Kesehatan dan Keselamatan Kerja Menjadi Prinsip dan Hak Fundamental: Bagaimana Indonesia?
Konferensi Buruh Internasional (KBI) (International Labor Conference) yang berakhir 11 Juni 2022 lalu mengeluarkan resolusi penting untuk buruh di dunia. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) disepakati sebagai prinsip dan hak fundamental kerja di pergaulan internasional. KBI yang juga sering disebut parlemen buruh internasional beranggotakan 2 orang wakil negara, 1 orang pemberi kerja, dan 1 pekerja dari negara anggota ILO. Konferensi diselenggarakan setiap tahun di bulan Juni bertempat di Jenewa.
LION Indonesia yang turut serta dalam beberapa diskusi bersama federasi buruh internasional dan Komisi Kesehatan Kerja Internasional (ICOH) yang diselenggarakan jelang konferensi, menyambut baik resolusi yang dihasilkan oleh konferensi buruh internasional. Dalam konferensi buruh internasional ini, LION Indonesia juga mengirim delegasi korban penyakit akibat kerja untuk menyampaikan suaranya.
Pada konferensi tahun 2022 (27 Mei – 11 Juni) lembaga ini menyepakati tambahan satu kategori baru prinsip dan hak fundamental yang sejak 1998 diadopsi dalam Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work. Dengan demikian, ILO telah mengadopsi 5 kategori penting yang sebagai prinsip dan hak fundamental kerja; 1) kebebasan berserikat dan pengakuan efektif atas hak untuk berunding bersama; 2) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; 3) penghapusan pekerja anak yang efektif; 4) penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, dan yang terbaru, 5) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Dengan tambahan K3 sebagai prinsip dan hak fundamental, maka semua negara anggota ILO tanpa terkecuali harus mengadopsi prinsip dan hak yang sama sebagai negara bermartabat. Kesamaan tersebut terlepas dari apakah mereka telah meratifikasi konvensi-konvensi yang relevan atau belum.
Ada dua dokumen konvensi ILO yang “naik posisi” sejak kesepakatan ini dibuat. Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja tahun (C.155 Tahun 1981) dan Konvensi Kerangka Kerja Promosi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (C.187 Tahun 2006) yang kini menjadi konvensi fundamental ILO. Kedua konvensi tersebut otomatis akan menjadi penilaian internasional kedepan berkenaan dengan situasi kerja di negara-negara anggotanya.
Dari total 187 negara anggota ILO, hanya 74 negara yang meratifikasi konvensi ILO nomor 155, dan 56 negara yang meratifikasi konvensi nomor 187. Sementara hanya ada 34 negara yang meratifikasi kedua konvensi fundamental tersebut dan megadopsi dalam aturan lokalnya. Kedepan ILO tentu akan sangat serius melalui governing body nya untuk mendorong negara anggota segera meratifikasi 2 konvensi fundamental tersebut.
Konsekuensi bagi Pemerintah Indonesia
Sebagai anggota ILO Indonesia juga perlu beradaptasi dengan peningkatan status 2 konvensi ILO berkenaan dengan K3 menjadi konvensi fundamental. Dengan adanya amandemen deklarasi fundamental ILO terkait, maka kedepan Indonesia wajib melaporkan langkah-langkah penerapan, pemajuan, dan evaluasi terukur atas pencapaian tahunan implementasi (K3) sebagai prinsip dan hak fundamental kerja.
Hal ini bermakna semua Indonesia juga wajib melaporkan setiap usaha dan pencapaiannya guna memenuhi hal yang diatur konvensi ILO tentang K3 Nomor 155 Tahun 1981 beserta konvensi tentang kerangka kerja yang bersangkutan Nomor 187 Tahun 2006. Ketentuan keharusan laporan tahunan ini disebutkan dalam pasal 22 konstitusi ILO.
Indonesia memang belum meratifikasi konvensi ILO Nomor 155 Tahun 1981 tentang K3 yang memberi kewenangan governing body ILO untuk dapat mempertanyakan bahkan membawa kegagalan pemenuhan konvensi ke pengadilan internasional (international court of justice). Namun sejak 2015 indonesia telah meratifikasi konvensi tentang kerangka kerja promosi K3 (C-187).
Ini artinya, Indonesia menggunakan standar kerangka kerja promosi K3 yang ditegaskan dalam konvensi ILO 187 untuk membangun kebijakan K3 di dalam negeri. Namun Indonesia tidak ingin kegagalan pencapaiannya menjadi masalah yang dapat diajukan di dunia internasional. Dengan naiknya status konvensi 155 menjadi konvensi fundamental, maka Indonesia mau tidak mau harus bersiap untuk meratifikasi konvensi dimaksud atau membuat kebijakan yang jauh lebih baik dari itu.
Sejak tahun 2018 Komite Pakar yang mensupervisi implementasi konvensi ILO 187 telah meminta laporan dari Indonesia. Namun karena saat itu konvensi 187 belum menjadi prinsip dan hak fundamental, maka Indonesia masih dapat menunda dengan berbagai alasan untuk menyampaikan laporannya. Sebagaimana dilaporkan pada publikasi resmi ILO bahwa Indonesia diharapkan dapat memenuhi laporan tahunannya berkenaan dengan implementasi konvensi 187 pada tahun 2024. Penundaan demikian semestinya tidak dapat lagi dilakukan setelah K3 ditetapkan sebagai prinsip dan hak fundamental kerja. Kegagalan pemenuhan kewajiban laporan perlu dijelaskan kepada ILO governing body agar martabat negara tidak runtuh dengan laporan situasi internasional bahwa Indonesia tidak berkomitmen terhadap prinsip dan hak keselamatan dan kesehatan kerja.
Konvensi ILO nomor 187 merupakan instrumen pelaksanaan dari konvensi ILO nomor 155 sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluannya. Di dalamnya ada 18 konvensi lain dan 21 rekomendasi yang menjadi instrumen penting untuk dilaporkan oleh negara peratifikasi konvensi. Namun, hanya konvensi tentang Hygiene (C-120)yang diratifikasi oleh Indonesia. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pemerintah yang dalam konstitusinya telah menegaskan kewajibannya untuk menjunjung dan mempromosikan Hak Asasi Manusia.
Penilaian dunia Internasional terhadap pemerintah yang menghargai SDM pekerjanya akan sangat bergantung pada kemauan pemerintah untuk terus melengkapi standar penting penghargaan terhadap pekerjanya. Salah satunya adalah tentang pemenuhan dan pelindungan keselamatan dan kesehatan pekerja sebagai prinsip dan hak kerja fundamental.
Tantangan Bagi Organisasi Buruh dan Masyarakat
Masuknya keselamatan dan kesehatan kerja sebagai prinsip dan hak fundamental adalah hal yang positif dan perlu mendapat perhatian serikat buruh, dan organisasi lainnya yang konsern dalam isu perburuhan. K3 sebagai prinsip dan hak fundamental kerja yang telah ditetapkan oleh parlemen buruh internasional demikian perlu pengejawantahan lebih lanjut dalam peraturan-peraturan lokal negara hingga ditingkat bisnisnya.
Situasi pemenuhan 4 prinsip dan hak fundamental sebagaimana ditegaskan ILO sebelumnya untuk konteks lokal Indonesia harus diakui masih banyak kelemahan. Harus diakui juga bahwa peraturan yang telah dibuat negara sebagai pengejawantahan seringkali diakali dan diabaikan dalam praktek bisnis.
Serikat buruh dan Perjanjian Kerja Bersama memang ditegaskan dalam Undang-undang, namun seringkali dibungkam dengan mencecar para aktivisnya. Kerja paksa memang sudah menjadi larangan dalam UU, namun disaat yang sama pekerja seringkali harus mengganti waktu kerjanya tanpa upah yang manusiawi. Terlebih lagi dengan mekanisme pasar tenaga kerja fleksibel yang diadopsi dalam UU. Pekerja anak yang langsung terhubung dengan industri memang telah menjadi ketentuan di banyak UU. Namun bisnis tidak kalah akal dengan membuat mekanisme yang menghubungkan anak sebagai pekerja tidak langsungnya. Diskriminasi jabatan dan upah juga diharamkan oleh UU, tapi bisnis yang memprakteknya tidak dapat dituntut.
Kesenjangan aturan dengan praktek lapangan dalam pengejawantahan 4 prinsip dan hak fundamental yang telah menjadi ketentuan ILO sebelumnya memang terjadi. Namun peraturan berkenaan dengan hal tersebut terus diperbaharui karena menjadi perhatian banyak pihak.
Kondisi demikian berbeda jauh dengan prinsipsip dan hak fundamental keselamatan dan kesehatan kerja. Sejak orde baru, peraturan perburuhan yang progresif era orde lama telah dikubur. Termasuk juga berkenaan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Kini satu-satunya UU yang tegas mengatur K3 hanyalah undang-undang yang usianya kini sudah mencapai 52 tahun, UU No.1 Tahun 1970. Prinsip, hak pekerja dan protokol yang terdapat didalamnya adalah refleksi dimana lingkungan industri belum sedemikian pesat perubahan dan variasinya. Satu-satunya gaung paling besar dari UU K3 yang ada hanyalah perayaan formal bulan K3.
Masuknya K3 sebagai prinsip dan hak fundamental merupakan wake up alarm bagi serikat buruh dan semua stakeholder perburuhan untuk mendorong perubahan ketentuan Undang-undang K3 dan UU lainnya yang terkait. Pemerintah tentu sadar bahwa hal ini merupakan peringatan untuk segera membangun UU K3 yang adaptif dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Namun serikat buruh dan masyarakat yang peduli terhadap masa depan Sumber Daya manusia (SDM) Indonesia juga perlu terus membangun kekuatan untuk mendorong kemauan politik pemerintah.
Jangan lagi hanya 1 konvensi ILO tentang hygiene yang menjadi perhatian dalam kerangka kerja pemenuhan prinsip dan hak fundamental keselamatan dan kesehatan kerja. Konvensi K3 di sektor industri pertanian (C-184), konstruksi (C-167), Pekerjaan Dok pelabuhan (C-152) dan pertambangan (C-176) juga perlu menjadi perhatian. Demikian halnya dengan konvensi kanker akibat kerja (C-139), konvensi asbestos (C-162), konvensi lingkungan kerja (C-148), konvensi bahan kimia (C-170), dan 21 rekomendasi protokol ILO yang lainnya.
Telah diakuinya 5 (mantan) pekerja industri pengolahan asbestos yang menerima kompensasi penyakit akibat kerja dari BPJS Ketenagakerjaan adalah modal bagi serikat buruh dan masyarakat untuk menjadikan prinsip perlindungan dan jaminan hak atas resiko penyakit akibat asbes di tempat kerja. Konvensi Asbestos, kanker akibat kerja, lingkungan kerja, dan protokol rekomendasinya menjadi semakin relevan untuk diperjuangkan menjadi kebijakan fundamental keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia.
Konferensi Buruh Internasional yang menempatkan wakil buruh, negara, dan pengusaha dalam posisi yang sama di dalam pembuatan keputusan menambah prinsip dan hak fundamental perlu direfleksikan ke dalam proses pembuatan aturan K3 di dalam negeri. Buruh, pengusaha, dan negara perlu duduk bersama dalam posisi yang sama untuk menghasilkan peraturan terbaik menjamin pemenuhan prinsip dan hak fundamental K3.
Perlu Penguatan Serikat Buruh
K3 yang kini telah menjadi prinsip dan hak fundamental di dalam ketentuan ILO hanya akan menjadi macan kertas jika serikat buruh tidak diperkuat. Secara politik, serikat buruh perlu memperbesar kekuatannya dalam perimbangan diantara kekuatan pengusaha dan pemerintah. Konsolidasi menjadi hal penting yang perlu dilakukan agar prinsip dan hak fundamental kerja sebagaimana ditetapkan ILO benar-benar memberi manfaat bagi buruh di Indonesia.
Penguatan serikat buruh bukan hanya soal adanya peraturan yang menjamin keberadaannya. Namun juga menjamin bahwa aktivitas serikat buruh untuk memperjuangkan hak-haknya diakui sederajat dengan jaminan bagi pengusaha dan aktor negara. Artinya, negara tidak boleh lagi abai terhadap berbagai upaya yang dapat melemahkan posisi serikat buruh baik yang dilakukan oleh pengusaha maupun aktor pemerintah. Negara dengan aturannya harus tegas menjamin bahwa setiap upaya yang dapat membuat posisi buruh, pengusaha, dan pemerintah menjadi tidak seimbang adalah kejahatan yang pantas mendapat hukuman.
Secara internal, serikat-serikat buruh juga perlu mengupayakan berbagai langkah untuk menjadikan prinsip dan hak fundamental K3 sebagai bagian dari pergerakan (movement). Metodologi dan kerangka aksi perjuangan K3 serikat buruh perlu terus diperbaiki dan disesuaikan dengan jamannya. Perjuangannya mulai dari tingkat tempat kerja hingga kebijakan nasional K3. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan secara parsial sendiri-sendiri. Perlu kerja kolaboratif dengan pihak-pihak lain seperti akademisi, NGO, dokter okupasi dan kekuatan lainnya agar hal ini berhasil.
Layaknya sebuah orkestra, pergerakan untuk menjadikan K3 efektif sebagai prinsip dan hak fundamental, diperlukan konduktor yang mampu mengorkestrasi berbagai nada menjadi sebuah lagu bersama. Setiap pemain alat musik boleh memainkan alat musiknya sendiri namun semuanya perlu dikoneksikan satu dengan lainnya agar menjadi irama yang indah.
Serikat buruh manufaktur berkonsentrasi dengan perjuangan K3 disektornya, demikian juga di sektor tambang, konstruksi, transportasi, jasa layanan, dan lainnya. Demikian halnya dengan akademisi, NGO, aktivis dan lainnya perlu juga menyediakan diri untuk menjadi tulang punggung penopang bagi serikat buruh. Bersama-sama berkolaborasi untuk menghasilkan peraturan yang menegaskan dan menjunjung keselamatan dan kesehatan kerja sebagai prinsip dan hak fundamental.
Penulis : Surya Ferdian, Direktur Eksekutif Lion Indonesia