Hari Perempuan Internasional 2025: Perempuan, Kehidupan, Pembebasan!
Siaran Pers
Bandung, Indonesia, 8 Maret 2025 – Di tengah gelapnya realitas sosial, ekonomi, & politik di Indonesia hari ini, perempuan & kelompok minoritas gender tetap berdiri tegak, melawan sistem yang menindas, & menyalakan cahaya perlawanan. #IndonesiaGelap bukan sekadar metafora—ia adalah kenyataan pahit dari sistem yang mengekang, menindas, & mengorbankan kehidupan rakyat demi kepentingan segelintir elit. Namun dalam gelap selalu ada cahaya terang & perjuangan perempuan salah satu sumbernya!
Dalam sistem kapitalisme yang rakus, perempuan terus menjadi tenaga kerja murah, dieksploitasi dalam pabrik-pabrik, kantor, & bahkan di dalam rumah tangga mereka sendiri. Dalam patriarki yang mengakar, tubuh perempuan masih dikontrol, diseragamkan, & direpresi oleh negara, agama, serta norma sosial yang mengekang kebebasan mereka. Dalam negara yang semakin otoriter, perempuan yang bersuara dipukul mundur, diintimidasi, & bahkan dikriminalisasi. Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah pengingat bahwa kita tidak bisa lagi menunggu perubahan datang dari atas. Kebebasan harus kita perjuangkan sendiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa setiap hak yang kita miliki hari ini lahir dari perjuangan panjang. Perlawanan perempuan terhadap eksploitasi & ketidakadilan telah berlangsung lebih dari satu abad. Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) berakar dari gerakan buruh perempuan yang menuntut hak-hak ekonomi, politik, & sosial. Pada 28 Februari 1909, kelompok buruh perempuan di Amerika Serikat mengorganisir “Women’s Day” pertama, yang kemudian menginspirasi Konferensi Perempuan Sosialis di Kopenhagen pada tahun 1910. Dalam konferensi tersebut, disepakati perlunya Hari Perempuan Internasional sebagai momentum tahunan perlawanan, meskipun belum ditetapkan tanggal resminya.
Momentum penting terjadi pada tahun 1917, ketika perempuan di Rusia melakukan aksi mogok massal menuntut ‘roti & perdamaian’ di tengah krisis Perang Dunia I. Empat hari setelah aksi ini dimulai, Tsar Nicholas II dipaksa turun takhta, & pemerintah sementara Rusia kemudian memberikan hak pilih kepada perempuan. Aksi tersebut terjadi pada 23 Februari dalam kalender Julian yang digunakan di Rusia saat itu, yang setara dengan 8 Maret dalam kalender Gregorian. Sejak saat itu, tanggal 8 Maret menjadi sebagai simbol perjuangan perempuan di seluruh dunia & akhirnya diadopsi secara resmi sebagai Hari Perempuan Internasional.
Semangat perlawanan ini tidak hanya terjadi di Rusia atau negara-negara lain—perempuan di Indonesia pun terus berhadapan dengan ketidakadilan yang mengakar dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, apa yang kita hadapi hari ini masih jauh dari kemenangan. Kita masih melihat perempuan yang dipaksa bekerja dalam kondisi buruk tanpa jaminan sosial, perempuan yang dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tubuhnya, perempuan yang kehilangan tanahnya karena proyek kapitalisme hijau yang katanya ‘berkelanjutan’, serta perempuan yang terus menerus dibungkam ketika berbicara tentang keadilan. Hari ini, kita tegaskan kembali bahwa perempuan tidak akan diam!
Di tengah kondisi #IndonesiaGelap, kita tidak hanya meratap—kita bergerak. Kita membangun ruang-ruang kolektif untuk berbagi kekuatan, mengorganisir aksi menolak penindasan serta terus menyalakan harapan bagi kehidupan yang lebih adil. #MenerangiIndonesiaGelap bukan hanya soal melawan kebijakan yang tidak adil, tetapi juga membangun dunia di mana perempuan & semua kelompok tertindas bisa hidup bebas, tanpa takut kehilangan hak & martabatnya. Kami, Simpul Pembebasan Perempuan, mengajak kaum perempuan & kelompok tertindas untuk
terus melawan, mengorganisir, bersolidaritas. Perjuangan belum selesai & kita takkan berhenti!
