Semangat May Day, semangat perjuangan dan persatuan
by Local Initiative for OSH Network · May 1, 2023
(Bandung, 1 Mei 2023) Massa aksi Aliansi Buruh Bandung Raya (ABBR) memperingati May Day atau Hari Buruh Internasional dengan menggelar mimbar buruh di jalanan Cikapayang, Dago.
Mimbar buruh ini menjadi sarana untuk para buruh menyuarakan berbagai keluh kesah yang selama ini terhalang oleh dingin dan angkuhnya tembok dan pagar pabrik. Massa aksi menyampaikan berbagai tuntutan dan seruan dari mulai penolakan UU Omnibuslaw Cipta Kerja, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak, pemberangusan serikat, kesetaraan di tempat kerja, kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, kriminalisasi hingga penggusuran dan perampasan ruang hidup.
Aksi ABBR yang dimulai dengan longmarch dari Monumen perjuangan ini diinisiasi oleh aliansi dari Serikat Buruh KSN, F Sebumi, LBH Bandung, PBHI Jabar, LION Indonesia, SAFETY, Pembebasan – Bandung, dan berbagai jaringan kolektif dan individu lainnya.
Aksi Aliansi ini menjadi satu-satunya aksi peringatan May Day dengan turun ke jalan yang dilakukan di Kota Bandung. Sementara serikat buruh/pekerja lainnya memilih berangkat melakukan aksi di Jakarta, ataupun ada yang dilakukan dengan menghadiri undangan acara yang diinisiasi oleh instansi Pemerintahan Daerah.
Atas nama krisis, buruh kembali ditumbalkan
Krisis akibat pandemi masih membekas dan terasa oleh masyarakat, khususnya para kelas pekerja. Beban ekonomi, kesehatan hingga kehilangan anggota keluarga tak mungkin begitu saja mudah untuk dilupakan. Perlindungan yang diharapkan rakyat justru dijawab dengan keluarnya berbagai regulasi yang dibuat secara “ugal-ugalan” dan tanpa mengakomodir partisipasi bermakna dari rakyat dengan alasan pembatasan sosial. Regulasi yang seharusnya semakin melindungi malah semakin menggerus jaminan hak atas penghidupan yang layak. Sebut saja UU Omnibuslaw Cipta Kerja dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang penolakannya masih terus disuarakan oleh rakyat hingga hari ini.
Berbagai bantuan dan keringanan untuk para pengusaha yang difasilitasi oleh negara seperti relaksasi pajak pada saat pandemi, sepertinya tidak cukup bagi mereka. Wabah PHK dan pencurian upah yang dilegalisasi oleh pemerintah melalui sistem kerja no work no pay bersaing dengan jumlah infeksi virus Covid-19. Banyak serikat buruh yang masih berjuang untuk menuntut hak mereka terkait persoalan dimasa pandemi hingga saat ini, dan tak sedikit yang lainnya pasrah haknya untuk dikorbankan.
Perlahan dan tertatih-tatih kita mulai terlepas dari pandemi, namun beban buruh justru semakin bertambah dengan lahirnya Permenaker No 05 Tahun 2023. Dengan aturan ini, pengusaha berhak memotong upah buruh maksimal sebanyak 25% bagi perusahaan di sektor tertentu. Sama seperti pandemi, dalih pemerintah tentang ancaman krisis akibat resesi ekonomi dan ketidak-pastian pasar dunia kembali menjadikan buruh sebagai tumbal.
