OSH Legal Outlook: Implementasi K3 dalam Perspektif Penegakan Hukum

Pada tanggal 26 Februari 2025 — LION Indonesia bersama Binsar Sitompul Law Firm menyelenggarakan seminar bertajuk “Occupational Safety and Health (OSH) Legal Outlook: Implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Perspektif Penegakan Hukum” di Hutanika, Bandung. Kegiatan yang dihadiri oleh para praktisi hukum ini bertujuan untuk membahas tantangan, peluang, dan strategi dalam menerapkan K3 dari perspektif hukum, khususnya pada regulasi penggunaan bahan beracun berbahaya di Indonesia.
K3 merupakan aspek krusial dalam dunia kerja yang tidak hanya melindungi pekerja, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional perusahaan. Namun, implementasi K3 di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari rendahnya kesadaran hingga lemahnya penegakan hukum. Seminar ini digagas sebagai respons terhadap kebutuhan untuk memperkuat pemahaman tentang aspek hukum K3, terutama dalam menghadapi dinamika regulasi dan tuntutan global terkait lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Leo Yoga Pranata, perwakilan dari LION Indonesia, dalam sambutannya menegaskan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hak fundamental bagi setiap pekerja. “K3 tidak sekadar berbicara tentang aturan, melainkan juga tentang membangun budaya kerja yang bertanggung jawab. Sebagai contoh, bagi pekerja yang terpapar asbes, dampak kesehatannya baru terlihat setelah 10-20 tahun bekerja. Oleh karena itu, keselamatan dan kesehatan dalam bekerja adalah hak dasar yang harus dipenuhi,” ujarnya. Leo juga menyoroti bahwa hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan khusus yang secara detail mengatur implementasi K3. “Melalui kegiatan ini, saya berharap kita semua dapat berdiskusi dan memberikan masukan untuk mengatasi tantangan tersebut,” tambahnya.
Surya Ferdian, Direktur LION Indonesia, menegaskan bahwa paparan debu asbes pada pekerja dapat menimbulkan penyakit serius jika tidak ditangani secara serius. “Perlu adanya regulasi yang mengatur pelabelan bahan berbahaya yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) pada bahan-bahan yang diolah atau diproduksi perusahaan. Hal ini penting untuk meminimalisir potensi penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh paparan bahan berbahaya,” ujarnya.
Surya juga menyoroti minimnya pemahaman masyarakat tentang bahaya debu asbes. “Masih sangat sedikit orang yang memahami risiko kesehatan dari paparan debu asbes, yang dapat menyebabkan kanker pernapasan atau asbestosis. Bahkan, alat deteksi High Resolution (HR) untuk mendiagnosis penyakit ini masih sangat terbatas. Banyak yang belum memahami perbedaan dampak kesehatan antara merokok dan paparan debu asbes,” jelasnya.
Dadan Januar, S.H., M.H., Senior Partner dari Binsar Sitompul Law Firm, menyoroti dinamika terkait pelabelan bahan yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Menurutnya, hingga saat ini, banyak perusahaan masih enggan menerapkan regulasi pelabelan B3 karena menganggap hal tersebut dapat menimbulkan kerugian finansial. “Perusahaan cenderung memandang regulasi ini sebagai beban biaya tambahan, alih-alih melihatnya sebagai upaya untuk melindungi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar,” ujar Dadan. Padahal, pelabelan B3 merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya bahan kimia beracun, seperti asbes, yang dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker paru dan asbestosis.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari resistensi perusahaan yang merasa regulasi ini akan mengurangi keuntungan mereka. “Banyak perusahaan yang belum siap mengalokasikan anggaran untuk pelabelan dan sosialisasi terkait B3. Mereka lebih memilih mengabaikan risiko kesehatan jangka panjang daripada menanggung biaya tambahan,” tambah Dadan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada gap besar antara kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Oleh karena itu, Surya menekankan pentingnya kajian mendalam terkait regulasi pelabelan bahan yang mengandung B3. “Regulasi ini harus segera diterapkan jika kita ingin meminimalisir potensi penyakit akibat kerja. Langkah ini tidak hanya melindungi pekerja, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan kesehatan di lingkungan kerja,” pungkasnya.
DR Mas Putra Zeno Januarsyah S.H., M.H., Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB). Dalam paparannya, Zeno menjelaskan kerangka hukum K3 di Indonesia, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta berbagai peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3.
Mas Putra Zeno menegaskan bahwa dampak limbah berbahaya yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk paparan asbes, sering kali terjadi akibat abainya perusahaan dalam menerapkan standar K3. “Limbah berbahaya seperti asbes tidak hanya mengancam keselamatan pekerja, tetapi juga masyarakat sekitar. Pengabaian perusahaan terhadap pengelolaan limbah yang aman adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip K3,” ujarnya. Ia menambahkan, banyak perusahaan yang lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada keselamatan dan kesehatan pekerja serta lingkungan.
“Sanksi pidana yang diberikan masih sangat rendah dan tidak sebanding dengan dampak kerugian yang ditimbulkan, baik bagi pekerja maupun lingkungan. Hal ini membuat perusahaan cenderung mengabaikan tanggung jawabnya,” paparnya. Ia menyerukan perlunya revisi undang-undang untuk memperberat sanksi dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar K3.
Zeno juga menyoroti praktik pengelolaan limbah yang buruk sebagai salah satu contoh nyata pengabaian perusahaan terhadap K3. “Pengelolaan limbah yang tidak sesuai standar, seperti pembuangan limbah asbes secara sembarangan, menunjukkan ketidakpedulian perusahaan terhadap keselamatan pekerja dan masyarakat. Ini adalah bentuk pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas,” tegasnya.
Tanggung Jawab Perusahaan dan Hukum atas Kecelakaan Kerja yang Sebabkan Disabilitas Permanen
Bakri, seorang HR dari PT. Kartika Sari, mengajukan pertanyaan kritis mengenai tanggung jawab perusahaan dan hukum ketika kecelakaan kerja mengakibatkan seorang pekerja mengalami disabilitas permanen. Menurutnya, hal ini menjadi isu penting yang perlu dijelaskan secara mendetail, mengingat dampaknya yang serius bagi kehidupan pekerja dan keluarganya. Pertanyaan ini menyoroti pentingnya pemahaman tentang hak pekerja serta kewajiban perusahaan dalam memastikan keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja, terutama dalam situasi yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kerja.
Surya Ferdian menjawab, Jika kecelakaan kerja menyebabkan disabilitas permanen, perusahaan bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi sesuai hukum yang berlaku. Perusahaan wajib memastikan lingkungan kerja aman dan memenuhi standar K3, sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah terkait. Jika pekerja terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, mereka berhak mendapatkan santunan kecelakaan kerja, biaya pengobatan, dan kompensasi. Selain itu, jika kecelakaan terjadi akibat kelalaian perusahaan dalam menerapkan K3, perusahaan bisa dikenakan sanksi, denda, atau tuntutan hukum. Dengan demikian, perusahaan harus memenuhi kewajiban perlindungan K3 dan memberikan kompensasi yang sesuai untuk pekerja yang menjadi disabilitas permanen.
OSH Legal Outlook ini menjadi pengingat betapa pentingnya aspek K3 dalam melindungi hak-hak pekerja dan masyarakat. Dengan regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten, diharapkan praktik pengabaian K3 oleh perusahaan dapat diminimalisir, menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan berkeadilan.
Penulis : Nada