Urgensi Edukasi Penghapusan Penyakit Akibat Asbes di Indonesia

·

·

,
(25/09/2025) Seminar (Asbestos Learning & Vigilance for Early Occupational Lung Intervention) yang dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Seminar edukatif bagi mahasiswa kedokteran mengenai bahaya paparan asbes dalam rangka meningkatkan literasi medis dan kesadaran advokasi pencegahan penyakit paru akibat kerja serta mendukung program pemerintah dalam pengendalian penyakit tidak menular dan faktor risiko lingkungan.

Berbagai lembaga penelitian kesehatan dunia telah lama memberikan peringatan kesehatan yang keras tentang dampak Asbes. International Agency for Research on Cancer (IARC) menyatakan asbes dikategorikan sebagai karsinogen golongan 1, artinya terbukti secara ilmiah menyebabkan kanker pada manusia, terutama kanker paru dan mesothelioma, melalui mekanisme paparan serat mikroskopis yang terhirup dan mencapai alveoli paru, bersifat biopersistent (tidak dapat dicerna oleh tubuh), memicu inflamasi kronis, fibrosis paru (asbestosis), serta kerusakan DNA seluler yang menyebabkan transformasi maligna (IARC, 2012) (ATSDR, 2001).

World Health Organization (WHO) pada publikasinya pada tahun 2014, menyatakan bahwa tidak ada ambang batas paparan asbes yang aman bagi manusia, dan semua bentuk asbes (termasuk chrysotile yang masih legal di Indonesia) bersifat karsinogenik, sehingga WHO mendorong semua negara untuk segera menghentikan penggunaan semua jenis asbes sebagai satu-satunya cara efektif untuk mencegah penyakit terkait asbes.

Kebutuhan mendesak akan peningkatan kesadaran akan bahaya paparan asbes di Indonesia khususnya bagi mahasiswa kedokteran, mendorong beberapa mahasiswa yang sedang menempuh Blok Respirasi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadaran menyelenggarakan seminar (Asbestos Learning & Vigilance for Early Occupational Lung Intervention) Kegiatan Edukasi Bahaya Asbes dan Deteksi Dini Penyakit Paru akibat Kerja pada 25 September 2025.

Seminar pakar atau pelatihan lintas disiplin menjadi penting untuk meningkatkan literasi medis mahasiswa terhadap bahaya asbes dan memperkuat peran mereka sebagai calon dokter dalam mendeteksi dini penyakit akibat kerja, mengedukasi masyarakat, dan mendorong reformasi kebijakan kesehatan lingkungan di Indonesia.

Seminar edukatif dimulai dengan pemaparan dari panitia tentang topik epidemiologi dan risiko penggunaan asbes di Indonesia. Data paparan asbes di lingkungan kerja menunjukan pada 2016, kurang lebih 219.000 kematian terjadi di skala global, atau 63% dari seluruh kematian akibat kanker yang teratribusi dalam pekerjaan, terkait dengan asbes. (GBD 2016 Occupational Risk Factors Collaborators, 2020). Diestimasikan bahwa ribuan kematian per tahun terjadi di seluruh dunia, teratribusi pada keterpaparan asbes di rumah (WHO, 2014).

Asbes adalah mineral silikat berserat halus yang sejak abad ke-20 telah digunakan secara luas dalam berbagai produk industri dan konstruksi—terutama sebagai bahan atap, dinding, dan isolasi termal—karena sifatnya yang kuat, tahan panas, dan kimia. Namun, segala jenis Asbes (termasuk krisotil yang masih legal di Indonesia) telah terbukti sebagai bahan karsinogenik, a silent potent killer.

dr. Iceu Dimas Kulsum, Sp.PD, Sp.P yang menjadi salah satu narasumber menyampaikan bagaimana risiko kesehatan penggunaan asbes terhadap kesehatan, diagnosis dini dan tantangan penatalaksanaannya. Keterpaparan terhadap krisotil dan seluruh bentuk serat asbes menyebabkan penyakit fatal termasuk asbestosis, kanker paru-paru, mesotelioma (kanker mesotelium)—lapisan pelindung di dalam rongga tubuh dan di luar organ dalam, seperti paru-paru, jantung, dan usus—dan kanker laring dan ovarium[1]. Periode antara paparan asbes dan munculnya penyakit biasanya adalah 10-40 tahun, hal ini juga dipengaruhi oleh lamanya paparan dan kuantitas.

