Bertahan dan Melawan
Sambil menunjukan jari-jarinya tangannya yang sudah terpotong, Sahroni, menceritakan bagaimana ia sebagai korban kecelakaan kerja diperlakukan seperti barang tak bernilai oleh perusahaan.
Bersama enam orang yang bernasib hampir serupa dengannya, Sahroni duduk, berbagi rasa dan bertukar ide tentang masa depan mereka. Roni, begitu dia biasa dipanggil, kini sudah terbiasa dengan cibiran dari lingkungannya. Begitu pula kawan-kawan yang berkumpul bersamanya. Hari itu semua memulainya dari berbagi pengalaman saat kecelakaan menimpa, dan menceritakan bagaimana penanganan oleh perusahaan.
Difasilitasi oleh Local Initiative for OSH Network (Lion), keenamnya berkumpul untuk saling berbagi, menyatukan rasa dan kehendak untuk bergerak bersama. Mereka adalah para pejuang kesehatan dan keselamatan kerja, walaupun mereka berangkat dari korban-korban yang seringkali diabaikan oleh pengusaha bahkan negara.
“Kita harus menambah jumlah anggota, meningkatkan kualitas dan keterampilan anggota,” kata Roni kepada temannya.
Forum Pejuang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (FPK3) adalah satu-satunya organisasi yang beranggotakan para korban kecelakaan dan penyakit akibat kerja di Indonesia. Kesamaan nasib dan keinginan untuk perubahan menjadi alasan mereka berkumpul dan mengikatkan diri kedalam satu wadah walau berasal dari berbagai perbedaan. Kesamaan perasaan sebagai pekerja yang di abaikan perusahaan saat kecelakaan dan penyakit merenggut kesehatan mereka.
Bukan perkara mudah berada dalam posisi seperti Roni dan kawannya. Tetap bersemangat walau ada anggota badannya yang cacat atau bahkan tahu ancaman kematian berada di depan matanya. Upah yang jauh dari cukup dan ditambah kondisi tubuh yang tidak lagi sempurna ada lah bionic duo yang mematikan. Disaat tuntutan kebutuhan hidup terus meningkat dan tubuh yang tidak lagi prima tentu menambah beban bagi mereka. Belum lagi lingkungan yang belum siap menerima mereka sebagai korban kecelakaan kerja. Hanya keteguhan hati dan cita-cita yang membuat mereka tetap bertahan untuk tidak menyerah terhadap keadaan yang dialaminya.
Perusahaan Menganggap Biasa
Menjadi pemandangan biasa tatkala melihat perusahaan baru akan bertindak jika kecelakaan kerja sudah menjadi konsumsi publik. Di kasus kebakaran pabrik mercon dan pabrik plastik beberapa waktu lalu misalnya, kita tidak pernah akan tahu kalau ternyata perusahaan hanya menyediakan satu jalur keluar-masuk buruh. Itupun buruh masih harus mengalah dengan berbagai barang yang lebih sering menutupi jalur evakuasi.
Atau misalnya, perusahaan baru akan panik jika ratusan orang pekerja melaporkan peristiwa keracunan dari makanan yang disediakan kantin perusahaan. Padahal ketersediaan minuman untuk buruh adalah kewajiban bagi perusahaan. Jangan tanyakan kewajiban perusahaan untuk melaporkan situasi ketenagakerjaan diperusahaannya. Kalau bukan karena desakan, laporan-laporan situasi ketenagakerjaan yang disampaikan perusahaan kepada instansi negara akan sangat timpang dengan kenyataan yang terjadi sehari-hari. Apalagi soal kepatuhan terhadap aturan kesehatan dan keselamatan kerja. Masih sangat sulit bagi kita untuk mengandalkan laporan situasi K3 yang disampaikan kepada pemerintah sekalipun.
Berlomba untuk ditetapkan sebagai perusahaan dengan label “zero accident” berkonsekuensi pada laporan yang telah di “make up,” atau malah tidak ada sama sekali laporan kejadian kecelakaan.