Hentikan Pemiskinan Struktural: Negara untuk Siapa?
Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, ketimpangan ekonomi makin jelas terlihat dengan adanya kebijakan yang mengutamakan keuntungan segelintir elit. Mulai dari harga cabai rawit yang menyentuh Rp100.000 per kilogram, hingga bahan pokok lainnya yang terus melonjak, semakin menambah beban hidup rakyat kecil. Rumah yang dulu jadi tempat berteduh kini digusur demi proyek properti para pemodal. Tanah rakyat dirampas, negara justru memfasilitasi eksploitasi. Untuk sekadar hidup sehat pun sulit. BPJS yang seharusnya menjamin kesehatan justru penuh birokrasi, membuat banyak orang terlantar saat butuh pertolongan. Kesehatan mental? Hanya untuk mereka yang mampu membayar mahal. Pendidikan pun makin jadi barang mewah—biaya tinggi, fasilitas timpang, & tenaga pengajar kurang memadai. Anak-anak dari keluarga miskin berhenti sekolah, sementara negara terus mengabaikan hak pendidikan bagi semua. Ironis, alih-alih memperbaiki kesejahteraan rakyat, negara menghamburkan anggaran demi militer & aparat yang lebih sering melindungi kepentingan elit ketimbang rakyat. Dana yang seharusnya digunakan untuk rumah layak huni, pendidikan gratis & layanan kesehatan justru habis untuk mempertahankan ketimpangan. Negara bekerja bukan untuk rakyat, maka saatnya kita tuntut hak kita!
Hak Buruh & Eksploitasi di Dunia Kerja: Hentikan Ketidakadilan Struktural
Omnibus Law hanya menguntungkan pemilik modal dengan mengorbankan hak buruh, terutama
buruh perempuan. Pemecatan sepihak, pemangkasan upah, & penghapusan jaminan kerja menjadi lebih mudah. Perempuan kerap mendapat upah lebih rendah untuk pekerjaan yang sama, sementara kondisi kerja yang tidak manusiawi memperburuk kesejahteraan mereka.
Eksploitasi juga terjadi dalam sektor rumah tangga. Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang mayoritas perempuan, tetap tidak diakui sebagai pekerja. Mereka digaji rendah, jam kerja tidak jelas, & tanpa perlindungan hukum yang layak. RUU PPRT yang sudah diajukan sejak 2004 belum juga disahkan, membiarkan PRT terus rentan terhadap kekerasan & eksploitasi.
Di dunia kerja formal diskriminasi berbasis gender masih terjadi. Perempuan sering dianggap “berisiko” karena cuti haid & melahirkan, sehingga upahnya ditekan & peluang karir dipersulit. Banyak perusahaan tidak memberi hak cuti sesuai aturan, memaksa perempuan memilih antara kesehatan atau pendapatan.
PHK sewenang-wenang semakin memperburuk situasi, terutama bagi buruh perempuan & migran yang rentan terhadap eksploitasi. Negara gagal melindungi mereka, padahal buruh migran adalah bagian vital dari ekonomi.
Sementara itu, pekerja seks komersial (PSK) & pekerja domestik—yang mayoritas perempuan—juga terabaikan dalam perjuangan hak buruh. Banyak pekerja seks terjebak dalam pekerjaan ini karena keterbatasan ekonomi atau eksploitasi. Mereka pun berhak mendapatkan perlindungan hukum, akses kesehatan, & hak-hak dasar yang setara dengan pekerja lainnya.
Begitu pula dengan pekerja domestik, yang sering tidak dihargai meskipun pekerjaan mereka
menopang perekonomian keluarga & masyarakat. Tanpa pengakuan terhadap pekerjaan ini sebagai pekerjaan yang sah, mereka terpinggirkan & tetap berada dalam sistem yang tidak adil. Saatnya menolak eksploitasi! Perlindungan buruh harus menyeluruh, tanpa kecuali.
Krisis Demokrasi & HAM: Lawan Represi, Wujudkan Keadilan!
