Hak Atas Informasi Konsumen Vs Kepentingan Industri Asbes
Gugatan Hak Uji Materiil yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang Yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia (Lampiran huruf B angka 5) berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 6 P/HUM/2024. MA mengabulkan gugatan LPKSM Yasa Nata Budi dengan beberapa pertimbangan diantaranya pertama, MA secara tegas menyatakan bahwa asbes adalah B3 yang memiliki sifat racun dan karsinogenik, kedua, pentingnya pelabelan yang jelas dan informatif pada produk yang mengandung asbes. Ketiga, MA juga membatalkan Permendag 25/2021 karena dianggap tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen. Dan yang terakhir MA menilai bahwa Permendag 25/2021 tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mengatur tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan perlindungan konsumen.
Namun, Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA), asosiasi pengusaha fiber semen, menolak putusan tersebut. Pada 18 Juli 2024, FICMA menggugat LPKSM Yasa Nata Budi, Yayasan Yasa Nata Budi, dan Kementerian Perdagangan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). FICMA mengklaim potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 7,9 triliun akibat putusan MA tersebut.
Pada 5 Februari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa gugatan FICMA tidak termasuk dalam kewenangannya. Menurut hakim, substansi gugatan FICMA menyentuh pengujian peraturan perundang-undangan, yang merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Agung. Hakim juga menegaskan bahwa putusan MA Nomor 6 P/HUM/2024 telah final dan mengikat.
Tidak terima dengan putusan PN Jakarta Pusat, FICMA kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 24 Februari 2025. Dalam memori bandingnya, FICMA menyatakan bahwa LPKSM Yasa Nata Budi telah memanipulasi data dan tidak mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Konvensi Rotterdam, yang belum memasukkan asbes putih (krisotil) sebagai bahan berbahaya. FICMA juga menuding LPKSM Yasa Nata Budi melakukan pendiskreditan terhadap asbes putih tanpa bukti ilmiah yang memadai.
LPKSM Yasa Nata Budi membantah semua tuduhan FICMA. Mereka menegaskan bahwa gugatan Hak Uji Materiil yang diajukan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. LPKSM juga menyoroti bahwa Konvensi Rotterdam tidak menyatakan asbes putih aman, melainkan hanya belum mencapai kesepakatan untuk memasukkannya ke dalam daftar bahan berbahaya. Mereka juga mengutip berbagai Literatur ilmiah primer yang relevan dianalisis secara sistematis dalam beberapa laporan lembaga ilmiah internasional seperti laporan International Programme on Chemical Safety (IPCS) Environmental Health Criteria report on Chrysotile Asbestos (IPCS–UNEP/ILO/WHO, 1998); Laporan WHO tentang Chrysotile Asbestos (WHO, 2014); the WHO’s International Agency for Research on Cancer (IARC) Monograph on Asbestos (IARC, 2012). Semua laporan ini mendokumentasikan dan mengevaluasi bukti ekstensif pada manusia (dan hewan) dan mengonfirmasi bahwa semua bentuk asbes (termasuk krisotil) adalah satu-satunya penyebab mesothelioma yang diketahui.

LPKSM Yasa Nata Budi meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding FICMA dan menguatkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menegaskan bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-undangan hanya ada di Mahkamah Agung, bukan di pengadilan umum.
Sengketa ini menyoroti tarik-menarik antara perlindungan konsumen dan kepentingan industri. Di satu sisi, putusan MA Nomor 6 P/HUM/2024 dianggap sebagai langkah maju dalam melindungi konsumen dari bahaya asbes. Di sisi lain, FICMA mengklaim bahwa putusan tersebut mengancam keberlangsungan industri fiber semen yang melibatkan ribuan pekerja.
LPKSM Yasa Nata Budi dan Yayasan Nata Budi menegaskan bahwa gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh FICMA tidak dapat diterima karena substansinya menyentuh Hak Uji Materiil dalam perkara No. 6 P/HUM/2024, yang merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Agung dengan putusan final dan mengikat. Mereka membantah tuduhan FICMA terkait pendiskreditan asbes putih dan penggunaan dalil Konvensi Rotterdam, sambil menegaskan bahwa gugatan Hak Uji Materiil yang mereka ajukan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, langkah ini sejalan dengan tugas LPKSM Yasa Nata Budi dalam melindungi hak-hak konsumen, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan dituntut untuk segera menerbitkan peraturan pengganti sesuai dengan putusan MA Nomor 6 P/HUM/2024 yang telah bersifat final dan mengikat. LPKSM Yasa Nata Budi menegaskan bahwa regulasi pelabelan produk mengandung asbes ini bertujuan untuk memastikan konsumen mendapatkan informasi yang jelas dan jujur tentang bahaya asbes, demi melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat.