Di bawah langit Indonesia, di atap-atap rumah yang menjadi naungan, bersemayam sebuah kebenaran ganda yang merenggut nyawa. Asbes, sang primadona bahan bangunan kekar, terjangkau, begitu merakyat ternyata adalah malaikat maut bertopeng debu, “pembunuh senyap” yang kerap menebar benih kanker. Ia adalah berkah bagi pundi-pundi, namun kutukan bagi kesehatan manusia.
Sebuah ironi pahit, ketika bahaya yang telah lama diteriakkan oleh sains, seakan menjadi bisik lirih yang tak terdengar di telinga para pembuat aturan. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021, lembaran asbes diperlakukan seperti seonggok keramik atau sebatang paku. Aturan itu hanya meminta secarik identitas dangkal, merek dagang, nama sang pembuat, sebaris kode produksi. Namun, Permendag itu telah merajut sebuah ‘jubah gaib’ bagi maut. Ia membisu dalam seribu bahasa tentang dua mantra keselamatan yang paling hakiki, cara penggunaan yang waspada dan simbol bahaya yang terang benderang. Ini adalah kelalaian yang terpatri dalam lembaran negara, sebuah restu tersirat bagi ancaman untuk menyelinap ke rumah-rumah tanpa permisi. Konsumen, sang awam, dibiarkan telanjang di hadapan risiko, buta akan racun yang mereka bayar dan mereka naungi di atas kepala anggota keluarga mereka.
Kekosongan nurani inilah yang diseret ke hadapan Mahkamah Agung. Tiga jiwa pemberani dengan semangatnya yang membara, mewakili akal sehat dan hak sehat untuk hidup, menantang kebekuan aturan itu.
Untuk menyelami dalamnya makna putusan ini, kita wajib menelusuri lorong-lorong “alam pikir” yang membimbing Majelis Hakim. Ini bukan sekadar lembaran hukum yang dingin ini adalah sebuah manifestasi kemanusiaan yang terukir dalam detail pertimbangan.
Merobek Cadar Birokrasi
Pertama-tama, ketukan palu hakim meruntuhkan benteng formalitas yang kaku. Para hakim menolak untuk sekadar memandang asbes sebagai “barang dagangan” biasa. Jiwa kemanusiaan belum mati di dasar hati para hakim yang terefleksikan melalui cara mereka menelanjangi hakikat asbes yang sebenarnya: Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan karsinogenik.
Ini adalah fondasi baja bagi seluruh putusan. Dengan satu kalimat tegas itu, kacamata kuda yang kerap digunakan dalam birokrasi perdagangan dicampakkan, diganti dengan lensa tajam kesehatan publik. Sejak detik itu, segala argumen tentang “kelaziman dagang” luruh tak berarti. Ini adalah penegasan fakta yang tak terbantahkan.
Dari pijakan itu, nalar hakim mengalir deras menuju jantung perlindungan konsumen ketidakberdayaan di hadapan kuasa informasi. Para hakim menyelami betul pahitnya “informasi asimetris” jurang pengetahuan yang menganga antara produsen yang maha tahu dan konsumen awam yang lugu.
Bagaimana mungkin seorang kepala keluarga, yang membeli atap demi melindungi buah hatinya dari hujan dan terik, bisa menduga bahwa ia sedang membawa pulang bibit maut? Kompas nalar sang hakim adalah jeritan nurani jiwa kemanusiaan yang melihat ketiadaan label peringatan sebagai perampasan hak paling fundamental, yang juga telah dijamin oleh Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, hak atas rasa aman, dan hak atas kejujuran informasi.
Di mata hakim, membiarkan racun mematikan beredar tanpa secuil pun peringatan adalah sebuah pengkhianatan negara terhadap amanat melindungi rakyatnya. Regulasi yang membisu itu adalah tinta hitam pelanggaran hukum atas kewajiban suci negara.
Pertimbangan hakim mampu menyingkap sebuah ironi yang menusuk. Sang penjaga gawang aturan perdagangan, Kementerian Perdagangan, justru kedapatan telah menjebol gawangnya sendiri. Ia melanggar ruh undang-undang yang menjadi singgasananya selama ini.
UU Perdagangan jelas mengamanatkan bahwa perniagaan harus berlandaskan asas adil dan sehat, keamanan berusaha, dan berwawasan lingkungan. Logika hakim di sini begitu lurus dan terang: Perdagangan bukanlah arena liar yang buta akan korban. Ia harus beradab, beretika. Dengan menutup mata terhadap aspek Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L), Kementerian Perdagangan justru telah mencederai Marwah undang-undangnya sendiri.
Paku terakhir yang menyegel peti mati atas regulasi yang cacat itu terdapat pada pertimbangan keempat (hlm. 84-85), hal ini menjadi sebuah pisau bedah hukum yang paling presisi. Hakim menemukan adanya pembangkangan normatif yang fatal dalam tata urutan peraturan.
Alur pikirnya begitu kokoh, tak tergoyahkan karena peraturan lain menyampaikan titah yang tak bisa ditawar, barang terkait K3L WAJIB hukumnya memuat label cara penggunaan dan simbol bahaya.
Faktanya, asbes adalah barang K3L. Namun, Peraturan (Permendag) No. 25 Tahun 2021, sang ‘bawahan’, justru berani membungkam titah itu. Ia mengabaikan, bahkan mengingkari, mandat atasannya.
Hakim, dengan bahasa yang sederhana namun menusuk, menyatakan: aturan pelaksana tak boleh berkhianat pada aturan yang memerintahkannya. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah pembangkangan terhadap tertib hukum. Hakim tidak sedang berkreasi hukum baru; ia hanya sedang memulihkan hierarki hukum yang telah dilukai.
Dan di puncak perenungannya, Majelis Hakim tak berhenti sebagai ‘mesin pembaca pasal’ yang dingin. Mereka memanggil jiwa keadilan universal yang bersemayam melampaui lembaran kertas. Asas Alterum non laedere (jangan merugikan orang lain) dan Suum cuique tribuere (berikan pada setiap orang haknya) digemakan.
Hak konsumen atas informasi dan keselamatan adalah hak suci. Membiarkan racun beredar tanpa suara peringatan adalah bentuk nyata merugikan orang lain. Membiarkan mereka buta akan bahaya adalah suatu kejahatan, di mana mereka melakukan perampasan hak warga negara untuk memilih jalan hidup dan kesehatan secara sadar.
Putusan 6 P/HUM/2024 bukanlah sekadar secarik kertas dari Mahkamah Agung. Ia adalah sebuah monumen kemenangan bagi akal sehat, bagi kesehatan publik. Alam pikir hakim yang terurai di dalamnya adalah cambuk yudisial yang pedas bagi kelalaian dan sikap abai birokrasi.
Dengan meruntuhkan regulasi yang separuh hati itu, Mahkamah Agung telah mengumandangkan pesan yang menggelegar ke seluruh penjuru negeri. Roda ekonomi boleh berputar kencang, administrasi dagang boleh berjalan lancar, namun tak satu pun boleh menggilas hak suci warga negara untuk hidup sehat dan mendapatkan informasi yang benar.
Putusan ini adalah penegasan abadi, label peringatan bahaya pada asbes bukanlah sekadar pilihan di atas meja birokrasi. Ia adalah keharusan hukum. Dan, lebih agung dari itu, ia adalah keharusan kemanusiaan.