Krisis demokrasi di Indonesia semakin nyata dengan meningkatnya pembungkaman suara rakyat, kriminalisasi aktivis, serta represi terhadap jurnalis & seniman. Di awal 2025, jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, mendapat ancaman dari dua orang yang diduga sebagai aju & Panglima TNI setelah melaporkan insiden penyerangan Polres Tarakan. Kasus ini menambah daftar panjang intimidasi terhadap jurnalis, termasuk panggilan kepolisian kepada dua jurnalis di Kendari yang melaporkan kasus pelecehan seksual oleh aparat. Sementara itu, dunia seni juga tidak lepas dari tekanan negara, seperti pelarangan pementasan teater “Wawancara dengan Mulyono” di ISBI Bandung & pembredelan lima lukisan karya Yos Suprapto pada akhir 2024.
Hingga kini, negara masih mempertahankan regulasi yang mengekang kebebasan sipil, seperti TAP MPRS No. 25 Tahun 1966, UU ITE, & pasal-pasal bermasalah dalam KUHP. Warisan propaganda Orde Baru terus mereproduksi stigma terhadap kelompok tertentu, termasuk Gerwani yang sejak 1965 difitnah secara seksual & digambarkan sebagai kelompok perempuan asusila. Narasi yang mendiskreditkan perempuan ini menunjukkan represi politis tetapi juga berbasis gender, di mana tubuh & identitas perempuan dijadikan alat kontrol sosial & politik.
Impunitas bagi pelanggar HAM semakin menegaskan ketidakadilan yang dialami perempuan & kelompok rentan. Tragedi 1965 masih diliputi kebisuan negara, sementara perempuan yang terafiliasi dengan Gerwani mengalami penyiksaan, kekerasan seksual, & penghilangan paksa. Kekerasan berbasis gender sebagai strategi politik juga tampak di Kerusuhan Mei 1998, di mana setidaknya 85 wanita etnis Tionghoa menjadi korban pelecehan seksual. Kekerasan macam ini menargetkan perempuan selaku individu & sebagai simbol komunitas yang hendak dihancurkan.
Di Papua, perempuan adat menghadapi perampasan lahan, eksploitasi sumber daya, serta kriminalisasi ketika mempertahankan hak atas tanah & lingkungan mereka. Sementara itu, di Palestina, kebijakan pengepungan & serangan militer Israel sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 12.000 perempuan serta menghancurkan akses mereka terhadap kebutuhan dasar & layanan kesehatan reproduksi. Perempuan di kedua wilayah ini menghadapi beban ganda sebagai penjaga komunitas & korban kekerasan berbasis gender dalam konflik. Situasi ini menegaskan bahwa perjuangan perempuan di wilayah-wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan anti-genosida & hak menentukan nasib sendiri, termasuk melalui referendum bagi rakyat Papua.
Militerisasi ruang sipil semakin meningkat dengan upaya revisi Undang-Undang TNI yang berpotensi menghapus larangan bisnis militer. Personel militer tidak hanya mengisi jabatan-jabatan sipil tetapi juga semakin mendominasi ruang publik. Dalam sistem yang semakin militeristik, peran sipil dalam demokrasi tergerus, & kelompok rentan—termasuk perempuan & gender minoritas—menjadi yang paling terdampak oleh kebijakan represif
berbasis keamanan.
Di tengah meningkatnya represi, perlawanan rakyat terus tumbuh. Gerakan buruh, feminis, & pro-demokrasi melakukan mobilisasi di berbagai ruang, dari aksi jalanan hingga advokasi kebijakan. Komunitas seni & jurnalis membangun solidaritas untuk melindungi kebebasan berekspresi, sementara gerakan perempuan menguat dengan pendekatan interseksional yang menghubungkan perjuangan kelas, lingkungan, & hak asasi manusia. Selain itu, perlawanan terhadap kapitalisme global & eksploitasi tenaga kerja berkembang melalui boikot, koperasi mandiri, serta pembangunan sistem ekonomi alternatif. Kesadaran akan pentingnya kedaulatan rakyat dalam menentukan arah politik & ekonomi semakin meningkat, menantang narasi dominan yang menormalisasi represi atas nama “stabilitas nasional”.
Perjuangan ini bukan hanya tentang membela hak-hak individu, tetapi tentang menciptakan dunia yang menjunjung kebebasan, kesetaraan, & martabat manusia. Tantangan terbesar bukan hanya melawan negara yang represif, tetapi membangun kesadaran kolektif bahwa kebebasan sipil & hak asasi manusia adalah hak yang harus diperjuangkan bersama.
