Hak Untuk Tahu – Memodernisasi Konvensi Rotterdam | Jalan Menuju COP BRS 2025

(19 Maret 2025) Menjelang Pertemuan Konferensi Para Pihak Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm tahun 2025 (BRS-COP), yang akan berlangsung pada tanggal 28 April hingga 9 Mei 2025 di Jenewa, Geneva Environment Network memfasilitasi webinar The Right to Know – Modernising the Rotterdam Convention. Acara ini diselenggarakan bersama dengan Dewan Serikat Buruh Australia (ACTU) dan bermitra dengan Pesticide Action Network UK, International Pollutants Elimination Network (IPEN), Solidar Suisse, dan Union Aid Abroad APHEDA, dalam kerangka kerja Road to 2025 BRS COPs.
Acara yang dilangsungkan pada 19 Maret 2025 ini berfokus pada upaya untuk menyoroti korban kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang tidak terlihat dari bahan kimia secara umum dan khususnya bahan kimia yang telah direkomendasikan oleh Komite Peninjau Bahan Kimia (CRC) untuk dimasukkan ke dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam, tetapi belum dimasukkan ke dalam daftar oleh Konferensi Para Pihak (COP).
Lampiran III merupakan daftar lampiran yang mencakup pestisida dan bahan kimia industri yang telah dilarang atau dibatasi secara ketat karena alasan kesehatan atau lingkungan oleh dua atau lebih Pihak dan yang telah diputuskan oleh Konferensi Para Pihak untuk dikenakan prosedur Peraturan Persetujuan Awal Berdasarkan Informasi atau Prior Information Consent (PIC).
Hak Untuk Tahu Sebagai Salah Satu Hak Fundamental
Pada bulan Juni 2022, Konferensi Perburuhan Internasional memutuskan untuk mengamandemen Deklarasi International Labour Organization (ILO) tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja (1998) untuk memasukkan “lingkungan kerja yang aman dan sehat” sebagai prinsip dan hak dasar di tempat kerja. Sejalan dengan keputusan ini, International Labour Conference (ILC) kemudian juga memutuskan untuk menetapkan Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (no. 155, 1981) dan Konvensi Kerangka Kerja Promosi untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (no. 187, 2006) sebagai konvensi fundamental. Hal ini berarti bahwa setiap negara anggota ILO diwajibkan untuk menghormati dan mempromosikan hak atas lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Pada acara ini, para panelis mempresentasikan dan mendiskusikan bagaimana perubahan mendasar dalam lanskap Hak Asasi Manusia ini berkontribusi dalam meningkatkan visibilitas korban K3 dari bahan kimia berbahaya dan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk membuat Pemerintah secara umum, dan Pihak-pihak dalam Konvensi Rotterdam secara khusus, menjadi lebih sadar akan kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan efektivitas Konvensi ini agar dapat menyelaraskan implementasinya dengan hak-hak asasi manusia yang mendasar ini. Tujuannya adalah untuk menyoroti perspektif hak asasi manusia yang lebih kuat dan mendiskusikan peran penting Konvensi Rotterdam, khususnya mekanisme PIC, dalam membantu melindungi pekerja dari paparan bahan kimia berbahaya ini.
Para panelis juga mempresentasikan studi kasus yang menyoroti bahaya yang disebabkan oleh paparan bahan kimia yang tidak terdaftar dan mengungkapkan bagaimana Konvensi ini disalahartikan oleh industri. Tujuannya adalah untuk membuat para delegasi dan peserta lebih sadar akan kerugian yang ditimbulkan oleh paparan K3 terhadap bahan kimia berbahaya, khususnya yang direkomendasikan oleh CRC untuk dimasukkan ke dalam daftar.
Acara ini dimoderatori oleh Bernhard Herold dari solidarsuisse yang kembali menekankan bahwa sesi ini bertujuan untuk menyoroti tidak hanya pendekatan berbasis hak untuk keselamatan & kesehatan kerja, tetapi juga peran Rotterdam Convention & prosedur PIC dalam mengaktifkan hak, termasuk hak untuk mengetahui.
Panelis Halshka Graczyk perwakilan dari ILO memberikan paparan tentang standar internasional yang ada untuk melindungi pekerja dari bahaya kimia, menggarisbawahi Hak Untuk Tahu sebagai salah satu hak mendasar dan pilar utama dari keselamatan dan Kesehatan kerja serta pentingnya perlindungan hak atas lingkungan kerja yang aman & sehat. Paparan Halshka ini diperkuat oleh Marcos Orellana dari Pelapor Khusus PBB tentang racun dan hak asasi manusia yang menyoroti 3 alasan mengapa Hak Untuk Tahu relevan untuk Konvensi Rotterdam diantaranya sebagai implementasi hak atas lingkungan sehat, mengatasi kurangnya kapasitas untuk pengelolaan bahan kimia dan limbah yang baik, dan kewajiban pencegahan paparan, dengan Konvensi Rotterdam dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai alat utama.

Phillip Hazelton dari APHEDA & Leo Yoga Pranata dari Indonesia menyajikan sebuah studi kasus di Indonesia, di mana tidak dicantumkannya asbes chrysotile dalam lampiran III Konvensi Rotterdam telah menyebabkan konsekuensi kesehatan yang tidak diinginkan. Mereka memperingatkan penyalahgunaan Rotterdam Convention oleh industri, sebagai bagian dari pedoman untuk menolak, menunda, dan memblokir pencantumannya.
Philip juga menyampaikan bahwa tindakan hukum yang diajukan terhadap kelompok konsumen, yang secara keliru merujuk pada Konvensi Rotterdam, adalah tindakan sinis untuk mengintimidasi para pendukung kesehatan publik, yang menempatkan konsumen dan pekerja pada risiko lebih besar terhadap paparan dan penyakit terkait. Selama 20 tahun, bahan kimia berbahaya yang direkomendasikan untuk dimasukkan ke dalam Konvensi Rotterdam oleh komite ilmiahnya sendiri telah diblokir oleh sejumlah kecil Pihak yang telah mengeksploitasi dan memanipulasi prinsip konsensus dalam Konvensi untuk kepentingan pribadi mereka. Waktu untuk memperbaikinya sudah lama tertunda.
Sheila Willis dari Pesticide Action Network memberikan paparan sebuah studi kasus tentang keracunan pestisida akut yang tidak disengaja di Tanzania. Sementara itu Vera Ngowi dari Muhimbili University of Health and Allied sciences, Tanzania menggarisbawahi urgensi tindakan dan memastikan Hak Untuk Tahu untuk membuat yang tak terlihat menjadi terlihat, melalui pengumpulan data & pengawasan yang lebih kuat.
Panelus terakhir Kay Williams, Kepala Global Framework on Chemicals (GFC), menggarisbawahi bagaimana GFC mendukung Konvensi Rotterdam, termasuk melalui pemberdayaan melalui informasi dan penguatan #RightToKnow melalui beberapa target terkait data. “Sektor bahan kimia juga bisa menjadi ekonomi palsu dengan segala dampak kesehatannya. Ada biaya yang harus ditanggung jika kita tidak menangani bahan kimia ini dengan tepat”, Ujar Kay Williams.