Lindungi Masyarakat, Lembaga Perlindungan Konsumen Justru Digugat Korporasi
Rabu, 18 Desember 2024, 23:40 WIB
Malang benar nasib konsumen Indonesia. Berhadapan dengan produsen bermodal besar, protes-protes konsumen justru berhadapan dengan tuntutan pidana ITE. Belum lagi gugatan ganti rugi yang bisa membuat bangkrut.
Kasus terbaru, salah satu lembaga pelindungan konsumen yang berniat menyelamatkan masyarakat dari bahaya penyakit akibat asbes justru berbuah gugatan ganti rugi. Tidak tanggung-tanggung, nilainya bahkan melebihi upah setahun kelas menengah tertinggi di Jakarta, Rp7 millar lebih.
Serangan terhadap lembaga pelindungan konsumen dilakukan Asosiasi Industri Asbes yang merasa mengalami potential lost akibat kemenangan gugatan yang diajukan lembaga. Di mana gugatan LPKSM Yasa Nata Budi dimenangkan Mahkamah Agung berkenaan dengan peraturan kewajiban label terhadap semua produk atap bergelombang dan rata berbahan asbes.
Hal mendetail terkait ini, dibahas kembali pada acara Seminar Nasional bertajuk “Kemenangan Pelindungan Konsumen Digugat Korporasi”, yang diadakan oleh LION Indonesia dan LPKSM Yasa Nata Budi, Rabu, 18 Desember 2024.
Kepala Divisi Penyuluhan dan Pembelaan Yasa Nata Budi, Leo Yoga Pranata menjelaskan, lembaganya menggugat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang Yang Wajib Menggunakan Atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia dan teregister pada 29 Desember 2023.
“Kami menggugat karena Permendag tersebut tidak mempertimbangkan beberapa peraturan yang lebih tinggi, yang justru menetapkan Asbes sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti PP 74 Tahun 2021 dan peraturan menteri lainnya. Atas kemenangan itulah kami digugat oleh asosiasi Industri produsen atap asbes,” ujar Leo melalui keterangannya, Rabu, 18 Desember 2024.
Pada kesempatan yang sama, Dr Anna Suraya selaku dokter Okupasi dengan Spesialisasi Toksikologi memaparkan, semua jenis asbestos oleh badan riset kanker dunia dan badan-badan dunia lainnya seperti WHO dan ILO ditetapkan sebagai bahan yang bersifat karsinogenik. Menurutnya, karena sifat karsinogenik bahan asbestos maka perlu ada langkah kebijakan yang tepat untuk mengendalikannya.
“Gugatan Yasa Nata Budi untuk labelisasi sebenarnya cukup moderat. Mereka tidak minta melarang hanya labelisasi. Kalau dari ilmu pencegahan risiko harusnya faktor penyebab bahaya itu dihilangkan. Riset doktoral saya yang dipublikasi secara internasional dengan data dari Indonesia, sudah membuktikan hubungan asbes dengan kanker paru,” tuturnya.
Menurut dokter yang juga pengajar di Universitas Binawan ini, karsinogenik semua jenis asbes bukan hal yang menakut-nakuti publik, melainkan sebagai informasi penting yang perlu diketahui publik agar mereka secara sadar memilih apa yang akan dikonsumsinya. Bahkan, dia mengungkapkan, telah ada laporan pekerja yang terkena penyakit akibat asbes di Indonesia sejak 2017.
“Para pekerja itu sakit akibat asbes karena mereka tidak tahu juga apa bahaya yang terkandung di dalam karung-karung asbes yang mereka gunakan dalam bekerja. Begitu mereka sakit, sistem kesehatan kita juga terbatas untuk mengatasinya. Kita tidak mau juga nanti ketika peristiwanya terjadi di konsumen, sistem kesehatan nasional kita tidak sanggup untuk menanggulangi hal ini,” jelasnya.
Gugatan Ganti Rugi
Asosiasi Industri Fiber Semen Indonesia menggugat Yasa Nata Budi karena dinilai melakukan disinformasi saat lembaga pelindungan konsumen tersebut mengajukan gugatan atas Permendag kepada Mahkamah Agung. Lebih jauh, asosiasi menuduh akibat putusan MA yang memenangkan Yasa Nata Budi menyebabkan asosiasinya mengalami kerugian.
Menanggapi gugatan ini, Kuasa Hukum Yasa Nata Budi, Dadan Januar dari kantor hukum Binsar Sitompul mengatakan, gugatan asosiasi tidak tepat karena menyasar keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung bukan oleh Yasa Nata Budi.
“Yang dipersoalkan asosiasi terhadap Yasa Nata Budi itu adalah hal yang sudah dipertimbangkan dan diputus oleh MA. Jadi bukan Yasa Nata Budi yang mendiskreditkan atau melarang asbes dan memutusnya perlu dilabelisasi. Masa putusan MA digugat ke PN Jakarta Pusat dan menyasar warga negara yang telah diterima legal standingnya? Aneh itu,” papar Dadan.
Gugatan asosiasi industri terhadap Yasa Nata Budi oleh sejumlah aktivis HAM dikatakan sebagai gugatan strategis melawan partisipasi publik atau Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Maknanya adalah upaya-upaya industri untuk membungkam partisipasi publik dalam pembelaan dirinya.
Direktur LBH Bandung, Heri Pramono mengatakan, SLAPP ini sudah menjadi tren industri.
“SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation merupakan suatu upaya pelemahan melalui lingkup hukum yang didasarkan pada upaya untuk mengintimidasi, mengalihkan sumber perhatian, serta melemahkan daya perlawanan masyarakat yang peduli pada persoalan public,” terang Heri.
“Sudah ada deretan kasus yang mirip dengan apa yang terjadi terhadap Yasa Nata Budi. Industri yang menggugat konsumen ini situasi yang buruk dan tidak boleh diteruskan. Harus ada perlawanan sistematis,” sambungnya.
Surya Ferdian, selaku Direktur LION Indonesia menambahkan, usaha untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyakit akibat asbes adalah perjuangan panjang. Hambatan yang dilakukan Asosiasi Industri hanyalah bagian dari tantangan perjuangan.
“Kita telah lebih dari 14 tahun bekerja untuk advokasi asbes. Kita paham pada masanya akan menghadapi hal seperti ini, jadi ya kita bersiap saja. Kita hadapi dengan keyakinan bahwa kita akan dimenangkan oleh kekuatan besar rakyat Indonesia. Saya meyakini teman-teman di Yasa Nata Budi akan dilindungi hukum,” tutup Surya.
EDITOR: AGUS DWI