Konsumen Mati, Negara Rugi, Produsen Lari
Hampir sebulan perkembangan kasus gagal ginjal yang dialami anak-anak akibat konsumsi obat mengandung etilen glikol dan dietilen glikol masih bisa kita simak sengkarutnya.
Laporan Kementerian Kesehatan tanggal 23 November 2022 yang dikutip kompas.com menyatakan terdapat 324 korban dengan 200 diantaranya meninggal dunia, dan 11 anak masih dalam perawatan.[1] Salah satu orang tua anak korban kematian akibat konsumsi kandungan obat berbahaya ini menggugat pemerintah yang dinilai hanya peduli data statistik. Gugatan juga dilayangkan kepada produsen obat agar menunaikan kewajiban kompensasi kepada para keluarga korban. Keluarga korban merasa tidak ada pihak yang benar-benar memperjuangkan keselamatan sang buah hati.
Etika Bisnis
Korban gagal ginjal yang merasa diabaikan oleh negara dan bisnis menggiring kita pada pertanyaan mendasar tentang bagaimana posisi negara dalam etika bisnis. Lempar tanggung jawab antara produsen obat, produsen bahan baku, bahkan antar lembaga negara yang terjadi menandakan betapa lemahnya posisi konsumen dihadapan negara dan bisnis. Dalam keresahan yang hampir serupa, Conrad (2022) mengajukan pertanyaan etis Do economy and ethics go together at all? Keresahannya menghantarkan dia menulis buku Business Ethics – A Philosophical and Behavioral Approach.
Publik dijebak dengan istilah yang menyederhanakan etika bisnis (business ethics) menjadi seolah hanya berupa tanggung jawab sosial (corporate social responsibility- CSR). Etika bisnis yang berbicara pengutamaan manusia dan kemanusiaan disederhanakan menjadi filantropi yang diselenggarakan oleh bisnis. Dalam kaitan ini, pandangan Conrad (2022) yang meletakkan manusia diatas ekonomi dan mengasumsikan bahwa ekonomi digunakan untuk kemanusiaan, menjadi penting dikedepankan. Etika bisnis adalah virtue (praktik keutamaan) kemanusiaan yang diimplementasikan dalam segala bisnis. Bahkan CSR sebagai tanggung jawab sosial pun dimaknai sebagai bagi-bagi sembako dan sumbangan kepada warga sekitar atau berbagai bentuk sumbangan lainnya. Bahkan inipun masih diakali dengan kompensasi berupa pengurangan (deduksi) pajak.
Adanya korban akibat konsumsi obat mengandung bahan berbaya membuat publik bertanya-tanya bagaimana bisnis memandang manusia. Apakah bisnis mengesampingkan nilai-nilai manusia yang menjadi penggerak mesin industrinya dan konsumen yang memberi jalan keuntungan baginya. Pekerja industri obat yang kini digugat mungkin saja adalah juga konsumen seperti yang lainnya. Konsumen yang berharap kesembuhan bagi anak-nya setelah mengkonsumsi obat. Benarkah bisnis telah meninggalkan sama sekali etika?
Jika kita menyaksikan bisnis masa kini utamanya di negeri-negeri yang makin menghargai keberadaan individu makin memberi perhatian kepada eksistensi individu manusia. Tulisan ini tidak sedang ingin membandingkan nilai-nilai liberalisme individual yang dianut oleh banyak negara di belahan barat. Namun dari fakta yang terlihat, sedikitnya merekalah yang terus menerus mendesakkan perbaikan praktik etis dalam industri.
Merujuk etchis&compliance initiatives gelombang awal desakan etis dalam industri dimulai dari tahun 1960an. Era ini ditandai dengan gerakan anti perang, peningkatan pengguna narkoba, dan hubungan buruh-majikan yang diametral. Dari kondisi yang demikian, individu makin menyadari pentingnya penciptaan kondisi dunia yang lebih baik. Pada era inilah mulai dikenal CSR untuk lingkungan, code of conduct, dan etika hukum (peraturan) sebagai praktik etis dunia bisnis.
Di era 1970an, dilandasi banyaknya praktek skandal bisnis dan peningkatan pengangguran akibat resesi, dimulailah era praktik etis anti korupsi, kepatuhan kepada nilai Hak Kemanusiaan, dan menaruh nilai kemanusiaan (virtue) sebagai ukuran penting ketimbang legal compliance. Pada era ini pekerja paksa, upah rendah, dan kemanan kerja menjadi isu penting dalam standar etika industri.
