Pendidikan K3 : Suluh Gerakan Serikat Buruh
Budaya K3 (Kesehatan dan Keselematan Kerja) di Indonesia setidaknya telah dimulai semenjak tahun 1930-an dengan adanya Undang-undang Nomor Stb. No.225 Tahun 1930 tentang Undang-undang Uap (stoom Ordonantie 1930) yang didalamnya tercantum norma keselamatan kerja. Memasuki era perkembangan industri dan globalisasi kapitalis yang ditandai dengan undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing diterapkan, Undang-undang Keselamatan kerja No 01 tahun 1970 lahir menjadi karpet merah menuju cita-cita Indonesia yang maju.
Hari ini, 52 tahun setelah kita memiliki Undang-Undang K3 (kesehatan dan Keselamatan Kerja) dan puluhan peraturan turunannya, sayangnya jaminan tempat kerja yang sehat dan aman masih cukup memprihatinkan. Merujuk data BPJS Ketenagakerjaan, pada tahun 2019 terdapat 114 ribu kasus kecelakaan kerja. Tahun 2020 angka ini meningkat, di mana pada rentang Januari hingga Oktober 2020, BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.161 kasus kecelakaan kerja, 53 kasus penyakit akibat kerja yang 11 diantaranya disebabkan Covid-19. Termasuk dalam kategori kecelakaan kerja adalah kecelakaan lalu lintas pada perjalanan pekerja menuju tempat kerja, dari tempat kerja menuju tempat tinggal.
Perlindungan atas hak K3 (kesehatan dan Keselamatan Kerja) bagi para pekerja di Indonesia saat ini hanya bergantung kepada komitmen atau “niatan baik” dari para pemberi kerja. K3 masih belum menjadi hak dasar yang didapatkan setiap pekerja namun seolah menjadi hak “eksklusif” yang dinikmati sebagian para pekerja. Komitmen dari pemberi kerja, regulasi dan pengawasan pemerintah hingga peran serta pekerja atau serikat buruh menjadi garis besar dalam persoalan atas jaminan tempat kerja yang sehat dan aman.
Jaminan tempat kerja yang sehat dan aman juga bergantung kepada integritas dari dinas tenaga kerja dengan jumlah para pengawas ketenaga-kerjaan yang saat ini tidak sebanding dengan jumlah tempat kerja yang harus di awasi. Sekitar 252.880 perusahaan dengan 13.138.048 Pekerja hanya diawasi oleh sekitar 1.574 pengawas ketenaga-kerjaan (Juni 2020). Dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini yang hanya sekitar 1.574 orang, pengawas hanya mampu mengawasi 103.6800 perusahaan atau 40,9 persen dari jumlah perusahaan.
Pandemi COVID-19 hari ini masih terus menambah beban kesehatan dan ekonomi para pekerja dan semakin membuka bagaimana rentannya sistem jaminan perlindungan bagi para pekerja. Resiko Kesehatan dan keselamatan kerja, perampasan upah ketika tidak bekerja hingga PHK sepihak atas konsekuensi pandemi menjadi persoalan besar yang menghantam para pekerja dengan begitu keras.
Kondisi yang lebih buruk mungkin dialami oleh para pekerja yang tidak berserikat. Para pekerja tidak memiliki alat perjuangan untuk membantu membentuk langkah-langkah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja dan bekerja sama dengan pemberi kerja untuk menghindari PHK atas konsekuensi ekonomi dari pandemi. Mereka mungkin tidak dapat bernegosiasi dengan majikan mereka untuk perjanjian pembagian kerja dan pemotongan gaji sebagai pengganti PHK, mempertahankan jaminan status kerja dan asuransi kesehatan sambil melindungi kelangsungan ekonomi tempat kerja mereka.
Mungkin hal ini merupakan persoalan klasik di negara kita dan mungkin tidak jauh berbeda juga dialami oleh para pekerja ditempat kerja di seluruh dunia. Namun, setidaknya paparan singkat diatas dapat memberikan sedikit gambaran hari ini bagaimana besarnya tantangan serikat buruh dan para tenaga kerja untuk tempat kerja yang sehat dan aman.
Pendidikan K3 : Suluh Gerakan Serikat Buruh
Dalam menghadapi globalisasi kapitalis yang cepat, serikat pekerja mewakili barikade dalam membela kesehatan dan keselamatan pekerja. Meski hak atas tempat kerja yang sehat dan aman telah di jamin oleh konstitusi dan undang-undang di negara kita, para buruh harus terus berjuang untuk mendapatkan hak atas tempat kerja yang sehat dan aman.
Persoalan K3 dilapangan tentunya penuh dengan masalah politik, sosial ekonomi, filosofis, etika, gender dan etnis, psikologis, dan biologis yang mendasar. Sebagai contoh, sebuah kasus kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja tentunya secara langsung memberikan konsekuensi ekonomi pada sebuah perusahaan atau tempat kerja, hal ini termasuk biaya kompensasi, rehabilitasi, advokasi, rusaknya citra perusahaan, dan akhirnya kehilangan order dari buyer. Namun disisi lain, mereka yang paling terdampak yaitu para pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, sayangnya harus menjadi yang disalahkan, menerima stigma sosial yang buruk dan berujung terasingkan.
Salah satu hak paling mendasar dari setiap pekerja adalah hak untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan. Peningkatan kapasitas setiap pekerja atau anggota serikat terkait hak-hak normatif dan berorganisasi termasuk hak-hak atas jaminan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) merupakan suluh bagi gerakan buruh dalam berjuang. Pekerja atau serikat pekerja yang memiliki informasi dan pengetahuan yang baik akan memiliki peranan penting dalam berpartisipasi, memperjuangkan dan memenangkan hak tempat kerja yang sehat dan aman. Pekerja memainkan peran utama sebagai dasar dari setiap peningkatan signifikan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pengawasan, inspeksi pabrik, kompensasi, koreksi, dan pencegahan kecelakaan kerja dan Penyakit akibat kerja hingga mengawal penerapan dan perbaikan undang-undang terkait ketenagakerjaan agar tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
Pendidikan dan pelatihan K3 bagi para pekerja tidak hanya untuk melindungi mereka dari resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kesadaran kelas para pekerja untuk berdiri bersama korban. Menumbuhkan rasa empati, bersama keberanian mendampingi kawan kawan kita yang mengalami ketidak-adilan. Membantu advokasi kasus kecelakaan kerja atau kekerasan seksual ditempat kerja. Merangkul mereka, menghapus stigma sosial yang harus dialami oleh para korban kecelakaan kerja. Sebuah kecelakaan kerja terjadi bukan karena nasib buruk semata, hal ini terjadi karena sebuah sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak berjalan semestinya.
Sejarah telah membuktikan bagaimana serikat buruh atau tenaga kerja yang terorganisir telah menjadi faktor yang paling penting bagi peningkatan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, dari masa revolusi industri hingga saat ini. Kehadiran serikat pekerja yang aktif dan terinformasi itulah yang memberi makna pada setiap arah perjuangan untuk kesejahteraan para kelas pekerja. Semenjak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, para pekerja telah berorganisasi dalam serikat pekerja dan partai untuk memperkuat upaya mereka dalam meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, jam kerja, upah, kontrak kerja, dan jaminan sosial. Hingga pada masa pandemi ini dan ancaman Undang undang omnibus law no 11 tahun 2020 tentang cipta kerja, serikat pekerja setidaknya telah menunjukan perlawanannya sebagai identitas mereka, serikat buruh yang berjuang untuk melindungi hak atas para pekerja.