Kekerasan Berbasis Gender: Regulasi Ada, Keadilan Masih Jauh!
Perjuangan melawan kekerasan berbasis gender belum selesai. Meski UU TPKS sudah diundangkan sejak 2022, implementasinya masih lemah. Dari 7 aturan turunan, hanya 4 yang disahkan, sementara 3 lainnya, termasuk Dana Bantuan Korban TPKS, masih tertunda. Masalah utama bukan hanya regulasi, tapi juga perspektif aparat penegak hukum (APH), yang masih minim pemahaman tentang kekerasan seksual. Menurut Catahu Komnas Perempuan 2023, ada 2.383 kasus kekerasan seksual sepanjang 2022, banyak terjadi di institusi pendidikan. Kampus yang seharusnya aman justru menjadi lokasi kekerasan karena relasi kuasa, dengan Satgas PPKS di banyak kampus hanya sekadar formalitas tanpa keberpihakan pada korban.
Pemaksaan perkawinan juga masih terjadi, baik karena tekanan sosial maupun sebagai “solusi”
terhadap kekerasan seksual, yang justru memperparah penderitaan korban. Sunat perempuan (FGM) pun masih terjadi dengan alasan budaya, meski melanggar hak tubuh perempuan & diakui WHO sebagai tindakan berbahaya.
Di sisi lain, perdagangan manusia (TPPO) terus menempatkan perempuan dalam posisi rentan, menegaskan kegagalan Negara melindungi warganya. Negara harus serius memberantas impunitas pelaku, memastikan penegakan hukum, serta rehabilitasi yang berpihak pada korban.
Bentuk kekerasan paling ekstrem, femisida, masih belum memiliki pijakan hukum yang spesifik di Indonesia. Pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya ini sering hanya diproses sebagai pembunuhan biasa, tanpa melihat pola sistematis kekerasan berbasis gender di baliknya. Yang dibutuhkan bukan hanya menghukum pelaku, tetapi pemulihan bagi korban & keluarga, termasuk implementasi restitusi. Tanpa perubahan perspektif di tingkat regulasi & pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, kebijakan yang ada akan terus gagal melindungi perempuan. Lawan impunitas, wujudkan keadilan!
Hak LGBTQIA+, Disabilitas, & Kelompok Rentan: Kapan Kita Benar² Setara?
Hingga saat ini, LGBTQIA+, penyandang disabilitas, & kelompok rentan lainnya masih menghadapi diskriminasi sistematis di Indonesia. Stigma, keterbatasan akses serta kekerasan terus terjadi. Membuktikan masyarakat kita belum inklusif & adil. Keberadaan LGBTQIA+ di Indonesia masih dianggap tabu. Stigma sosial & diskriminasi sering kali dilegalkan melalui kebijakan yang represif. Alih-alih dilindungi, komunitas ini justru semakin dipinggirkan dengan dalih norma sosial. Padahal, setiap individu, tanpa memandang orientasi seksual/identitas gender, berhak mendapatkan perlindungan hukum, akses terhadap layanan publik, & kebebasan hidup tanpa ancaman kekerasan.
Meski sudah ada Undang-Undang Penyandang Disabilitas & berbagai kebijakan inklusif, kenyataannya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Infrastruktur publik, fasilitas kesehatan, pendidikan, & kesempatan kerja masih belum sepenuhnya ramah bagi mereka. Banyak institusi hanya menjadikan kebijakan inklusi sebagai formalitas tanpa implementasi nyata. Akibatnya, penyandang disabilitas tetap menghadapi hambatan besar dalam menjalani kehidupan yang setara dengan orang lain.
Kelompok rentan lainnya, seperti perempuan miskin, pekerja migran, korban perdagangan manusia, & komunitas adat, juga terus mengalami ketidakadilan. Negara sering kali gagal melindungi mereka dari eksploitasi & kekerasan. Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum justru melakukan kriminalisasi atau pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak mereka.
Pada akhirnya, perjuangan untuk kesetaraan bukan hanya soal wacana, tetapi soal bagaimana hak-hak ini bisa benar-benar diimplementasikan dalam kebijakan yang berpihak. Tanpa upaya nyata untuk menghapus diskriminasi & menciptakan sistem yang lebih adil, inklusivitas hanya akan menjadi slogan kosong. Jika Negara terus abai, kapan kita bisa benar-benar setara?
