Ironi Gugatan Asbes: Industri Tuntut Ganti Rugi, Nyawa Publik Jadi Taruhan

·

·

,
Dokumentasi sidang saksi ahli yang menghadirkan Dr. Anna Suraya, Sp.OK sebagai ahli toksikologi okupasi di PN Jakarta Pusat, 15 September 2025.

Ruang sidang seketika hening, ketegangan menggantikan suasana keriuhan saat dua saksi ahli disiapkan untuk memberikan keterangan. Di satu sisi, terdapat gugatan bernilai triliunan rupiah dari Asosiasi Manufaktur Fiber Semen Indonesia (FICMA) terhadap para aktivis konsumen. Di sisi lain, terdapat fakta ilmiah dan hak dasar manusia yang juga turut dipertaruhkan dalam gugatan ini. Sidang lanjutan ini bukan sekadar tentang uang, tetapi tentang bahaya yang terus mengancam jutaan nyawa manusia di Indonesia.

Saksi pertama, Dr. Joshua, seorang ahli hukum lingkungan, beliau langsung membongkar kejanggalan dalam gugatan. Beliau menegaskan bahwa gugatan ganti rugi harus didasarkan pada kerugian nyata dan faktual, bukan “kerugian potensial” yang tidak berlandaskan fakta dan hanya mengada-ada. “Tidak ada potensi kerugian dalam 1365, harus real antara perbuatan dan kerugian. Kerugian apa yang harus dibuktikan? Tentu saja kerugian yang sifatnya real. Sifatnya nyata. Bisa terakumulasi. Ada dasarnya. Dan berapa dasarnya?”, sambungnya.

Lebih dari itu, beliau dengan lugas menyebut kasus ini sebagai bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu sebuah taktik guna mengintimidasi hukum, yang lazim digunakan untuk membungkam kritik publik. “Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Nani, di situ dikatakan bahwa ‘Tidak bisa ketika seseorang memperjuangkan hak atas lingkungannya, tidak boleh dikaburkan’ dikaburkannya biasanya dengan SLAPP. Inilah cara untuk membungkam bagaimana partisipasi masyarakat itu dikaburkan”, ujarnya.

Dr. Joshua juga menyinggung hak fundamental masyarakat untuk melakukan judicial review dan judicial activism. “Setiap dari kita punya kepentingan, tetapi tidak semua kepentingan itu merupakan hak,” ujarnya, mengisyaratkan bahwa hak untuk memperoleh suatu profit tidak bisa berdiri di atas hak dasar masyarakat untuk hidup dengan sehat dan mendapatkan informasi yang jujur. Analogi kasus pencemaran merkuri di Minamata, Jepang, menjadi pengingat pahit tentang bagaimana kepentingan korporasi bisa berujung pada bencana kemanusiaan.

Setelah Dr. Joshua, berikutnya giliran Dr. Anna, ahli toksikologi okupasi, yang mengguncang ruang sidang dengan fakta-fakta ilmiah yang tak terbantahkan. Beliau menguraikan bahaya asbes putih (krisotil), zat yang telah dilarang di 73 negara karena sifatnya yang karsinogenik. “73 negara sudah melarang apapun bentuk asbes, semua bentuk asbes menyebabkan kanker”, ujarnya.

Asbes tidak hanya menyebabkan kanker paru, tetapi juga mesothelioma, asbestosis, dan bahkan dapat menyebabkan kanker ovarium serta kanker testis. Penyakit ini sering kali baru muncul 10 hingga 20 tahun setelah paparan, menjadikan bahayanya seperti bom waktu yang tersembunyi. Seperti yang dikatakan oleh George Wragg dalam bukunya yang berjudul “The Asbestos Time Bomb”.

Dr. Anna juga mematahkan argumen industri tentang kadar aman asbes yang sering kali mereka dalilkan. Beliau menegaskan bahwa hak untuk tahu tentang bahaya suatu barang adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Paparan asbes sendiri mirip dengan alergen, yang di mana dapat memicu penyakit bahkan dengan paparan dosis yang sangat kecil.

Beliau juga menjelaskan bahwa Baku Mutu Lingkungan (BML) untuk asbes di Indonesia adalah nol, yang berarti tidak ada toleransi sama sekali. “Jangan salah nilai ambang batas dengan baku mutu lingkungan, karena baku mutu lingkungan itu ZERO, tidak ada untuk asbes”, sambungnya. Pernyataannya ini secara efektif telah mengikis argumen pihak para penggugat dan menempatkan tanggung jawab kesehatan publik di pundak mereka.

Kombinasi kesaksian dari kedua ahli yang dihadirkan ini berhasil melemahkan dalil gugatan industri asbes. Suasana ruang sidang yang berubah dari tegang menjadi penuh ketidakpastian mencerminkan pergeseran kekuatan. Pertanyaan besar pun menggema dalam benak: Apakah keadilan akan ditegakkan bagi para konsumen? Apakah negara akan memenuhi kewajibannya untuk melindungi rakyat, ataukah akan tunduk pada kekuatan material? Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap perlindungan warga negaranya dan lingkungan hidup di tengah ambisi industrialisasi.


Latest Posts