Perhatian industri terhadap etika terus berkembang mengikuti perkembangan situasi jaman. Tahun 1980an mulai dikenal lembaga penanganan etis (ombudsman) seiring dengan makin fleksibelnya hubungan buruh-pengusaha. Tahun 1990an negara-negara major supply chain barat mulai memberi perhatian kepada kondisi kerja tidak aman di negara-negara berkembang. Era 1990an juga mulai mengenal tuntutan etis terhadap produk yang dapat menambah resiko kerusakan bagi individu (konsumen) seperti industri rokok dan lainnya.
Perkembangan pesat terjadi di era 1990an juga ditandai dengan hadirnya Global Sullivan Principles 1999 yang menuntut pelibatan korporasi untuk menegakan Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial. Kondisi demikian ini terus berkembang hingga di era industri 4.0 dimana tuntutan etis sudah menyentuh masalah penggunaan yang layak terhadap data, media sosial, dan seterusnya.
Kembali pada permasalahan produk obat yang menyebabkan penyakit dan kematian anak, menjadi wajar jika publik mempertanyakan dimana etika industri obat berada dalam kasus ini. Produsen obat yang langsung berupaya lari dengan menyeret masuk perusahaan importir bahan baku etil glikon (EG) dan dietil glikon (DG) sama sekali tidak menunjukan prilaku beretika dalam produksi.
Indonesia memang mengimpor EG dan DG dari tujuh negara sebagai sumbernya. Secara berurut berdasarkan total kuantitas negara-negara eksportir EG ke Indonesia adalah Arab Saudi (43,8%), Singapura (34,3%), Malaysia(18,2%), India (3,52%), Uni Emirat Arab (UEA) (0,092%), Thailand (0,053%), dan Jepang (0,044%). Total nilai impor EG yang diserap Indonesia adalah 147 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,2 triliun pada 2022[2]. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor senyawa EG dan DG pada Juli 2022 masing-masing mencapai 48.072 ton dan 1.811 ton.
Indikasi tuna etika dari produsen obat bermasalah sudah terlihat sejak awal dengan tidak maunya produsen mengakui kesalahan bahkan malah justru berupaya membela diri dengan mengatakan bahwa tidak semua produk obat cairnya menggunakan EG atau DG. Mereka bahkan membebankan negara untuk melakukan uji dan mengumumkan mana produk mereka yang tidak patuh dan masih patuh terhadap aturan ambang batas aman 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari atau dibawah 0,1mg/ml obat sirup. Dua perusahaan produsen obat sudah menjadi tersangka, 2 lainnya masih dalam proses, sementara dari sisi produsen pengolah bahan baku terdapat 2 perusahaan yang dalam proses penyidikan lebih jauh.
Negara Gagap Dikelabui
Apa yang menjadi cukup menarik dari kasus penyakit dan kematian akibat bahan kimia berbahaya pada obat sirup untuk anak-anak ini adalah bagaimana lembaga negara saling tuding diantara sesamanya. Atas nama Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) lembaga negara yang dibuat untuk melayani warga justru terlihat saling menikam.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menerima tudingan publik merasa mereka tidak bersalah dalam kasus ini. Berlindung dibalik ijin import yang bukan merupakan kewenangannya, BPOM menunjuk Kementerian Perdagangan sebagai pihak yang semestinya dipertanyakan tanggung jawabnya. Karena di Kementerian Perdagangan inilah ijin import EG dan DG dikeluarkan.
Namun seperti halnya BPOM, Kementerian Perdagangan pun tidak merasa sepenuhnya bersalah. EG dan DG menurut mereka juga dipakai dalam industri yang berhubungan dengan pencelupan warna seperti cat dan tekstil. Karena itulah bahan EG dan turunannya ini masuk melalui jalur non pelarangan – pembatasan.
Dengan dalil menghidupkan perdagangan, dan atas nama kontribusi ekonomi publik dijejali informasi agar menerima dan mahfum bahwa bahan kimia yang bersangkutan memang diperlukan. Dari sana publik ditarik untuk menerima alasan bahwa pembatasan importasi akan menimbulkan masalah perekonomian.
Permasalahan importasi yang demikian ini dibuat seolah menjadi masalah kompleks yang tidak bisa serta merta dilarang atau ditetapkan pembatasannya. Karena bahan baku EG tidak hanya dipakai untuk obat, dibuatlah argumen seolah sulit membatasinya. Berbagai permasalahan mulai dari; belum adanya aturan, lembaga pengawasan, lembaga standarisasi, standar baku per industri, APBN pengawasan, kebutuhan pasar, dan lainnya, disemburkan untuk ditelan publik. Walhasil publik diharap akan “menyerah” dan menerima argumentasi yang demikian. Negara seolah kalah dengan cepatnya perkembangan ekonomi dan bisnis.