Praktek PHK sepihak khususnya bagi para buruh kontrak menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri bukanlah hal yang aneh. Di tahun ini, praktek ini masih merajalela, tentu saja praktek jahat ini dilakukan para pengusaha untuk menghindari pembayaran THR dan memberikan jeda waktu perpanjangan kontrak agar tidak berubah menjadi PKWTT atau pegawai tetap, yang nantinya mengharuskan perusahaan memberikan lebih banyak tunjangan kesejahteraan, dan juga membayar pesangon jika para buruh ini di PHK di masa depan. Praktek jahat yang menggerus hak para buruh untuk mencapai kesejahteraan ini tentunya akan terus berlanjut, dan semakin dipermudah oleh Omnibuslaw UU Cipta Kerja
Semakin rentan upah layak dan status kerja, semakin murah nyawa buruh
Legalisasi fleksibilitas sistem kerja yang diakomodir UU Cipta Kerja tidak hanya menjadikan semakin rentannya jaminan atas upah yang layak dan kepastian status kerja, juga kebebasan berorganisasi. Dampak yang merugikan para buruh lainnya adalah jaminan atas atas kesehatan dan keselamatan para buruh.
Upah yang tidak layak setidaknya akan mendorong para buruh untuk mengambil jam kerja panjang (lembur) untuk menambah upah, memenuhi kebutuhan hidup. Semakin lama jam kerja tidak hanya mendorong semakin besarnya resiko kecelakaan kerja dan penyakit fisik lainnya. Selain itu, Jam kerja yang panjang sudah terbukti berkaitan dengan stres kerja, kesejahteraan, dan depresi.
Para buruh perempuan yang sudah memiliki beban domestik (terkadang masih belum diakui sebagai pekerjaan) akan semakin bertambah bebannya ketika di pabrik. Kerentanan status kerja dan upah yang layak semakin memicu kerentanan atas kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
Walaupun sesungguhnya cuti haid dan melahirkan adalah hak kesehatan reproduksi setiap buruh perempuan, bagian dari hak asasi manusia. Akses cuti berbayar yang seharusnya terjamin ini akan semakin tergerus. Bagi buruh kontrak, sulit untuk menuntut haknya karena takut kehilangan pekerjaan (diputus kontrak kerja), dan bagi perusahaan, berkurangnya jumlah pekerja mengganggu produktifitas (mengurangi keuntungan para pemilik modal).
Secara umum, kita para buruh kontrak, outsorcing apalagi magang akan semakin sulit mengakses cuti berbayar dan menolak pekerjaan yang tidak sehat dan aman. Dan di sisi yang lain, kerentanan status kerja juga memberikan batasan para buruh menggunakan haknya untuk berorganisasi atau berserikat. Tanpa serikat tidak akan ada perjanjian kerja bersama yang berkeadilan dan demokratis. Sering kita melihat upaya union busting atau pemberangusan serikat berkedok habisnya masa kontrak kerja.
Semangat May Day, semangat persatuan dan perjuangan
May Day lahir dari semangat perjuangan kelas pekerja akan harapan untuk masa depan yang lebih adil. Pada tanggal 1 Mei 1886, serikat pekerja Chicago, reformis, sosialis, anarkis, dan pekerja biasa bergabung untuk menjadikan kota itu pusat gerakan hari nasional untuk merebut hak atas delapan jam (8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam untuk rekreasi). Dengan persatuan kelas pekerja, mereka memenangkan perjuangan yang tetap kita lanjutkan hingga hari ini – untuk semua buruh mendapatkan kondisi kerja yang masuk akal termasuk jam kerja yang sehat dan aman. Setiap buruh memiliki hak untuk hidup diluar pekerjaan mereka.
Setiap buruh berhak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, meski para majikan dan rekan mereka di politik selalu mencoba untuk mengambil hak kita. UU Omnibuslaw Cipta Kerja dan turunannya, ataupun Permenaker 05/2023 adalah sedikit contoh dari berbagai upaya yang dilakukan oleh para oligarki untuk mempertahankan dan mengakumulasi modal mereka.
Pada peringatan mayday 2023 ini, selain menyuarakan berbagai keresahan dan tuntutan, ABBR kembali menyerukan persatuan kelas pekerja, karena dalam kondisi hari ini, persatuan rakyat dibutuhkan untuk dapat melawan seluruh kesewenangan para majikan, bos-bos besar industri dan penguasa negara yang tidak berpihak untuk dapat mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan bagi semua.