Kesetaraan Hak bagi Penyandang Disabilitas: Dari Wacana ke Aksi Nyata
Setiap hak yang dinikmati oleh orang tanpa disabilitas juga merupakan hak yang harus dimiliki oleh penyandang disabilitas. Namun, kesetaraan tidak cukup hanya berhenti pada “penyetaraan hak.” Perlu ada langkah afirmatif yang secara nyata menghilangkan hambatan akses yang selama ini dialami oleh kelompok disabilitas. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pemukiman, & transportasi masih jauh dari kata inklusif. Banyak kebijakan yang ada hanya menjadi formalitas tanpa implementasi yang berarti.
Pendidikan inklusif belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Kurikulum di Sekolah Luar Biasa (SLB) & sekolah inklusi sering kali tidak membekali siswa dengan keterampilan & pemahaman yang cukup untuk menghadapi dunia setelah lulus. Perlu ada metode pembelajaran yang benar-benar disesuaikan dengan kondisi masing-masing jenis disabilitas agar mereka dapat tumbuh & berkembang secara optimal.
Layanan kesehatan masih belum ramah disabilitas, baik dari segi infrastruktur maupun pemahaman tenaga medis tentang kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Selain itu, biaya kesehatan yang tinggi untuk terapi, alat bantu kesehatan, hingga obat-obatan masih jadi hambatan besar. Negara harus memastikan ada anggaran khusus yang menjamin akses kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas.
Meskipun ada ketentuan instansi pemerintah wajib menerima minimal 2% tenaga kerja disabilitas & instansi swasta minimal 1%, realitanya akses pekerjaan bagi disabilitas masih sangat terbatas. Persyaratan seperti usia, pengalaman kerja, & kondisi kesehatan fisik menjadi hambatan besar. Pemerintah harus lebih aktif mencari solusi & menciptakan jenis pekerjaan yang benar-benar bisa diakses oleh penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.
Hunian yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Kota Bandung, misalnya, sudah memiliki beberapa rusunawa & apartemen transit bagi penyandang disabilitas, tetapi kuotanya sangat kecil & masa tunggunya lama. Perlu ada kebijakan lebih progresif untuk memastikan penyandang disabilitas mendapatkan akses tempat tinggal layak & inklusif.
Beberapa kota seperti Bandung sudah mulai menyediakan transportasi khusus bagi penyandang disabilitas, tetapi aksesnya masih berbasis pemesanan, bukan layanan publik yang tersedia setiap saat. Bus Trans Metro Bandung, misalnya, sudah memiliki running text bagi penumpang disabilitas tuli, tetapi fasilitas lain seperti ramp untuk kursi roda masih jauh dari standar karena terlalu curam & sulit digunakan secara mandiri. Kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas bukan sekadar memasukkan kata “inklusi” dalam kebijakan, tetapi soal bagaimana kebijakan tersebut benar-benar diterapkan & memberikan dampak nyata. Negara memiliki kewajiban memastikan penyandang disabilitas tidak hanya “diakomodasi” tetapi mendapat hak-hak mereka sepenuhnya. Selama hambatan ini masih ada, kesetaraan hanya akan menjadi slogan kosong!
Lindungi Kelompok Agama Non-Mayoritas: Tolak Diskriminasi, Tuntut Keadilan
Selain kelompok LGBTQIA+ & penyandang disabilitas, kelompok agama atau kepercayaan non-mayoritas juga menjadi sasaran diskriminasi & eksploitasi. Mayoritarianisme yang tertanam dalam kebijakan negara serta sikap eksklusif dalam kehidupan sosial menciptakan diskriminasi sistemik kepada mereka yang berkeyakinan berbeda.
Hak beragama & berkeyakinan seharusnya menjadi hak fundamental yang dijamin bagi setiap
warga negara. Namun, pada kenyataannya, kelompok minoritas agama atau kepercayaan masih menghadapi berbagai bentuk persekusi—mulai dari pembatasan tempat ibadah, tekanan sosial, hingga kriminalisasi berbasis keyakinan. Banyak kebijakan yang secara tidak langsung meminggirkan kelompok agama non-mayoritas. Misalnya sulitnya mendapat izin pembangunan tempat ibadah bagi kelompok agama minoritas, kurikulum pendidikan yang kurang mencerminkan keberagaman agama, serta kebijakan yang lebih mengakomodasi kelompok mayoritas tanpa mempertimbangkan kebutuhan kelompok lain.