Apa yang publik saksikan dalam masalah obat yang mengandung bahan berbahaya ini, sebenarnya juga terjadi di industri lainnya. Sebut saja industri pengolahan asbestos (krisotil) yang masih banyak memproduksi dan menjual produknya tanpa informasi bahaya yang disampaikan kepada konsumennya.
Asbestos yang di impor dengan nama asbestos dan krisotil saat ini mayoritas digunakan untuk industri bahan bangunan seperti atap bergelombang, perpipaan, insulasi panas, dinding rata. Indonesia sama sekali tidak menghasilkan krisotil dari hasil pertambangannya. Industri bahan bangunan dalam negeri mengimportnya dari negara seperti Rusia, Kazakhstan, China, dan lainnya. Bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, hasil olahan asbestos – krisotil ini juga di ekspor ke negara lain yang belum melarang penggunaan bahan mengandung asbestos.
Badan kesehatan dunia, badan kanker dunia, organisasi pekerja sedunia, 67 negara didunia menyatakan krisotil beresiko terhadap kesehatan khususnya paru. Serat tajam krisotil yang berasal dari batuan alam dinilai dapat mengakibatkan penyakit akibat asbestos semisal kanker paru, mesothelioma, bahkan penelitian terakhir mengatakan ada dampak terhadap kanker ovarium.
Lagi-lagi atas nama tupoksi, tidak ada lembaga yang berani bersikap tegas untuk menyatakan asbestos-krisotil berbahaya. Kementerian Perindustrian yang berkepentingan terhadap hidupnya industri di dalam negeri merasa berat bahkan hanya untuk membatasi importasi. Demikian juga kementerian perdagangan dengan argumennya bahwa publik membutuhkan barang murah berdurasi panjang. Kementerian Tenaga Kerja atas nama serapan tenaga kerja juga tidak sanggup memaksa industri pengolahan asbes untuk memastikan keamanan pekerja dan tanggung jawab perusahaan terhadap masa depan kesehatan pekerjanya.
Bahkan sekedar untuk menaikan bea masuk dari nol rupiah dan pajak diatas 15% (merujuk India) atas asbestos-krisotil dan barang yang mengandung bahan tersebutpun seolah dirasa sulit oleh pemerintah. Kementerian ESDM yang kabarnya adalah penanggung jawab impor barang (HS Code) asbestos-krisotil melemparkan tanggung jawab kepada kementerian kesehatan untuk menetapkan kebahayaannya. Sementara itu, Kementerian Kesehatan hanya menetapkan “kebahayaan” dengan mengeluarkan aturan ambang batas aman serat asbestos di udara pada lingkungan rumah dan tempat kerja sebagai langkah “moderat” untuk tetap menghidupkan ekonomi.
Korban asbestos di pekerja sudah mulai terlapor di dalam dokumen resmi badan negara. Namun kehendak untuk mulai membatasi penggunaan asbestos-krisotil masih belum terlihat sebagai kehendak pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi menjamin kesehatan warga. Praktik CSR industri pengolahan asbes, produk murah dan tahan lama, serapan tenaga kerja, sumbangan terhadap ekonomi menjadi argumen pemerintah untuk tetap masih abai mengendalikan dampak asbestos bagi kesehatan pekerja dan warga.
Negara yang kalah oleh industri akan banyak mengorbankan warganya. Sebaliknya negara yang terlampau dominan terhadap industri juga akan melemahkan perekonomian yang berdampak bagi warganya. Karena itu, jalan tengah Etika Bisnis semestinya menjadi jalan moderat yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang ada. Kalau value-virtue masih terlalu abstrak dipraktekkan, setidaknya aturan legal dibuat oleh negara untuk memastikan etika bisnis berjalan dengan mengarusutamakan eksistensi manusia-warga negara.
Kemauan pengelola negara untuk memproduksi aturan-aturan etika bisnis sudah semestinya menjadi tuntutan bersama. Aturan yang demikian ini bukan hanya bicara etik dalam hubungan produsen-konsumen, melainkan juga etik dalam hubungan pengusaha-pekerja. Dari sini kita bisa berharap dimasa depan, produsen yang mengeruk keuntungan dari tenaga kerja dan konsumen bisa dengan tegap mengambil tanggung jawab etis mereka terhadap kemanusiaan.
Kita tidak berharap produsen obat berbahaya dapat lari seperti larinya James Hardie atas tanggung jawabnya.
[1] https://www.kompas.com/nasional/read/2022/11/25/06094991/kekecewaan-keluarga-korban-gagal-ginjal-akut-anak-saya-hanya-sebatas-angka
[2] https://internasional.kompas.com/read/2022/10/22/203100770/7-negara-pemasok-etilen-glikol-terbesar-ke-indonesia?page=all