
Semarang, 3 Mei 2025 – Di balik label pakaian yang kita kenakan, tersimpan cerita tentang kerja keras, ketekunan, dan pengorbanan perempuan-perempuan pekerja yang menghidupi keluarga dengan satu upah. Bukan cerita glamor dari dunia mode, tapi realitas sunyi dari ruang-ruang produksi di jantung industri garmen Indonesia.
Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Semarang, menjadi salah satu wilayah industri tekstil dan alas kaki terbesar di Indonesia. Data menunjukkan ada sekitar 924 industri tekstil dan alas kaki yang beroperasi di wilayah ini, menjadikannya pusat industri strategis nasional. Tercatat pula 44 perusahaan di sektor ini berkontribusi besar terhadap ekspor dan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Di tengah geliat industri ini, ribuan perempuan bekerja di lini-lini produksi. Mereka adalah tulang punggung pabrik dan sekaligus tulang punggung keluarga. Meski tidak tersedia data resmi spesifik tentang proporsi pekerja perempuan di sektor garmen, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 mencatat bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan mencapai 55,41% secara nasional1. Ini mencerminkan peran signifikan perempuan dalam sektor ekonomi, termasuk di industri padat karya seperti tekstil dan garmen.
Di balik angka-angka produktivitas itu, ada wajah-wajah yang memikul beban ganda, bekerja seharian di pabrik, lalu melanjutkan peran domestik sebagai pengasuh anak, pengurus rumah, bahkan perawat bagi orang tua. Mereka menjadi penopang utama keluarga, dengan satu penghasilan yang sering kali jauh dari cukup.
Upah minimum sektoral di Kabupaten Semarang pada tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp2.750.000 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 561/44 Tahun 20242. Angka ini adalah batas minimum yang “dianggap” cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lajang di wilayah tersebut.
“UMK (Upah Minimum Kabupaten) adalah gaji paling rendah yang wajib dibayar kepada pekerja lajang di suatu daerah. Jumlahnya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak selama satu bulan di wilayah tersebut.” Ujar Ita Purnamasari yang kala itu menjelaskan perhitungan upah kepada peserta pelatihan. UMK yang di berlakukan untuk buruh yang bekerja di bawah satu tahun/12 bulan, tetapi kenyataannya bagi buruh yang lebih dari itu bahkan sudah bekerja 10 tahunpun upahnya tetap sama.
Pada kenyataannya, para pekerja perempuan yang di bayar UMK harus mencukupi kebutuhan keluarga dengan nominal tersebut untuk membayar kontrakan, kebutuhan anak, biaya sekolah, makanan, listrik, dan kebutuhan lain yang terus meningkat.
Seorang pekerja perempuan menyampaikan:
“Saya sudah bekerja lebih dari satu tahun, tapi gaji saya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga. Rasanya, pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan. Apalagi sekarang saya punya anak, kebutuhan seperti susu, pampers, dan perlengkapan lainnya sangat menguras,” ujarnya sambil menghela napas.
Kondisi ini mendorong sebagian pekerja untuk mencari tambahan penghasilan. Seorang pekerja lain mengatakan:
“Saya kerja dari pagi sampai sore, kadang lembur juga. Tapi gajinya tetap tidak cukup. Jadi saya jualan makanan kecil sepulang kerja sampai malam. Capek, iya. Tapi ya gimana, saya butuh uang. Anak saya sekolah, orang tua saya juga lagi sakit.”
Menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks, serikat pekerja memainkan peran penting, bukan hanya sebagai alat perjuangan hak-hak normatif, tapi juga sebagai ruang belajar dan pemberdayaan. Di PT. Semarang Garment, Pimpinan Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK FSP TSK KSPSI) menjadi motor penggerak bagi anggotanya.
Salah satu program penting yang dilakukan adalah pendidikan pengelolaan keuangan bagi pekerja perempuan. Program ini bertujuan memperkuat kapasitas anggota, agar mampu mengelola keuangan secara bijak, menyusun rencana jangka panjang, dan menghindari jebakan keuangan seperti pinjaman online ilegal atau investasi bodong.
Dalam pelatihan yang digelar pada awal Mei 2025, sebanyak 36 peserta perempuan dan 4 laki-laki mengikuti pendidikan ini dari pagi hingga siang hari. Pendidikan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama fokus pada dasar pengelolaan keuangan, membedakan kebutuhan dan keinginan, menyusun prioritas pengeluaran, hingga membuat anggaran sederhana. Peserta dikelompokkan ke dalam delapan kelompok untuk memfasilitasi diskusi dan berbagi pengalaman antarindividu yang berbeda latar belakang3.

