Dukungan Kolaboratif Tenaga Medis untuk Eliminasi Penyakit Akibat Asbes
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa semua bentuk asbes dapat menyebabkan kanker dan tidak ada tingkat paparan atau nilai ambang batas (NAB) yang aman. Asbes memiliki hubungan dengan penyakit asbestosis, kanker paru, mesothelioma, dan penyakit lainnya.
Meski lebih dari 67 negara telah menurunkan konsumsi asbes dan memberlakukan larangan. Namun masih ada negara tertentu yang terus menggali tambang asbes dan mengirimkannya ke berbagai negara berkembang. Tidak dipungkiri, banyak negara berkembang memang memilih menggunakan asbes demi alasan ekonomis tanpa melihat resiko kesehatan.
Walau semakin banyak riset membuktikan kematian terkait asbes terus meningkat diiringi resiko pembiayaan pengobatan yang makin tinggi. Tidak menyurutkan negara seperti Rusia, China, Khazakhstan, dan India terus menebar resiko ancaman penyakit akibat asbes. Indonesia dengan penduduk lebih dari 250 juta orang merupakan pasar asbes keempat terbesar di dunia yang menjadi sasaran negara eksportir.
Impor dan penggunaan asbes meningkat tajam selama dua dekade terakhir dengan lebih dari 100.000 metrik ton di impor setiap tahun antara 2010 – 2019. Bahan asbes utamanya digunakan sebagai bahan campuran untuk produk lembaran atap, industri suku carang otomotif, dan industri friksi lainnya. Kondisi yang demikian ini membuat para pekerja pabrik pengolahan asbes menghadapi resiko penyakit akibat asbes yang makin meningkat.
Tahun 2017 Indonesia akhirnya mengakui ada 5 korban penyakit akibat asbes yang berhubungan dengan kerja. Temuan ini disusul dengan publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi tentang adanya penyakit akibat asbes yang “tidak dikenali” dari para pasien penyakit kanker paru di sebuah rumah sakit paru nasional. Tahun 2019, korban asbes di Indonesia tercatat dalam jurnal-jurnal internasional yang ditulis secara kolaboratif antara dokter okupasi, paru, dan radiologi. Laporan di jurnal-jurnal ilmiah ini seakan membangunkan dunia bahwa sebuah negara besar di Asia Tenggara dimana lebih dari 6 juta rumah tangga penduduknya menggunakan asbes, mencatatkan korban-korban pertamanya.
Korban penyakit akibat asbes bukan hanya terjadi di dalam hubungan industri. Sebuah laporan kasus yang dipublikasikan oleh kampus ternama di Jawa Timur menambah catatan korban asbestos di Indonesia. Seorang pasien yang berprofesi sebagai dosen menjadi korban asbes akibat paparan asbes dikala dia membangun usaha konstruksinya.
Baru setelah belasan tahun terpapar, sang dosen mengalami kondisi kesehatan paru yang menurun dan akhirnya memeriksakan diri ke rumah sakit pemerintah terbesar di Jawa Timur. Di dalam pemeriksaan itulah didapatkan kecurigaan “pseudomesothelioma” akibat paparan asbes. Laporan kasus tahun 2020 ini membuktikan setidaknya paparan yang hanya sedikitpun bisa menjadi penyebab rusaknya paru-paru.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk menghitung penyakit yang berhubungan dengan asbes di empat Negara Asia Tenggara (Kamboja, Indonesia, Laos, Vietnam) dengan menggunakan data Global Burden of Disease (GBD) terbaru[1]1, penelitian ini menyatakan bahwa lebih dari 1.600 warga Indonesia meninggal setiap tahun karena penyakit terkait asbes yang sebenarnya dapat dicegah. Jumlah kematian diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 3.000 kematian pada tahun 2040 jika Indonesia masih terus menggunakan asbes.
Pada tahun 2019 diperkirakan terdapat 1.661 kematian di Indonesia akibat paparan asbes di tempat kerja, dimana 82% di antaranya berasal dari kanker paru-paru dengan 1.268 kematian, 14% atau 225 kematian diantaranya berasal dari mesothelioma. 53% dari total kematian akibat kanker paru akibat paparan asbes di Indonesia terjadi di Pulau Jawa.
Masih berdasarkan GBD, 86% kematian akibat asbes terjadi pada laki-laki, seiring dengan tingkat kematian laki-laki untuk kanker paru-paru terkait asbes yang meningkat beberapa kali sejak tahun 1990. Karena penyakit yang berhubungan dengan asbes ini bersifat laten butuh waktu untuk terdeteksi, pria berusia diatas 70 tahun memiliki potensi angka kematian yang jauh lebih tinggi untuk kanker paru terkait asbes (19,74) kematian per 100.000 dibandingkan dengan 2,12 pada pria berusia 50-69 tahun)
Dengan kenyataan bahwa atap asbes masih menjadi atap favorit 13% lebih rumah tangga Indonesia dan barang mengandung asbes juga terdapat diberbagai barang konsumsi maka resiko masyarakat terpapar asbes menjadi makin besar. Posisi Indonesia yang berada pada cincin api bencana meningkatkan resiko menjadi berkali kali lipat. Kerusakan produk mengandung asbes yang terjadi pada saat bencana berpotensi besar melepaskan debu asbes ke udara dari ikatannya, kemudian terhirup orang yang berada disekitarnya, dan meningkatkan resiko terkena penyakit akibat asbes.
Satu langkah besar, bekerja menuju masa depan Indonesia bebas penyakit akibat asbes
Menyikapi langkanya laporan penyakit akibat asbes di Indonesia, sejumlah kelompok melakukan berbagai upaya untuk menyebarluaskan pengetahuan penyakit akibat asbestos. Mulai dari serikat pekerja, NGO, aktivis lingkungan, hingga aktivis kesehatan berkolaborasi menjalankan perannya masing-masing untuk menyebarluaskan pengetahuan penyakit akibat asbes.