Kelompok agama non-mayoritas kerap menjadi target intoleransi, baik secara verbal, sosial, maupun fisik. Kasus-kasus penyerangan terhadap rumah ibadah, kriminalisasi terhadap penganut kepercayaan tertentu, serta ujaran kebencian berbasis agama terus terjadi tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Negara harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya berpusat pada kelompok mayoritas, tetapi juga melindungi hak-hak kelompok minoritas agama & kepercayaan. Ini termasuk menjamin akses yang setara dalam pendidikan, layanan publik, & partisipasi politik, tanpa diskriminasi berbasis keyakinan.
Diperlukan langkah konkret untuk memastikan bahwa kelompok agama non-mayoritas tidak hanya “ditoleransi,” tetapi juga diakui hak haknya secara penuh. Misalnya, dengan memperbaiki regulasi pembangunan tempat ibadah, melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan, serta memastikan penegakan hukum yang adil saat terjadi diskriminasi dan kekerasan berbasis agama. Indonesia adalah negara yang seharusnya menjamin kebebasan beragama & berkeyakinan bagi seluruh warganya, bukan hanya mereka yang masuk dalam kelompok mayoritas. Selama diskriminasi masih terjadi, hak asasi manusia belum benar-benar ditegakkan.
Saatnya keluar dari paradigma mayoritarianisme & membangun masyarakat yang lebih adil bagi semua. Karena hak untuk hidup tanpa diskriminasi bukanlah hak istimewa—tetapi hak dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia.
TUNTUTAN:
- Stop lonjakan harga beras & bahan pokok lainnya yang mencekik rakyat!
- Hentikan segala diskriminasi & kekerasan berbasis gender di ruang publik, & privat!
- Cabut UU Cipta Kerja yang hanya memperbudak pekerja & menghancurkan alam!
- SAHKAN RUU PPRT! Stop eksploitasi pekerja rumah tangga yang tak berujung.
- Tolak perampasan ruang hidup! Desa hingga kota, rakyat berdaulat atas tanahnya!.
- Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua!
- UU TPKS jangan hanya simbolik! Optimalkan implementasi, jamin akses perlindungan bagi korban!.
- Tingkatkan anggaran pencegahan & penanganan kasus kekerasan seksual! Pastikan layanan bagi korban tersedia, dari rumah aman hingga bantuan hukum.
- Evaluasi ulang Permendikbud No. 55/2024! Libatkan partisipasi nyata dalam pencegahan & penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan.
- Hentikan genosida global! Palestina, Kongo, Rojava, Rohingya, Papua, nyawa bukan
angka statistik! - Boikot Israel! Hentikan hubungan dagang & putuskan kerja sama bisnis dengan entitas yang mendukung penjajahan.
- Hapus kebijakan diskriminatif kepada LGBTQIA+ & jamin hak politik serta sipilnya!
- Kesehatan reproduksi adalah hak, bukan privilese! Pastikan akses layanan Kesehatan seksual & reproduksi gratis, berkualitas & berkeadilan gender bagi semua perempuan.
- Disabilitas bukan alasan untuk dikecualikan! Sediakan akses penuh bagi disabilitas di
pendidikan, pekerjaan, ruang publik, serta jaminan sosial tanpa diskriminasi. - Adili & hukum pelaku pelanggar HAM! Jangan biarkan impunitas terus terjadi.
- Tuntaskan kasus pelanggaran HAM! Dari tragedi 1965, 1998, hingga kekerasan negara terhadap rakyat yang terjadi hari ini.
- Demokrasi tanpa kebebasan berekspresi hanyalah ilusi! Hentikan pembungkaman suara rakyat, kriminalisasi aktivis, & represi terhadap jurnalis, seniman, serta kelompok masyarakat sipil.
