Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) merupakan salah satu prinsip dasar konstitusi dan cita-cita yang harus kita perjuangkan bersama. Demokrasi berlandaskan atas hak-hak asasi dimana setiap orang harus diperlakukan dengan hormat, adil, dan setara. Berdasarkan gagasan keadilan, prinsip ini menjamin bahwa setiap orang tunduk pada hukum yang sama dan diberikan tingkat perlindungan hukum yang sama, terlepas dari status sosial ekonomi, jenis kelamin, agama, atau latar belakang mereka.
Sayangnya, persamaan di hadapan hukum masih sulit diwujudkan disaat ketimpangan relasi kuasa masih ada. Tidak jarang kita masih dipertontonkan dimana segelintir orang terlihat memiliki keistimewaan di hadapan hukum karena memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Kita sulit melihat equality before the law, disaat para buruh atau masyarakat adat yang memperjuangkan haknya atas pekerjaan atau ruang hidup harus berhadapan dengan korporasi yang memiliki modal yang besar, begitupun para jurnalis atau aktivis lainnya yang menyuarakan isu-isu tentang lingkungan hidup dan hak asasi lainnya. Tidak jarang para korporasi ini juga didukung oleh pemerintah melalui kebijakan dan alat negaranya.
Eva Eryani dan Penggusuran Tamansari Bandung adalah salah satu contoh dari banyaknya kasus ketimpangan kuasa di hadapan hukum. Bagaimana perjuangan seorang warga dalam pusaran perebutan ruang hidup, melawan Pemerintah Kota Bandung. Selama bertahun-tahun Eva bertahan dari berbagai Upaya penggusuran dan pengusiran melalui aparat negara. Hingga pada 18 Oktober 2023, dirinya sebagai satu-satunya rumah yang masih bertahan dipaksa meninggalkan Tamansari, setelah dikepung oleh sekelompok orang yang mengaku warga pendukung program Pemerintah Kota. Pada hari itu, pembakaran rumahnya dia jadikan pesan yang sama seperti pejuang kemerdekaan terdahulu ketika menolak penjajahan dalam peristiwa “Bandung Lautan Api”.
Meski telah tergusur, perjuangan Eva atas haknya masih terus disuarakan. “Sampai hari ini saya masih berjuang untuk menuntut hak-hak saya” ujar Eva dalam orasi di acara Law Career Fest Fakultas Hukum – Universitas Parahyangan Bandung (2/10/2025). Orasi Eva hari itu juga menjadi salah satu panggilan pengingat kepada para mahasiswa hukum, bagaimana pendidikan hukum seharusnya menjadi alat yang signifikan untuk mencapai masyarakat yang adil dan setara, fondasi untuk menciptakan pengacara yang terampil, bertanggung jawab secara sosial dan moral, yang siap memperjuangkan keadilan.
Orasi lainnya juga disampaikan oleh Ajat Sudrajat, salah satu aktivis keselamatan dan kesehatan kerja, yang memenangkan judicial review penting untuk menegakkan label peringatan wajib pada produk asbes putih yang dijual di Indonesia. Saat ini, Ajat bersama dua rekannya harus menghadapi gugatan bernilai triliunan rupiah dari asosiasi industri dan pengimpor asbes putih FICMA karena mendeskriditkan asbes putih atau krisotil yang telah dikecam dan dilarang secara luas di seluruh dunia.

Putusan Mahkamah Agung (MA) no 6P/HUM/2024 tersebut merupakan kemenangan besar, tidak hanya bagi kampanye perlindungan hak atas informasi yang baik dan benar, tapi juga untuk membangun kesadaran masyarakat akan asbes putih sebagai bahan karsinogenik dan upaya untuk menghapus penyakit akibat asbes.
Namun, lebih dari setahun setelah putusan Mahkamah Agung yang bersifat final dan mengikat, label bahaya untuk produk asbes putih masih belum ditegakkan, sementara FICMA – yang didukung oleh lobi asbes internasional – menggugat putusan tersebut dalam kasus hukum kontroversial yang dianggap sebagai upaya untuk membungkam partisipasi publik terkait hak atas perlindungan konsumen dan masalah kesehatan masyarakat.
Asosiasi Industri besar asbes ini berupaya memaksa untuk membatalkan putusan MA tersebut dan menuntut ganti rugi sebesar 7,98 Triliun rupiah dari Lembaga perlindungan hak konsumen dan pekerja yang mendorong pelabelan wajib tersebut, serta Ajat dan 2 kawannya sebagai individu dari kelompok tersebut, atas opportunity loss yang akan ditimbulkan. Ajat menyebutkan bahwa praktek yang dilakukan asosiasi industri merupakan gugatan strategis terhadap partisipasi publik atau strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Alih-alih menyediakan mekanisme keadilan yang setara, SLAPP lawsuit menciptakan ketidaksetaraan dengan memungkinkan pihak yang kuat untuk menekan pihak yang lemah melalui sistem hukum itu sendiri.
Eva dan masih banyak warga masyarakat lainnya merupakan warga yang selama ini mendapatkan pendampingan maupun bantuan hukum dan pemberdayaan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat. Organisasi seperti PBHI Jabar adalah salah satu representasi perjuangan bahwa semua orang berhak atas persamaan di hadapan hukum. Perlu kita akui Proses hukum bukan sesuatu yang mudah dan murah.
Tentunya masih banyak warga yang samai hari ini masih berhadapan dengan hukum dan ketimpangan kuasa. Pendampingan dan bantuan hukum yang dilakukan oleh lembaga seperti PBHI lakukan merupakan sebuah upaya untuk menutup kesenjangan sosial dan ekonomi yang menghambat akses keadilan yang adil. Untuk mencapai kesetaraan di hadapan hukum, bantuan hukum sudah seharusnya disediakan secara cuma-cuma atau dengan biaya yang wajar, proses hukum harus disederhanakan, dan semua kelompok masyarakat terwakili dengan baik dalam sistem hukum dan pengadilan.