Pada 21-23 Juni 2023, dimotori dokter cum aktivis eliminasi penyakit akibat asbes, diselenggarakan International Symposium and Workshop Asbestos-Related Diseases – Principles of Mesothelioma and Asbestos Related Diseases, di Universitas Binawan. Simposium dan lokakarya ini ditujukan bagi para tenaga kesehatan yang berfokus pada area patologi histologi, radiologi, onkologi, keperawatan spesialis, epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 17 pakar mengisi kegiatan yang didominasi oleh perwakilan anggota organisasi professional dari Australia, yaitu ADDRI (Asbestos and Dust Diseases Research Institute), dan Asbestos Safety and Eradication Agency (ASEA), sementara itu beberapa pembicara lainnya berasal dari Union Aid Abroad – APHEDA, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI, dan LION (Local Initiative for Occupational Health and Safety Network) Indonesia.
Kegiatan ini merupakan lompatan besar bagi Indonesia dalam kerangka kerja menuju Indonesia terbebas dari penyakit akibat asbes. Transfer ilmu melalui lokakarya penanganan penyakit akibat asbes secara komprehensif dilakukan secara kolaboratif diantara beragam disiplin ilmu yang diperlukan untuk mendiagnosa penyakit akibat asbes. Dengan meningkatkan pemahaman cara diagnosa penyakit akibat asbes, diharapkan terjadi kerjasama berkelanjutan di masa depan dalam penegakan diagnosa penyakit akibat asbes.
Secara umum, penyakit akibat asbes masih sulit didiagnosis di Indonesia karena tanda dan gejalanya mirip dengan banyak jenis penyakit pernapasan lainnya. Tidak adanya laporan kasus penyakit akibat asbes di masa lalu membuat bahan pembelajaran bagi para dokter menjadi langka. Karena itulah perlu berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan negara yang secara pengetahuan dan teknologi jauh lebih berkembang dalam pengenalan penyakit akibat asbes. Disisi lainnya, sifat penyakit akibat asbes yang laten atau membutuhkan waktu untuk berkembang dalam kurun puluhan tahun, menjadikan penyakit akibat asbes tidak mudah dikenali dengan cepat. Penyelidikan riwayat paparan asbes menjadi penting sebagai catatan awal yang akan membedakan penyakit paru akibat asbes dengan lainnya. Kolaborasi kedokteran okupasi, paru, patologi, histologi dan lainnya menjadi semakin kontekstual diselenggarakan.
Diagnosis penyakit paru-paru pada individu yang terpajan asbes adalah proses yang tidak hanya membutuhkan riwayat pekerjaan semata. Dia juga memerlukan riwayat konsumsi produk yang mengancam paru, dan bakteri yang memungkinkan gangguan paru lainnya. Penilaian tanda-tanda fisik, pencitraan yang tepat, penilaian fungsi paru-paru yang terperinci, dan histologi/sitologi seringkali diperlukan untuk menegakan diagnosa penyakit akibat asbes[2].
Tantangan penegakan diagnosa penyakit akibat asbes dalam kebanyakan kasus penyakit akibat asbes adalah interval waktu yang signifikan antara saat paparan dan perkembangan penyakit. Banyak ahli yang mengatakan bahwa penyakit akibat asbes yang menjerat paru-paru akan terus berjalan karena kekuatan asbes yang tidak mudah luruh. Karena itu, sejumlah pakar menegaskan pentingnya deteksi dini agar dapat mengarah pada pengobatan dengan tujuan kuratif.
Belajar dari pengalaman Australia, peningkatan korban penyakit akibat asbes di Australia baru saja mencapai puncaknya di tahun-tahun belakangan ini. Padahal Australia bahkan telah melarang penggunaan asbes sejak 20 tahun yang lalu. Kurangnya data terkait asbes dan penyakit yang dihasilkannya, berdampak bagi kesehatan dan ekonomi di berbagai negara, tidak tertutup kemungkinan terjadi di Indonesia. Menghambat pengenalan penyakit akibat asbes dan tindakan segera untuk membatasi bahkan menghilangkan penggunaan asbes akan berdampak besar bagi sosial, ekonomi dan kemanusiaan di masa depan.
Dari sisi ekonomi negara, terdapat potensi beban ekonomi yang cukup siginfikan yang akan dihadapi negara-negara yang masih mengabaikan konsumsi asbes masyarakatnya. Beban tersebut berkaitan dengan biaya medis untuk pengobatan, biaya pemindahan asbes yang telah dipakai, dan potensi kompensasi[3]bagi para korban penyakit akibat asbes. Semakin lama Indonesia menunda pembatasan penggunaan asbes, semakin tinggi angka kasus penyakit akibat asbes, sudah barang tentu akan semakin memperbesar biaya yang harus ditanggung oleh Indonesia di masa depan.
[1] The 2019 GBD study is informed by over 7,000 researchers in over 156 countries and provideds over 3,5 billion health outcome estimates based on data from 281,586 sources. Available from global Burden Diseases study 2019 (GBD 20190 Data resources I GDx (healthdata.org)
[2] Edward, J. A. Harris., Arthur, Musk., Nicholas, de, Klerk., Alison, Reid., Peter, Franklin., Fraser, J, H, Brims. (2019) Diagnosis of asbestos-related lung diseases., https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30648431/
[3] Allen, L.P., J., Stern, M., Takahashi, K., & George, F, (2018). Trend and Economic Effect of Asbestos Bans and decline in Asbestos Consumption and Production Worldwide. International journal of environment research and public health, 15(30), 5321 https://doi/10.3390/ijerph15030531.