Nara sumber lainnya, Ajat Sudrajat dari Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION) Indonesia menyampaikan beberapa materi pemaparan, dimulai dengan isu global dan nasional tentang pelarangan asbes dan advokasi kebijakan kesehatan masyarakat dan perlindungan pekerja. Saat ini setidaknya lebih dari 70 negara telah melakukan pelarangan segala jenis asbes.

Ajat Sudrajat menjelaskan bagaimana tren konsumsi asbes global, disaat negara-negara di seluruh dunia mulai mengurangi bahkan berhenti menggunakan material asbes, justru negara-negara di Asia termasuk di Indonesia konsumsinya semakin meningkat.

Di saat banyak negara telah melakukan pelarangan asbes secara total, menyempitnya pasar mendorong perdagangan asbes beralih ke Asia Tenggara. Kebijakan yang longgar dan masih rendahnya pengetahuan atas dampak kesehatan dari penggunaan asbes, menjadikan Indonesia sebagai salah satu target pasar impor asbes yang paling potensial. Indonesia merupakan negara ke-empat terbesar di dunia yang masih mengkonsumsi asbestos. Rata-rata sekitar 100.000 ton meter kubik asbestos setiap tahunnya diimpor ke Indonesia dari berbagai negara seperti Russia, Kazakhstan, China dan Brazil. Besarnya konsumsi asbes hingga saat ini seolah akan menjadi “bom waktu” penyakit akibat asbes di Indonesia dimasa depan.

Dampak kesehatan yang serius dari pajanan asbes bahkan mendorong negara-negara seperti Kanada dan Australia melakukan pelarangan, padahal kedua negara tersebut memiliki tambang asbes yang seharusnya memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Australia telah melarang secara luas terhadap impor dan semua jenis penggunaan asbes, termasuk Chrysotile atau asbes putih secara nasional pada akhir tahun 2003. Namun, diestimasikan bahwa penyakit yang berhubungan dengan asbes menyumbang kurang lebih 4.000 kematian di Australia setiap tahunnya, dengan gejala yang biasa muncul 20-40 tahun setelah terpapar asbes.

Sesi seminar ini diakhiri dengan pemutaran video yang memberikan pemahaman teknis tentang prosedur pembongkaran dan pelepasan atap asbes secara aman, sesuai prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan regulasi pengelolaan Bahan Beracacun Berbahaya (B3) harus dilakukan dengan standar tinggi, seperti menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap seperti masker partikulat N95/FFP3, baju pelindung sekali pakai, teknik pembasahan material untuk mencegah pelepasan serat ke udara, serta pembuangan limbah ke tempat penampungan B3.

Berkaca dari banyak hasil penilitian ilmiah dan pengalaman tentang dampak penggunaan asbes bagi Kesehatan, pendidikan kedokteran di era modern tidak cukup hanya mengajarkan diagnosis dan terapi berbasis rumah sakit, tetapi juga harus menanamkan kesadaran ekologi dan tanggung jawab sosial, di mana mahasiswa dipersiapkan sebagai agen perubahan yang mampu mengadvokasi penghapusan penyakit akibat asbes di tingkat kebijakan, menginisiasi program skrining berbasis komunitas, serta mendorong kolaborasi lintas sektor dalam upaya eliminasi penyakit akibat asbes, sebagaimana telah direkomendasikan oleh WHO, ILO, dan berbagai jurnal ilmiah Internasional seperti The Lancet Oncology, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, dan International Journal of Environmental Research and Public Health, yang semuanya menyimpulkan bahwa bahaya asbes merupakan isu global yang mendesak dan membutuhkan respons serius dari kalangan profesional medis, termasuk generasi dokter masa depan.


[1] World Health Organisation (WHO) International Agency for Research on Cancer (IARC) 2012. Monograph Volume 100C: Asbestos (Chrysotile, Amosite, Crocidolite, Tremolite, Actinolite and Anthophyllite). http://publications.iarc.fr/120


Latest Posts