- Ruang aman bukan sekadar jargon! Wujudkan perlindungan nyata dari kekerasan
berbasis gender di tempat kerja, pendidikan, ruang publik, & lingkungan privat. - Buruh bukan mesin produksi! Jamin hak maternitas, cuti haid, cuti hamil, & cuti ayah tanpa pemotongan upah atau ancaman PHK.
- UU ITE = Alat Represi! Revisi pasal-pasal karet yang digunakan untuk membungkam kritik, mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, & masyarakat sipil. Hentikan penyalahgunaan hukum demi kepentingan elite!
- Hentikan diskriminasi sistematis! Jamin hak sipil, politik, sosial, & ekonomi bagi LGBTQIA+, ODHA, ODHIV, penyandang disabilitas, serta minoritas agama & kepercayaan tanpa pengecualian.
- Hapus praktik sunat perempuan yang melanggengkan kontrol atas tubuh perempuan. Negara harus melarang & menindak tegas pelaku, termasuk institusi medis yang masih melegitimasi praktik ini.
- Beribadah bukan keistimewaan, tapi hak asasi! Hapus regulasi diskriminatif yang mempersulit pendirian rumah ibadah, hentikan persekusi terhadap kelompok agama minoritas, & tegakkan hukum terhadap pelaku intoleransi.
- Tetapkan 8 Maret (Hari Perempuan Internasional) sebagai hari libur nasional!
- Pendidikan bukan barang dagangan! Wujudkan pendidikan gratis yang tidak tunduk pada kepentingan kapitalisme. Pendidikan harus demokratis, partisipatif, & feminis dengan membangun kesadaran kritis serta membebaskan dari segala bentuk diskriminasi & kekerasan berbasis gender.
- BPJS untuk rakyat, bukan profit! Perluas cakupan layanan kesehatan BPJS tanpa diskriminasi, termasuk kesehatan mental, kesehatan seksual, reproduksi, serta layanan khusus bagi kelompok rentan. Hapus birokrasi berbelit yang menghambat rakyat!
- Perumahan adalah hak, bukan privilese! Sediakan akses tempat tinggal gratis bagi tunawisma & rakyat miskin. Hentikan penggusuran paksa, hentikan komersialisasi hunian & alihkan anggaran negara untuk membangun perumahan layak bagi rakyat!
- Hentikan segala bentuk represi, kriminalisasi, serta kekerasan terhadap jurnalis, aktivis, & rakyat yang berjuang mempertahankan hak hidupnya. Cabut regulasi represif yang membungkam kritik, hentikan penggunaan aparat sebagai alat intimidasi!
- Kesehatan mental bukan layanan mewah! Jamin akses layanan kesehatan jiwa gratis melalui BPJS tanpa diskriminasi, tanpa birokrasi berbelit, & tanpa batasan kuota. Pastikan layanan kesehatan mental tersedia hingga ke pelosok, dengan tenaga profesional yang memadai.
- Pidanakan perusahaan perusak lingkungan tanpa tebang pilih. Hentikan proyek industry ekstraktif. Nasionalisasi sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, bukan oligarki!
- Stop PHK sewenang-wenang! Tolak PHK 230 buruh PT Bapintri & hentikan praktik perampasan hak pekerja. Pastikan kepastian kerja, upah layak, serta perlindungan hukum bagi buruh!
- Cabut TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme, karena digunakan sebagai alat represi untuk membungkam kritik terhadap negara & membatasi kebebasan berpikir. Negara harus menjamin hak berekspresi & kebebasan akademik tanpa sensor ideologis!
- KUHP baru = alat represi! Hapuskan pasal-pasal bermasalah dalam KUHP terbaru yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, mengancam kebebasan pers, memperkuat moralitas negara atas tubuh individu, serta membungkam kritik terhadap pejabat & institusi negara. Hukum harus melindungi rakyat, bukan melanggengkan otoritarianisme!
- Rumah ibadah bukan ruang eksklusi & kekerasan! Wujudkan akses rumah ibadah yang inklusif bagi semua kelompok, bebas dari diskriminasi & kekerasan seksual.
- Hapus batasan patriarkal yang menghalangi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan keagamaan. Ibadah harus menjadi ruang aman, bukan alat kontrol sosial atau represi berbasis gender!
