Buruh: Hak Asasi Manusia Dalam Industri Global

Harga USD$ 150 sepasang sepatu Nike yang anda pakai itu setara hampir sebulan upah buruh pembuatnya di berbagai negara.

Nilai upah para pekerja produsen sepatu Nike menjadi pembuka seminar bertajuk Hak Asasi Manusia dan Industri Global, di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, 4 Agustus 2018. Dikatakan, nilai upah yang demikian rendah ini adalah upaya pemilik merek untuk meraup keuntungan besar dari produk yang dikonsumsi masyarakat. Masalahnya pemilik merek (brand) bukanlah pemimpin produksi langsung dari produk yang dijualnya di pasar. Bahkan untuk membuat air max react misalnya, dibutuhkan paling sedikit 3 lapis (tier) untuk menghasilkan produk yang dipajang di toko modern.

Brand berupaya terus melempar tanggung jawabnya hingga jauh dari jangkauan pekerja. Inilah yang terjadi saat brand membuat order kepada produsen hingga sampai ke tangan para buruh,” kata Ana Jimenez perwakilan, United State Against Sweatshop (USAS). Lembaga mahasiswa berdomisili di Amerika yang aktif melakukan perlawanan terhadap pasar keringat (sweatshop) buruh.

Pola hubungan antara brand dengan pabrik-pabrik pembuat produk dibuat sedemikian rupa agar buruh tidak bisa secara langsung meminta pertanggungjawaban. Pabrik produsen garmen dengan brand mendunia ini menerima perintah produksi sesuai jumlah hasil negosiasi para pemilik. Semakin besar jumlah yang diproduksi oleh sebuah pabrik diharapkan akan memberi keuntungan yang setimpal. Demi hal tersebut maka ongkos-ongkos produksi diupayakan rendah. Termasuk upah bagi para pekerja langsungnya.

Para peserta Seminar “HAM dan Industri Global” yang sdiselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia, LION Indonesia dan USAS – United Student Against Sweatshop yang diselenggarakan di Bandung, 3 Agustus 2019

“Ketika satu daerah di Indonesia yang upahnya kian hari kian naik, maka produsen berupaya untuk mengimbanginya dengan berbagai cara. Pilihan yang ada adalah, meningkatkan target produksi yang harus diselesaikan oleh pekerja. Maka PHK disatu sisi dan menaikan beban kerja kepada buruh menjadi solusi yang dipilih,” jelas Direktur Lion Indonesia, Firman Budiawan. Dia menjelaskan, langkah penundaan kewajiban memenuhi peraturan upah yang ditetapkan pemerintah, memang menjadi pilihan. Namun pilihan ini karena terbuka dan ada batas aturannya, maka tetap akan menyulitkan perusahaan.

Makin masifnya pabrik-pabrik garmen yang berpindah dari wilayah barat Jawa Barat dan DKI, sedikit menjelaskan bagaimana upaya bertahan produsen brand dari makin tingginya upah di suatu lokasi. “Di lokasi-lokasi utama seperti Cakung, Bekasi, Tangerang, Bogor misalnya, pabrik-pabrik garmen besar sudah di relokasi ke Jawa Tengah atau Jawa Barat yang upahnya tidak lebih dari 1,8 Juta rupiah per bulan,” tambah Firman.

Dilema antara angkatan kerja yang demikian besar dan tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan membuat pekerja “terpaksa” akan menerima apapun kondisi kerja yang dialaminya. sepanjang menghasilkan upah walaupun tidak akan mencukupi jika pekerja sudah mulai berkeluarga. “Seperti halnya penyakit akibat kerja yang di derita pekerja pengolahan asbestos yang “terpaksa” harus berani di ambil sebagai resiko kerja,” kata Philip Hazelton, Manajer Kampanye Asia, APHEDA.

Dia menegaskan dengan pola hubungan kerja antara brand dan pekerja yang sangat kental “pasar keringat,” dimana keringat pekerja dihargai begitu murah, maka kesehatan tidak terlihat menjadi isu pokok dalam ketenagakerjaan. “Padahal dengan upah yang murah, maka kesehatan mereka menjadi yang paling terancam,” jelasnya.

Kondisi pasar tenaga kerja yang makin menunjukan pasar keringat menurut praktisi Pendidikan yang juga kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UPI, Prof Cecep Darmawan adalah kritik terhadap masih belum terelasinya dunia industri dan Pendidikan. Pakar ilmu politik ini mengatakan link and match sejatinya adalah arah menyiapkan hasil Pendidikan untuk dapat mengembangkan industri nasional.

“Tenaga kerja unskilled harus diubah melalui lembaga pendidikan agar menjadi tenaga-tenaga penggerak kemajuan industri nasional,” sampainya. Tidak lupa dia juga menyampaikan pentingan pengaturan negara terhadap perlindungan tenaga kerja yang memajukan nilai kemanusiaan. “Lapangan kerja, pasar tenaga kerja, dan peraturan ketenagakerjaan harus singkron dengan pemajuan nilai kemanusiaan,” tegas guru besar Ilmu Politik ini.

Brand yang menempatkan produksi pada satu perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja harus memiliki komitmen tanggung jawab kemanusiaan. Buruh yang dipekerjakan untuk menghasilkan keuntungan bagi pemilik brand harus diperlakukan manusiawi di setiap tingkatan produksi. Pasar keringat buruh dimana perusahaan berlomba-lomba hanya mau membeli keringat yang paling murah sejatinya berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Melawan pasar keringat buruh tidak bisa dilakukan sendiri dan terpisah-pisah. Perlu ada kerjasama antar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penghentian model pasar keringat buruh. Buruh yang melawan di tingkat pabrik-pabrik harus terkoneksi dengan pihak lain yang juga mampu memberi tekanan kepada brand.

“Buruh takut jika pabrik menekan, tapi pabrik juga takut jika brand menekan mereka. Namun lebih dari itu, brand juga takut jika konsumen seperti mahasiswa yang tergabung dalam USAS melakukan tekanan,” tutur Ana Jimenez. Karena itu menurutnya mengkoneksikan buruh-buruh produsen brand besar dengan kelompok penekan seperti USAS menjadi penting.

Lebih dari itu model hubungan solidaritas antara mahasiswa atau konsumen dengan buruh-buruh sebagai pembuat barang yang mereka konsumsi harus menjadi hubungan yang saling melindungi. Dengan demikian perusahaan dan brand akan dapat dijaga untuk mempraktekkan hubungan industrial yang jauh lebih manusiawi.