Bersama Melindungi Relawan Bencana dari Pajanan Asbes
Pajanan Asbes: Beban Tambahan Bencana Alam
Indonesia merupakan negara dengan tingkat risiko kebencanaan yang tinggi di dunia. Posisi geografis Indonesia yang terletak di kawasan “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire) membuatnya rentan terhadap berbagai bencana alam, seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Selain itu, Indonesia juga sering dilanda bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan badai akibat perubahan iklim dan curah hujan yang ekstrem.
Bencana alam tentunya tidak hanya berdampak kepada kerusakan properti, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan. Selain itu menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya. Salah satu dampak kesehatan dari bencana alam yang sering kali tidak dihiraukan atau masih belum menjadi perhatian di Indonesia adalah risiko paparan asbes.
Dalam konteks kebencanaan, seperti gempa bumi, badai, atau kebakaran, bangunan yang mengandung asbes dapat rusak dan melepaskan serat-serat asbes ke udara. Ini meningkatkan risiko pajanan bagi penduduk, relawan, dan pekerja kemanusiaan lainnya. Serat asbes yang terlepas ke udara dapat dengan mudah terhirup, menempatkan siapapun di sekitar area bencana pada risiko kesehatan yang serius.
Asbes yang merupakan karsinogen diketahui umum digunakan dalam berbagai bahan bangunan di Indonesia semenjak tahun 1970-an dan masih ditemukan dalam beberapa produk yang sedang diproduksi saat ini.
Meskipun tergolong mineral alami, semua jenis asbes temsuk asbes putih (krisotil) memiliki dampak buruk dan tidak alami bagi kesehatan manusia. Paparan asbes dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, seperti asbestosis, plak pleura, penebalan pleura, efusi, dan kanker. Berdasarkan bukti, paparan asbes telah dikaitkan dengan kanker paru-paru, laring, dan ovarium, serta mesothelioma. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa 125 juta orang terpapar asbes di tempat kerja mereka.[1] Secara global, lebih dari 200.000 kematian diperkirakan disebabkan oleh paparan asbes di tempat kerja – lebih dari 70% dari semua kematian disebabkan oleh kanker yang berhubungan dengan pekerjaan.[2] Periode laten penyakit yang panjang dan kurangnya pilihan pengobatan merupakan tantangannya. Menurut American Cancer Society, rentang waktu antara paparan awal dan diagnosis biasanya berkisar antara 20 hingga 50 tahun.[3]
Paparan asbes tidak menimbulkan bahaya langsung seperti kabel listrik yang masih menyala, kebocoran gas, atau infrastruktur yang tidak stabil. Serat asbes bersifat mikroskopis dan bergerak melalui udara atau dalam awan debu, sehingga Anda dapat terpapar tanpa menyadarinya. Menghirup serat asebes setelah bencana alam dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang serius beberapa tahun kemudian. Semakin sering seseorang terpapar asbes, semakin tinggi risiko mereka terkena penyakit terkait asbes.
Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk Relawan Bencana
Sebagai orang pertama yang tiba di lokasi kejadian, kru tanggap darurat dan relawan tanggap darurat dalam menghadapi risiko paparan asbes yang lebih tinggi setelah bencana alam karena banyaknya puing-puing yang mungkin mengandung asbes. Risiko dampak kesehatan meningkat seiring waktu dan bergantung pada frekuensi dan jumlah paparan asbes pada pekerja ini. Sayangnya, besarnya risiko paparan asbes belum berimbang dengan tingkat kapasitas pengetahuan dan keahlian para pekerja atau relawan bencana.
Sebagai inisiatif untuk melindungi Kesehatan dan keselamatan kerja para relawan bencana dari risiko pajanan asbes, Local Initiative for OSH Network (LION) dan Universitas Binawan melaksanakan Pelatihan Pencegahan Pajanan Asbes bagi Relawan Bencana. Pelatihan perdana ini berlangsung pada tanggal 17-18 Oktober 2024 di Bandung. Serial kegiatan yang akan dilaksanakan diberbagai tempat ini bertujuan untuk membekali para relawan bencana dengan pengetahuan dan keterampilan terkait pencegahan bahaya pajanan asbes selama penanganan bencana di lapangan. Modul pembelajaran yang digunakan untuk pelatihan ini menggunakan kurikulum dan modul pencegahan pajanan asbes bagi relawan bencana yang sudah dikembangan oleh tim Universitas Binawan. Modul ini juga memuat peta risiko pajanan asbes berdasarkan tingkat penggunaan atap asbes, tingkat kepadatan penduduk, dan tingkat potensi gempa di Indonesia.
Peningkatan kapasitas bagi para relawan bencana pada akhirnya diharapakan tidak hanya untuk melindungi diri mereka sendiri namun masyarakat yang terdampak dari beban tambahan saat bencana alam dari risiko paparan asbes.
Media yang digunakan untuk pelatihan ini menggunakan kurikulum dan modul pencegahan pajanan asbes bagi relawan bencana yang sudah dikembangan oleh tim Universitas Binawan. Modul ini juga memuat peta risiko pajanan asbes berdasarkan tingkat penggunaan atap asbes, tingkat kepadatan penduduk, dan tingkat potensi gempa di Indonesia.
Risiko asbes pada bencana alam seperti gempa bumi merupakan risiko tambahan terhadap pekerjaan dan lingkungan yang tidak boleh diabaikan. Sehingga pengendalian pajanan asbes saat tanggap bencana hingga pengelolaan limbah asbes harus diprioritaskan dalam rencana kesiapsiagaan bencana. Jika tidak, paparan asbes dapat mengakibatkan masalah kesehatan serius yang berdampak jangka Panjang.
[1] World Health Organization. Asbestos: elimination of asbestos-related diseases. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asbestos-elimination-of-asbestos-related-diseases [Google Scholar]
[2] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asbestos
[3] American Cancer Society. Risk factors for malignant mesothelioma. Available at: https://www.cancer.org/cancer/types/malignant-mesothelioma/causes-risks-prevention/risk-factors.html. [Google Scholar]