasil temuan LIPS, diantaranya diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas dimulai dari proses lowongan pekerjaan. Beberapa ciri khas lowongan kerja yang diskriminatif seperti syarat pembatasan usia, kriteria “berpenampilan menarik”, seksis, bahkan ada yang lebih spesifik seperti syarat tidak buta warna. Syarat-syarat seperti ini tentunya akan menyingkirkan kawan-kawan penyandang disabilitas.
“Indonesia sedang mempersiapkan Undang-undang Cipta Kerja, sedangkan lowongan kerjanya seperti ini!” ujar Syarif.
Beberapa tempat kerja telah memperkerjakan Penyandang Disabilitas, namun dalam temuan riset LIPS masih menemukan para penyandang disabilitas yang bekerja hanya diberikan akomodasi yang terbatas untuk bekerja, misalkan untuk teman-teman disabilitas tuli. Hanya mendapatkan akomodasi untuk mendapatkan perintah kerja, tapi tidak diberikan akomodasi untuk berkomunikasi dengan rekan-rekan kerjanya.
Diskriminasi semakin buruk seiring bertambahnya usia. Alifa mengamini bahwa syarat batas usia menjadi salah satu hambatan bagi kawan-kawan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaaan. “Terkait usia, untuk teman teman Disabilitas, itu tidak lulus pada usia rata-rata orang lulus sekolah, banyak faktor dibelakangnya, entah itu faktor keluarga atau ekonomi dan sebagainya. Hal ini menjadikan mereka lulus sekolah pada usia ambang batas maksimal yang menjadi rata-rata syarat diterima bekerja”. Ujar Alifa.
Perempuan Penyandang Disabilitas lebih rentan dan menghadapi beban berlapis; mereka mengalami diskriminasi sebagai Penyandang Disabilitas dan sebagai perempuan. Selain mereka rentan dipecat, terjebak dalam lingkungan hubungan kerja kontrak terus menerus, dipaksa untuk bekerja melebihi kapasitas dan rentan mengalami pelecehan dan kekerasan berbasis gender.
Di-disabilitaskan Negara?
Alifa menyampaikan bahwa masih banyak peraturan atau perundang-undangan di Indonesia yang menggunakan kata-kata seperti cacat. “Karena sejatinya cacat itu seperti menganggap para penyandang disabilitas itu adalah barang yang rusak, terus disortir dan kemudian dibuang saja. Penggunaan kata cacat itu mencerminkan pandangan masyarakat kepada para penyandang disabilitas itu sendiri. “ ujar Alifa.
Alifa menambahkan beberapa hambatan lainnya bagi para pekerja disabilitas. “Kemudian perusahaan-perusahaan yang belum memiliki perspektif penyandang disabilitas, baik itu dari person-nya maupun tempat kerjanya yang tidak menyediakan akomodasi yang layak, tidak ada aksesbilitas yang bisa mengakomodasi pekerja disabilitas. Sehingga seolah-olah penyandang disabilitas tidak produktif, padahal akomodasinya tidak ada.”
Syarif Arifin menjelaskan temuan selanjutnya dari hasil riset LIPS bahwa semua pekerja akan berpotensi menjadi disabilitas dikarenakan kondisi tempat kerja yang tidak aman dan tidak sehat. Mirisnya, para buruh yang menjadi penyandang disabilitas karena kecelakaan kerja ataupun penyakit akibat kerja dapat saja dengan mudah di PHK atau alasan putus kontrak dan alasan-alasan yang dibuat lainnya.
“Didalam kapitalisme tidak ada istilah normal atau tidak normal, yang diperlukan hanya jika dia (buruh) bisa menggerakan mesin produksi dengan ongkos murah, sisanya dibuang semua”. Tambah Syarif.
Kondisi keselamatan dan Kesehatan kerja yang buruk terus menambah jumlah penyandang disabilitas akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, serta masih rentannya perlindungan untuk kembali bekerja (return to work). Meskipun Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa para buruh yang mengalami kecelakaan kerja atau sakit tidak boleh dipecat, namun kepastian untuk kembali bekerja sangatlah rentan karena satus hubungan kerja. Para korban yang menjadi disabilitas dapat dengan mudah dipecat dengan alasan seperti habis kontrak.
Narasumber lainnya Maulida Az-Zahra perwakilan dari LBH Bandung berbagi pengalaman tentang pendampingan hukum kepada para penyandang disabilitas termasuk dalam kasus perselisihan hubungan industrial. Dimana Negara seharusnya menjamin dan memajukan perwujudan penuh semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua penyandang disabilitas tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun atas dasar disabilitas.
“bahkan pada saat itu kami tidak disediakan Juru Bahasa Isyarat. Hambatan dalam advokasi, seharusnya Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Pengawasan Ketenagakerjaan itu sudah aware dengan peraturan terkait perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, terlebih memahami bahwa setiap orang atau warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.” Ujar Maulida.
Perjuangan Menuju Kesetaraan
Selama beberapa dekade terakhir, berbagai pihak termasuk komunitas para penyandang disabilitas telah berjuang dan menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kesempatan kerja, mempertahankan pekerjaan, dan kembali bekerja bagi para penyandang disabilitas. Mendorong pendekatan untuk memerangi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dengan pergeseran dari model “moral” atau “medis” ke pendekatan berbasis hak, dengan fokus pada inklusi sosial mereka dan penghapusan ketidaksetaraan struktural sambil menyediakan akses ke pasar tenaga kerja yang inklusif serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Dari hasil diskusi publik ini, terdapat ketersambungan antara gerakan serikat buruh, Gerakan perempuan, gerakan penyandang disabilitas dan kolektif lainnya untuk mendorong dunia kerja yang inklusif serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Serikat buruh merupakan salah satu aktor penting untuk mendorong perubahan kebijakan ketenagakerjaan di tingkat nasional, di daerah dan di tempat kerja seperti Perjanjian Kerja Bersama (PKB) agar lebih inklusif dan bebas dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
[1] Menuju Human Rights Model, Laporan Riset Pemenuhan Hak Pekerjaan dan Upah Layak bagi enyandang Disabilitas dalam Konteks Pasa Kerja Fleksibel dan Serikat Buruh. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)