- Sekolah bukan tempat predator! Tindak tegas pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan formal & non-formal dengan hukuman yang berpihak pada korban, bukan pelaku. Wujudkan mekanisme perlindungan yang transparan, akuntabel, & berpihak pada korban, bukan sekadar janji tanpa implementasi. Pendidikan harus menjadi ruang aman, bukan ladang kekerasan!
- Buruh migran bukan sapi perah negara! Berikan perlindungan menyeluruh terhadap buruh migran dari eksploitasi, perdagangan manusia, & kekerasan di tempat kerja. Pastikan akses bantuan hukum & diplomasi yang berpihak pada buruh, bukan hanya menyelamatkan muka pemerintah!
- Edukasi seks bukan tabu, tapi hak! Wujudkan kurikulum pendidikan kesehatan seksual & reproduksi yang komprehensif, ilmiah, & berbasis HAM di semua jenjang pendidikan. Hapus pengaruh moral konservatif yang membatasi akses informasi & justru membahayakan generasi muda.
- Hapus segala bentuk diskriminasi dalam proses rekrutmen, termasuk tes kehamilan bagi perempuan, batasan usia yang tidak masuk akal, serta ketentuan agama atau status pernikahan. Berantas pungli & praktik calo tenaga kerja yang memeras pencari kerja. Stop menjadikan pengangguran sebagai lahan bisnis pejabat & perusahaan rakus!
- Perkawinan bukan alat kontrol tubuh perempuan! Hapus semua celah hukum yang masih memungkinkan perkawinan dini & paksa. Negara harus menghentikan eksploitasi seksual yang dibungkus dengan dalih agama, budaya, atau ekonomi. Akhiri segala bentuk perbudakan seksual yang disamarkan dalam institusi pernikahan!
- Perbudakan modern masih hidup, & negara ikut membiarkannya! Tindak tegas mafia perdagangan manusia yang menjebak perempuan, anak, & kelompok rentan dalam eksploitasi seksual, kerja paksa, hingga perdagangan organ. Negara harus menghukum pelaku tanpa kompromi, termasuk pejabat, aparat, & perusahaan yang terlibat. Stop menjadikan tubuh manusia sebagai komoditas!
- Stop menghamburkan triliunan untuk senjata, peluru, & aparat yang brutal terhadap rakyat. Pangkas anggaran militer & polisi! Uang rakyat harus kembali ke rakyat, untuk sekolah, rumah sakit, & kehidupan yang layak!
- Kontrasepsi adalah hak! Sediakan akses layanan kontrasepsi yang gratis, aman, &
berkeadilan gender tanpa diskriminasi. - Hapus budaya kerja rodi yang menghisap tenaga buruh demi akumulasi keuntungan segelintir elit. Turunkan jam kerja maksimal menjadi 6 jam per hari & 5 hari per minggu tanpa pemotongan upah! Istirahat, hidup bermartabat, & kesejahteraan buruh lebih penting dari laba korporasi!
- Akui kerja domestik sebagai kerja yang menopang ekonomi! Berikan pengakuan & kompensasi bagi ibu rumah tangga atas kerja reproduksi sosial yang mereka lakukan! Dari merawat anak, memasak hingga memastikan partner siap untuk bekerja. Hentikan eksploitasi kerja domestik tidak berbayar & wujudkan keadilan ekonomi untuk semua!
- Femisida bukan sekadar pembunuhan namun kejahatan patriarkal yang harus diakui & ditindak tegas! Integrasikan femisida dalam kerangka hukum nasional!Tolak Danantara! Memusatkan keuangan BUMN dengan rentetan pengelola & pengawas oligarki semakin melancarkan maksud korup dari penguasa!
- Kembalikan militer ke barak! Stop militerisasi ruang sipil! Hentikan keterlibatan militer dalam urusan sipil, bisnis, & politik!
- Cabut izin perusahaan perampas tanah rakyat! Redistribusi lahan untuk petani, buruh tani, & masyarakat adat, bukan korporasi! Hentikan impor pangan yang menghancurkan petani lokal! Tanah untuk rakyat, bukan untuk investor!
- Hentikan stigma & kriminalisasi terhadap pekerja seks! Akui hak-hak mereka sebagai pekerja, berikan jaminan kesehatan, perlindungan hukum, serta akses layanan sosial yang layak. Lawan kekerasan, eksploitasi, & pemerasan dari aparat maupun preman!