
Jakarta, 15 September 2025. Gugatan asosiasi manufaktur asbes (FICMA) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi kini menjadi sorotan internasional.
Tuntutan ganti rugi yang dilayangkan FICMA senilai 790 Miliar terhadap LPKSM Yasa Nata Budi dinilai berbagai lembaga internasional sebagai gugatan strategis melawan partisipasi publik (strategic lawsuit against public participation-SLAPP). Berbagai organisasi internasional turut serta menjadi sahabat peradilan dalam perkara yang diajukan FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi.
Sebuah lembaga riset independen ternama yang berkedudukan di Itali, Collegium Ramazini yang juga telah lama melakukan riset dampak asbes mengatakan semua bentuk asbes terbukti sebagai karsinogen bagi manusia. Semua bentuk asbes menyebabkan mesotelioma ganas, kanker paru-paru, laring, dan ovarium, serta dapat menyebabkan kanker gastrointestinal dan kanker lainnya. Ditambahkan bahwa tidak ada paparan asbes yang bebas dari risiko. Para korban kanker akibat asbes meninggal dengan kematian yang menyakitkan dan berkepanjangan. Kematian ini hampir sepenuhnya dapat dicegah.
“Kami mendesak agar semua produk yang mengandung asbes yang dijual di Indonesia diwajibkan mencantumkan label peringatan kesehatan yang menginformasikan kepada industri, pekerja, dan masyarakat bahwa semua jenis asbes, termasuk asbes krisotil, merupakan penyebab kanker pada manusia” ungkap Melissa McDiarmid, Presiden Collegium Ramazini.
Hal yang sama disampaikan juga oleh Prof Mathew J Pieters, McQuarie University Australia, bahwa emua bentuk paparan asbes, termasuk paparan tunggal terhadap krisotil, dapat menyebabkan seluruh spektrum penyakit terkait asbes.
“Setiap pernyataan yang menyatakan keraguan bahwa paparan asbes, termasuk paparan tunggal terhadap krisotil, bukan merupakan karsinogen bagi manusia adalah tindakan ceroboh dan tidak sejalan dengan bobot bukti epidemiologis serta bukti ilmiah dasar” ujarnya.
Liam O Brian, Asisten Sekretaris Serikat Buruh Australia, mengatakan taktik mengajukan strategic lawsuits against the public interest (SLAPP) merupakan strategi yang kerap digunakan oleh industri dan korporasi besar untuk membungkam serikat buruh dan organisasi kesehatan masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan pekerja dan publik.
“Kami mendesak pengadilan untuk menolak perkara ini dan memastikan bahwa pekerja serta masyarakat memperoleh informasi yang lengkap mengenai risiko yang terkait dengan penggunaan asbes krisotil maupun bentuk asbes lainnya,” ujarnya dalam keterangan amicus curie yang dikirimkan melalui kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi.
Hampir senada, Markus Hofman, Direktur Kebijakan Sosial Konfederasi Serikat Buruh Jerman, menjelaskan produksi dan penggunaan semua jenis asbes telah dilarang di Jerman sejak tahun 1993 dan di Uni Eropa sejak tahun 2005. Menurutnya asbes terlalu karsinogenik untuk terus dipasarkan dan larangan ini didasarkan pada konsensus ilmiah yang luas.
Menyikapi gugatan FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi dikatakan “Perwakilan industri ini mengutamakan kepentingan komersial mereka sendiri di atas kesehatan pekerja di seluruh dunia” tegasnya dalam Amicus Curiae.
Presiden Global Asbestos Forum yang berkedudukan di Belanda, Yvone Watterman menegaskan bahwa produsen asbes tidak memiliki hak apa pun untuk membahayakan orang lain, ataupun untuk memajukan kepentingan finansial mereka dengan cara menyembunyikan pengetahuan mengenai bahaya tersebut dari publik. Dia menambahkan cara FICMA tidak lain adalah merampas kebebasan masyarakat untuk membuat pilihan berdasarkan informasi yang benar.
Menangapi gugatan FICMA, Yvone mengatakan “satu-satunya alasan keberadaan perkara ini adalah untuk mengancam, membungkam,dan memiskinkan para aktivis yang berani dan patut dipuji sebagaimana disebut dalam perkara ini yang pada dasarnya merupakan motif yang sangat keliru” ucapnya dalam keterangan tertulis sahabat peradilan.
Organisasi Bantuan Internasional yang didirikan serikat buruh Australia, Union Aid Abroad APHEDA mengingatkan pemerintah Indonesai bahwa sebagai penandatangan IPEF (Indo Pacific Economic Forum) bahwa di dalam pilar perjanjiannya negara IPEF sepakat untuk bekerja sama melakukan transisi keluar dari asbes menuju alternatif yang lebih aman serta bersama-sama menurunkan angka penyakit terkait asbes.