Zero accident yang menjadi kiblat penerapan K3 berkorespondensi dengan sikap perusahaan yang melihat kejadian kecelakaan sebagai keadaan biasa dan tidak perlu dilaporkan. “Setiap pekerjaan pasti ada resikonya,” begitu ungkapan pamungkas perusahaan saat ditanyakan mengapa tidak ada laporan K3 perusahaannya. Demikian pula halnya ketika perusahaan mendapati pekerjanya mengalami kecelakaan yang bahkan berakhir pada kecacatan dan kematian. Sesegera mungkin perusahaan berupaya untuk membungkam pekerjanya dengan uang kerahiman, tali kasih, sumbangan dan sejenisnya. Harapannya tidak ada laporan kejadian kecelakaan dan perusahaan memperoleh prestasi “zero accident.” Menyembunyikan peristiwa kecelakaan menjadi makin dianggap lumrah dalam praktek bisnis tatkala lembaga asuransi tenaga kerja hanya dapat menerima laporan klaim jika secara legal dilakukan oleh perusahaan.
Hampir serupa, pemeriksaan kesehatan pekerja secara rutin yang menjadi kewajiban perusahaan untuk memfasilitasinya dilihat hanya sebatas pemenuhan syarat formal. Lihat misalnya syarat pemeriksaan kesehatan sebelum pekerja mulai bekerja. Tidak adanya pemetaan resiko kesehatan bagi pekerja, membuat perusahaan hanya mengandalkan pemeriksaan umum bahkan minim yang diajukan calon pekerja. Sialnya bahkan perusahaan sendiri tidak melakukan tindakan lanjutan untuk memeriksakan kesehatan pekerja sesuai resiko kesehatan kerja yang akan dihadapi pekerja. Pekerja yang bekerja dengan debu asbes misalnya tidak dilakukan pemeriksaan awal kondisi paru-paru sebelum dan setelah bekerja secara berkelanjutan. Demikian juga pekerja yang menggunakan bahan-bahan kimia yang sangat rentan mempengaruhi kondisi tubuh.
Cara pandang perusahaan terhadap pekerja yang hanya dianggap sebatas aset fisik membuat perusahaan tidak terlalu peduli dengan kondisi kesehatan pekerja kecuali saat sakit. Bahkan disaat pekerja sakit pun, pemeriksa kesehatan seringkali menafikan riwayat kerja pasien. Walhasil, sampai hari ini kita akan kesulitan memperoleh data jenis penyakit dan korban berkaitan dengan bidang usaha perusahaan. Penegakan diagnosa penyakit pekerja di klinik atau puskesmas umum yang tidak mengindahkan riwayat pekerjaan akan sulit menetapkan penyakit akibat kerja.
Walaupun secara formal pemerintah sudah menetapkan puluhan jenis penyakit akibat kerja dan penyakit akibat hubungan kerja melalui Permenakertrans No.01/MEN/19981, namun penegakan diagnosis yang mengarah pada penyakit akibat kerja masih terbilang langka. Tidak dilakukannya pemetaan resiko penyakit oleh perusahaan memperlihatkan dengan nyata bagaimana perusahaan memandang manusia pekerja di perusahaan. Terlebih menganggap biasa penyakit yang muncul karena kerja.
Serikat Pekerja/Buruh Dalam Keterbatasan
Saat individu pekerja berhadapan secara tidak seimbang dengan perusahaan di berbagai isu hak pekerja, maka serikat pekerja/buruh adalah benteng harapan yang tersedia.
Sayangnya, seringkali keberadaan serikat pekerja/buruh masih ditanggapi sebagai lawan bagi perusahan alih-alih sebagai mitra strategis. Serikat masih sering dianggap sebagai ancama bagi perusahaan untuk menerapkan aturan-aturan sesuai kehendaknya. Berbagai upaya mulai dari yang halus berupa promosi jabatan hingga pelarangan aktivitas dengan cara pemecatan pengurus serikat pun dilakukan sebagai upaya menghadapi ancaman.
Perlawanan terhadap upah murah, pesangon, hingga PHK secara semena-mena dari perusahaan masih membuat kebanyakan serikat terfokus menghabiskan waktunya. Sulit dihindari memang kondisi pasar tenaga kerja fleksibel dan murah masih menjadi kiblat pemerintah saat ini dan sangat mungkin berlanjut di masa depan. Kondisi yang demikian membawa arah gerakan buruh menyesuaikan dirinya dengan situasi jaman yang sedang berlangsung.
Jika diperiksa satu-persatu Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dirumuskan buruh untuk menjadi pertarungan politik di perusahaan justru menomorduakan isu kesehatan dan keselamatan kerja. Jika pun ada PKB yang memasukan isu K3 itupun tidak jauh lebih baik dari peraturan-peraturan pemerintah yang telah ada. Atau dengan kata lain, isu K3 di dalam PKB baru sebatas menyalin ulang peraturan yang telah ada, walaupun disadari banyak kelemahan dan kekurangannya.
