KONVENSI ROTTERDAM DAN ASBES CHRYSOTILE
Konvensi Rotterdam adalah perjanjian internasional yang bersifat antar negara-negara di dunia mengenai perdagangan internasional atas bahan berbahaya dan beracun dan pestisida.
Negara-negara penandatangan Konvensi Rotterdam bersepakat menggunakan prosedur PIC (Prior Informed Consent) dalam mekanisme perdagangan B3 dan Pestisida.
PIC (Prior Informed Consent) adalah mekanisme formal untuk mendapatkan dan mensosialisasikan kebijakan import negara-negara penandatangan perjanjian apakah di masa mendatang akan menerima masuk pengiriman jenis bahan kimia yg terdapat dalam daftar Lampiran III Konvensi Rotterdam dan untuk memastikan kepatuhan negara pengekspor atas kebijakan impor tersebut.
Konvensi Rotterdam tidak bertujuan untuk melarang suatu jenis bahan kimia atau mempunyai wewenang untuk melakukannya. Konvensi Rotterdam bertujuan untuk memastikan semua negara penandatangan perjanjian memiliki akses terhadap informasi dan penelitian yang relevan dan ilmiah mengenai bahan kimia berbahaya.
Hingga saat ini, sebanyak 156 negara telah menandatangani perjanjian ini. Negara-negara ini bertemu setiap dua tahun sekali dalam sebuah konferensi bernama ‘Conference of the Parties’ (COP) Tahun ini COP akan diadakan pada 24 April hingga 5 Mei 2017.
Asbes Chrysotile
Asbes merupakan bahan tambang berbahaya bersifat karsinogenik yang dapat mengakibatkan kanker paru, asbestosis, mesothelioma, kanker laring dan ovarium (IPCS, 1998; WTO, 2001; IARC, 2012; WHO, 2014; Collegium Ramazzini, 2015). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setidaknya 107,000 orang di dunia meninggal akibat debu asbes. Dikarenakan dampaknya yang buruk terhadap kesehatan, hingga saat ini 55 negara telah melarang penggunaannya (IBAS, 2015).
Sebanyak lima jenis asbes sudah tercantum dalam Lampiran III Konvensi Rotterdam, yaitu Actinolite, Anthophyllite, Amosite, Crocidolite, and Tremolite. Sedangkan Chrysotile, jenis asbes yang paling banyak digunakan masih belum terdaftar dalam Lampiran III.
Upaya untuk memasukkan chrysotile dalam daftar Lampiran III sudah dilakukan sejak lama. Pencantuman chrysotile akan berdampak pada meningkatnya kesadaran global terhadap bahaya kesehatan akibat chrysotile.
ILO dan WHO telah meminta Konvensi Rotterdam untuk memasukkan chrysotile. Namun, permintaan ini ditolak oleh sejumlah kecil negara yang masih berdagang asbes chrysotile. Pada pertemuan terakhir di tahun 2015, kelompok ini telah menyusut hingga hanya Russia, Kazakhstan, Kyrgyzstan and Zimbabwe dan semua negara yang memiliki kepentingan ekonomi terhadap asbes.
Penghalang utama yang mengakibatkan chysotile belum masuk dalam daftar Lampiran III adalah persoalan prosedural. Yaitu, aturan yang mengharuskan pencantuman suatu bahan kimia dalam Lampiran III harus melalui konsensus, yang ditafsirkan sebagai kesepakatan total seluruh negara penandatangan perjanjian. Meskipun, pada pasal 21 menyebutkan bahwa bila semua upaya untuk mencapai konsensus sudah dilakukan dilakukan tetapi gagal, jumlah suara ¾ mayoritas sudah mencukupi. Hal ini berarti, satu negara saja dapat menghalangi dicantumkannya sebuah bahan kimia dalam Lampiran III meskipun terdapat bukti-bukti ilmiah yang kuat dan semua pihak lainnya mendukung.
Amandemen Konvensi Negara-Negara Afrika
Pada pertemuan 2015, pencantuman chrysotile dalam daftar lampiran III lagi-lagi dihambat. Sebuah kelompok kerja antar sesi dibentuk untuk menjajaki peluang-peluang untuk mengakhiri kebuntuan. Sebuah pertemuan di Riga, Latvia pada Juli 2016 tidak dapat menghasilkan rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Pada September 2016, pertemuan konsultasi regional untuk Afrika diadakan di Pretoria, Afrika Selatan. Sebuah proposal dikembangkan untuk mengamandemen Konvensi, mengubah syarat pengambilan keputusan untuk mendaftarkan suatu bahan kimia dalam Lampiran III, dari kesepakatan total menjadi ¾ persetujuan mayoritas. Syarat pengambilan keputusan ini sejalan dengan sebagaian besar pengambilan keputusan pada konvensi-konvensi internasional lainnya.
Tidak seperti persyaratan pengambilan keputusan untuk mencantumkan sebuah bahan kimia dalam Lampiran III, pasal 21 Konvensi membolehkan negara-negara penandatangan perjanjian untuk mengubah konvensi dengan persetujuan dari ¾ anggota jika berbagai upaya untuk mencapai kesepakan mutlak telah dilakukan. Setiap Negara penandatangan perjanjian berhak atas satu suara.
Chrysotile telah dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam daftar dalam 5 konferensi terakhir dan hasil buntu telah terjadi selama 10 tahun yang artinya segala upaya untuk mencapai kesepakatan telah digunakan. Pada pertemuan terakhir, 4 negara pihak berhasil menggagalkan pencantuman chrysotile, secara efektif menolak preferensi 152 negara pihak Konvensi Rotterdam. Mengubah Konvensi untuk membolehkan pencantuman bahan kimia dengan dukungan mayoritas ¾ Negara pihak akan menyelesaikan ketidakseimbangan kekuasaan yang aneh ini.
Download tulisan : rotterdam convention and asbestos