Pabrik pembuat produk H&M ini membayar upah di bawah UMK, praktek jam kerja panjang dan lembur tidak di bayar.
Di balik mewah dan mahalnya produk pakaian H&M ternyata tidak sebaik nasib para buruhnya yang membuat produk tersebut. Masih banyak para buruhnya yang harus bekerja dengan jam kerja panjang, upah dibawah ketentuan dan ketidak-pastian status kerja.
Berdasarkan keterangan dari Cepi Supandi salah satu pekerja PT NAG (PT. Nirwana Alabare Garment) yang terletak di kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, menerangkan bahwa mereka “dipaksa” untuk bekerja lebih dari ketentuan yang berlaku. Mereka dituntut untuk bekerja rata-rata selama 14-20 Jam perhari dengan alasan untuk mengejar target. Pada beberapa bagian produksi lainnya pun ada juga yang harus bekerja selama 24 jam. Lebih parahnya lagi, jam kerja yang sangat panjang itu hanya dibayar dengan upah sebesar Rp. 100.000 perhari dan tanpa uang lembur!
Terkait upah lembur, Eli salah satu pekerja PT NAG lainnya menyatakan “sudah dua tahun kebelakang (kelebihan jam kerja mereka) tidak dihitung lembur”. Salah satu buruh pekerja lainnya mengatakan “pada BPJS upah saya tercatat 3,1 Juta, namun kenyataaanya upah yang saya terima hanya 2,1 Juta Rupiah.
Berdasarkan pernyataan dari KSN (Konfederasi Serikat Nasional) Kabupaten Bandung yang mendampingi advokasi dari para Buruh di PT. NAG, menjelasakan bahawa para par aburuh PT NAG juga bekerja dengan status kerja yang tidak jelas. “Mereka mengaku dipekerjakan dengan status harian lepas selama hampir 1 tahun kebelakang. Padahal, jika kita mengacu pada ketentuan yang ada, status harian lepas hanya bisa dilaksanakan selama 21 hari berturut-turut dalam kurun waktu selama 3 bulan. Status para buruh di PT. NAG seharusnya sudah diangkat menjadi karyawan tetap. “
Penindasan yang dialami oleh buruh PT. NAG juga diperparah ketika lebaran tahun 2020, mereka menerima THR yang jumlahnya tidak sesuai dengan ketentuan. Maksimal, uang THR yang mereka terima adalah sebesar Rp. 2. 200.000. Kebijakan THR ini diambil secara sepihak tanpa menerima masukan ataupun saran dari para buruh.
Upaya advokasi pun sudah ditempuh dengan dibantu oleh KSN Kabupaten Bandung. Sudah 5 kali aksi unjuk rasa dilakukan di depan perusahaan, namun pihak perusahaan tetap tidak memberikan tanggapan. Saat ini, upaya advokasi selanjutnya akan dibahas bersama-sama.
Eksploitasi jam kerja panjang dan keselamatan kerja
Praktek eksploitasi buruh terkait jam kerja ini memang seringkali dilakukan oleh perusahaan perusahaan yang tidak bertanggung jawab, biasanya perusahaan seperti ini menerapkan target produksi yang sangat berat bagi tiap buruh, dengan jam kerja yang ada para buruh ini harus mencapai target produksi setiap hari kerjanya, meski jam kerja mereka melebihi batas waktu normal yaitu 7 atau 8 jam kerja perhari. Namun, kelebihan waktu kerja tersebut tidak dikategorikan kepada jam lembur. Buruh biasanya hanya di bayar dengan uang bonus target produksi, yang mana uang bonus ini nominalnya sangat rendah dibandingkan uang jam lembur yang seharusnya mereka dapatkan sesuai dengan undang undang ketenagakerjaan yang berlaku.
Berdasarkan pasal 77 UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Kluster Ketenagakerjaan (UU Cipta Kerja No.11/2020) menyatakan Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.
Jam kerja yang panjang atau lembur tidak hanya menyoal sebatas upah lembur, namun dalam perspektif Keselamatan dan kesehatan kerja yang lebih luas, semakin panjang Jam kerja maka akan semakin besar resiko keselamatan dan kesehatan bagi para pekerjanya, terlebih pada masa pandemik pada saat ini. Secara psikososial, Jam kerja yang panjang tidak hanya membuat pekerja stress dan lelah, buruh dapat kehilangan konsentrasi sehingga dapat menjadi penyebab kecelakaan kerja yang tidak hanya membahayakan si pekerja itu saja sendiri. Selain itu, secara tidak kasat mata, jam kerja yang panjang secara perlahan merampas daya tahan dan kesehatan si pekerja, yang tentunya resiko ini harus di bayar mahal dimasa depan oleh si pekerja itu sendiri.
(Ajat Sudrajat / LION Indonesia)