Di levelan praktis pun kita masih sulit menemukan serikat buruh tingkat pabrik yang berkeras untuk menempatkan anggotanya di dalam pengurus Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3). Pelatihan-pelatihan keterampilan K3 spesialis masih menjadi konsumsi khusus buruh yang dianggap perusahaan “memenuhi kriteria,” sementara banyak buruh yang sudah puluhan tahun bekerja dianggap tidak memenuhi kriteria.
Dengan tidak adanya perwakilan kebanyakan buruh di dalam SMK3 maka tak ayal, penanganan peristiwa kecelakaan dan sakit akibat kerja menjadi terlihat ala kadarnya. Tidak dapat disangsikan kecepatan buruh untuk menangani pertolongan pertama bagi kawannya yang tertimpa kecelakaan. Namun karena tidak dilandasi oleh strategi dan politik K3 yang mapan, maka peristiwa-peristiwa tersebut berhenti hanya sampai kompensasi yang lebih sering berupa uang kadeudeuh, kerahiman, tali kasih atau sejenisnya. Jauh di bawah nilai kesempatan ekonomi yang hilang bagi korban.
Harapan buruh kebanyakan lambat laun terbentuk hanya sebatas upah dan yang setara dengan jual beli keringat. Lebih jauh dari itu sebenarnya buruh juga butuh bekerja secara aman dan sehat demi tetap mempertahankan kesempatan ekonomi dan kemanusiaan yang melekat pada dirinya. Pada titik ini serika masih harus bekerja keras untuk memenangkan politik K3 yang berlandaskan dan berpihak pada pekerjaan yang manusiawi.
Forum Korban Kecelakaan Kerja dan Penyakit akibat Kerja
Dalam kondisi dimana perusahaan akan berpikir soal biaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dan serikat buruh/pekerja masih harus banyak disibukkan dengan perjuangan upah, maka lahirnya FPK3 adalah langkah maju bagi buruh. Ini adalah upaya memecah kebuntuan yang sudah sekian lama berlangsung tanpa perlawanan.
Berkumpulnya para korban Kecelakaan kerja dan Penyakit akibat kerja yang dibangun dengan komitmen diantara mereka adalah upaya untuk menggelorakan kembali fungsi serikat buruh sebagai penyeimbang dominasi perusahaan. Lebih dari itu, forum demikian ini adalah langkah tepat untuk membangun solidaritas antar buruh dan menjadikannya sebagai gerakan yang lebih progresif.
Berapapun upah yang diberlakukan perusahaan untuk buruh dari sektor apapun tidak akan menjadikan sekat yang memisahkan korban K3. Korban K3 tidak mengenal pembagian provinsi, pembagian wilayah, bahkan sektor usaha. Korban k3 dapat datang dari mana saja dari semua sektor bisnis perusahaan. Perspektif korban K3 adalah pemersatu dari upaya pemerintah dan pengusaha memisahkan para buruh dengan basis upah wilayah maupun sektoral. Perspektif korban inilah sejatinya dapat menjadi pemersatu gerakan buruh.
Perspektif korban K3 yang diimbangi dengan perpektif gerakan serikat buruh akan menjadi senjata ampuh untuk menaikan posisi tawar buruh di dalam perusahaan. Lebih dari itu, perspektif ini juga menjadi harapan baru untuk meningkatkan perlakuan yang lebih manusiawi dari perusahaan kepada para buruh.
Karena itulah, forum-forum yang mengumpulkan para korban K3 selayaknya menjadi perhatian pengurus dan pimpinan serikat. Paling minimal, pengalaman para korban ini dapat menjadi sumber ide membangun peta jalan bagi serikat untuk lebih aktif bersuara memperjuangkan kesehatan dan keselamatan kerja demi buruh sejahtera.
Sebagaimana keinginan Sahroni dan kawan-kawannya untuk bertahan dan melawan dalam situasi dimana perusahaan bahkan pemerintah terus abai terhadap K3.
“Kita mau buruh yang bekerja dalam situasi yang sehat dengan keselamatan terjamin. Agar upah layak yang diterima buruh dapat menjadi (sumber pembiayaan) membangun generasi yang lebih berkualitas,” ungkapnya saat menutup sesi konsolidasi dan pelatihan bersama.