Kate Lee, Pejabat Eksekutif APHEDA mengatakan terdapat bukti yang jelas dan tak terbantahkan mengenai risiko kanker dan penyakit lain yang terkait dengan paparan asbes krisotil dan semua jenis asbes terhadap manusia.
“Asian Development Bank (ADB) memutuskan untuk melarang seluruh material yang mengandung asbes dari setiap investasi yang didukungnya, efektif berlaku mulai Januari 2026,” ungkapnya.
Desakan agar labelisasi produk asbes sebagaimana diminta LPKSM Yasa Nata Budi melalui judicial review di Mahkamah Agung juga memperoleh dukungan dari aliansi internasional organisasi buruh konstruksi dan perkayuan berbasis di Swedia, Building and Wood Worker’s International (BWI).
Melalui kepala perwakilan Asia Pasifik, Apolinar Tolentino, BWI mendesak mengatakan keputusan Mahkamah Agung mengenai kewajiban pelabelan merupakan langkah penting bagi keselamatan konsumen.
“Kami mendesak Pengadilan untuk mengakui keabsahan keputusan tersebut dan menolak segala upaya untuk membatalkannya melalui intimidasi dan tekanan ekonomi,” ungkapnya dalam surat sahabat peradilan.
Dukungan terhadap putusan Mahkamah Agung RI yang memenangkan gugatan LPKSM Yasa Nata Budi tentang peraturan wajib labelisasi terhadap produk atap asbes juga dilayangkan oleh koalisi internasional International Ban Asbestos Secretariat (IBAS)-Inggris, Asian Ban Asbestos Network (ABAN)-Jepang, Asian Citizen’s Center for Environment and Health (ACCEH)-Korea, Brazilian Association of the Asbestos-Exposed-Brazil, Merseyside Asbestos Victim Support Group Liverpool, Inggris Raya (MAVS).
Koalisi mengatakan telah memantau semua proses peradilan dan putusan peradilan sejak awal kemenangan LPKSM Yasa Nata Budi hingga digugat oleh FICMA.
“Kami secara bulat mendukung putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2024 yang mewajibkan pencantuman label peringatan dalam bahasa Indonesia pada seluruh bahan atap yang mengandung asbes yang dijual di Indonesia. Putusan ini merupakan langkah krusial dalam melindungi kesehatan masyarakat dan kesehatan kerja di Indonesia” ungkap para pimpinan lembaga di dalam suratnya untuk PN Jakarta Pusat.
Guilermo Villamizar, Direktur Colombia Asbestos-Free Foundation mengatakan gugatan yang FICMA merupakan suatu Gugatan Strategis terhadap Partisipasi Publik (SLAPP), yakni strategi yang telah dikenal secara global, di mana sektor industri berupaya untuk mengintimidasi dan membungkam pihak-pihak yang membela kesehatan publik serta hak-hak masyarakat.
“Gugatan semacam ini tidak memiliki dasar yang sah dan justru merongrong prinsip-prinsip mendasar keadilan dan partisipasi sipil,” katanya.
Menanggapi derasnya dukungan internasional agar PN Jakarta Pusat teguh untuk menolak gugatan FICMA, LPKSM Yasa Nata Budi melalui ketua bidang advokasinya, Leo Yoga Pranata, mengatakan bahwa hal ini menjadi bukti bahwa produk mengandung asbes memang telah menjadi perhatian dunia.
“Kami percaya, Hakim PN Jakarta Pusat akan semakin percaya diri memutus bahwa gugatan FICMA tidak dapat diterima atas nama kemanusiaan,” ucapnya.
Koordinator Indonesia Ban Asbestos, Darisman mengatakan dukungan puluhan organisasi internasional ternama terhadap LPKSM Yasa Nata Budi dan PN Jakarta Pusat akan terus membesar seiring dengan makin besarnya upaya SLAPP yang dilakukan FICMA.
“Kami tahu siapa dibalik semangat FICMA menggugat LPKSM Yasa Nata Budi. Mereka adalah jaringan pelobi internasional yang memiliki uang besar dan berkepentingan agar Indonesia terus menggunakan asbes. Kita akan terus lawan mereka dengan solidaritas,” ujarnya
Sebagai informasi, pada April 2024 FICMA mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Leo Yoga Pranata, Ajat Sudrajat, Dhiccy Sandewa, LPKSM Yasa Nata Budi, dan lain-lain. FICMA menilai putusan Mahkamah Agung dengan memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi yang mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang Yang Wajib Menggunakan Atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia menimbulkan potensi kerugian senilai 7,9 Triliyun baginya.
FICMA juga mengajukan argumen adanya kesalahan putusan hakim agung yang disebabkan oleh tidak disertakannya UU No.10 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Konvensi Rotterdam di dalam gugatan judicial review yang diajukan oleh LPKSM Yasa Nata Budi. (SFR)