Sesi ini menggunakan pendekatan partisipatif dan reflektif. Banyak peserta yang baru kali itu menyadari bahwa selama ini mereka terjebak dalam siklus pengeluaran yang tidak terkendali karena tidak membedakan kebutuhan dan keinginan.
“Kami belajar bagaimana membedakan keinginan dan kebutuhan. Pendidikan keuangan ini bukan cuma soal uang masuk dan keluar, tapi juga tentang mengendalikan hidup kita sendiri mulai dari dompet sampai masa depan,” ujar salah satu peserta.
Pendidikan ini tidak berlangsung sendiri. LION (Local Initiative for Occupational Safety and Health Network) Indonesia, sebagai lembaga yang konsisten dalam isu buruh dan keselamatan kerja, menjadi mitra aktif dalam kegiatan ini. Perspektif K3 yang dibawa LION memperkuat narasi bahwa perlindungan pekerja bukan hanya soal fisik di tempat kerja, tetapi juga kesejahteraan finansial yang mendasar.
“Teman-teman, kita belajar banyak hari ini. Pendidikan ini adalah fasilitas dari serikat untuk membangun kesadaran finansial anggota. Tapi jangan berhenti di sini. Kita harus bergerak ke langkah kongkret,” ujar Samsuri, staf LION yang menjadi fasilitator dalam pelatihan.
Langkah konkret yang dimaksud termasuk membangun koperasi pekerja yang dikelola oleh serikat, sebagai bentuk ekonomi alternatif berbasis kolektif. Selain itu, serikat juga mendorong agar Perjanjian Kerja Bersama (PKB) membahas upah yang berpihak kepada pekerja, yaitu tidak hanya mengacu pada UMK, tetapi mempertimbangkan masa kerja dan prestasi sebagai dasar perhitungan upah.
“kita juga harus mempertimbangkan langkah advokatif yang dapat ditempuh antara serikat dan perusahaan dengan cara mendorong PKB yang berpihak kepada pekerja. Kita bernegosiasi kepentingan kita untuk kesejahteraan buruh dan keluarganya, seperti ketentuan bonus, premi kehadiran, prestasi kerja, dan beasiswa anak”. Tambah Samsuri yang menekankan peran serikat buruh dalam upaya meningkatkan kesejahtraan buruh.
WRC (Worker Rights Consortium), mitra strategis dari luar negeri, juga terlibat dalam mendukung pelatihan ini. Komitmen mereka dalam memperjuangkan keadilan dalam rantai pasok global memberi penguatan bahwa suara pekerja lokal adalah bagian penting dari sistem global yang adil.
Pendidikan ini tidak berhenti pada teori. Ia menjadi ruang solidaritas, tempat para perempuan pekerja menyadari bahwa mereka tidak sendiri. Mereka punya kekuatan kolektif, punya suara yang sah, dan punya hak untuk menuntut kehidupan yang lebih baik.
Di tengah sistem industri yang terus menekan dan memiskinkan, perempuan pekerja bangkit dengan kesadaran baru bahwa upah bukan sekadar angka. Ia adalah dasar kehidupan yang layak. Ia adalah bahan bakar harapan masa depan.
“Kami tidak minta lebih dari yang kami berikan. Tapi tolong, hargai hidup kami. Jangan jadikan kami sekadar angka produktivitas,” kata seorang peserta dengan lirih, namun penuh kekuatan.
Lebih dari sekadar pelatihan, kegiatan ini merupakan ruang bagi para perempuan pekerja untuk saling menguatkan, menyusun rencana jangka pendek dan panjang, serta menolak sistem ekonomi yang memiskinkan.
Karena bagi mereka, satu upah bukan sekadar angka, melainkan titik tolak untuk seribu harapan hidup yang lebih layak.
Penulis: Ita Purnamasari
- Badan Pusat Statistik. (2024). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin. BPS.go.id ↩︎
- Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 561/44 Tahun 2024 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi Jawa Tengah Tahun 2025. ↩︎
- Catatan lapangan dan kutipan dari peserta pelatihan keuangan yang difasilitasi PUK FSP TSK KSPSI, LION, dan WRC di PT. Semarang Garment, Mei 2025. ↩︎