Testimony of Siti Kristina for COP 8 – Convention Rotterdam
Testimoni lengkap Siti Kristina salah satu Korban paparan asbes. Ditulis untuk disampaikan pada pertemuan Konvensi Rotterdam COP 8. Namun, karena waktu yang disediakan hanya 2 menit, akhirnya hanya sebagian saja yang bisa diceritakan.
Full testimony of Siti Kristina. Written to be shared at the Rotterdam Convention COP 8. Because the time limit to speak was 2 minutes, then only part of it that shared.
Testimony of Siti Kristina for COP 8 – Convention Rotterdam
Nama saya Siti Kristina. Saya adalah mantan buruh di sebuah perusahaan tekstil dengan bahan baku asbes. Barang yang kami hasilkan adalah kain asbes untuk peredam panas digunakan untuk membungkus pipa-pipa, seperti di kilang minyak atau gas supaya panasnya tidak keluar.
My name is Siti Kritina. I am a former worker of a textile company that uses asbestos for its material. The product we produced was asbestos cloth, an insulator to wrap pipes in oil and gas mining.
Saya bekerja kurang lebih 23 tahun. Saya bekerja di departemen insulating. Ada sekitar 65 orang yang bekerja di departemen ini. Di departemen inilah kain asbes diproses. Mulai dari pencampuran sampai pengepakan. Departemen ini terdiri dari bagian mixing, carding, spinning, twisting, winding, weaving, inspeksi dan packing. Selama 23 tahun ini lah saya berhubungan langsung dengan asbes.
I worked for 23 years in the department of insulating. There were 65 people who worked in this department. It is in this department the asbestos cloth was produced, from the mixing to packing process. This department consisted some units, i.e. mixing, carding, spinning, twisting, winding, weaving, inspection/QC and packing. For these 23 year, I was being exposed with asbestos.
Di tempat saya bekerja, asbes yang digunakan adalah chrysotile. Asbes dicampur dengan polyster di bagian mixing dengan proses kering. Karung berisi asbes diangkat pakai tangan dan asbesnya dituang ke mesin. Adonan asbes dan polyster masuk ke mesin carding menghasilkan lembaran benang asbes berupa gulungan. Gulungan ini diantar ke spinning untuk diproses menjadi benang. Benang ini masuk ke bagian twisting untuk diproses untuk menjadi benang rangkap. Benang rangkap dibawa ke winding untuk digulung dan kemudian masuk ke mesin tenun untuk diproses menjadi kain asbes.
At the workplace, we used asbestos chrysotile. The asbes is mixed with polyster using dry process. The asbestos sack was lifted by hand to the mixing machine to pour the asbestos manually. The mix of asbestos and polyster then goes to the carding machine to produce rolls of raw asbestos thread. The asbestos thread rolls go to twisting machine to add the layers of the asbestos thread. The twisted thread go to weaving machine to be an asbestos cloth.
Ketika bersentuhan langsung dengan asbes, kami ada yang menggunakan sarung tangan, ada juga yang tidak. Serat asbes yang masuk ke tangan itu susah dihilangkan dan rasanya sakit. Kami menggunakan masker kain yang dibagi seminggu sekali. Pakaian kerja kami bawa pulang untuk dicuci di rumah. Kami makan, minum dan istirahat di dalam ruangan tempat kain asbes diproduksi.
When we were interacting with asbestos, some of use gloves and some of us did not use it. If the asbestos fibre pierces and went inside under the skin, it is difficult to remove and hurt. We used simple mask cloth once a week. We took our wearpack to home for laundry. We ate, drink and rest in a room where asbestos product produced.
Di tahun-tahun pertama, saya merasa aman-aman saja. Tetapi setelah lebih 10 tahun, saya mulai sering batuk. Kalau batuk, saya berobat dan sembuh. Tetapi kejadian seperti ini sering terjadi. Batuknya sekitar seminggu hingga dua minggu. Setelah sembuh, sekitar sebulan atau dua bulan, saya batuk lagi.
In the begining in the early years, I felt safe and okay. But after more than 10 years, I started coughing. Whenever cough, I saw a doctor and got better. But the coughing was a routine for me. I coughed for a week or two then I started coughing again after a month or two.
Perusahaan rutin mengadakan pemeriksaan kesehatan. Perusahaan mengundang rontgen ke pabrik. Semua pekerja wajib ikut. Hasil pemeriksaan dipegang oleh perusahaan dan bila kami tanya, selalu bilang kalau hasilnya baik.
The company performed medical examination regularly. It called a rontgen service unit to the factory. All workers have to participate. The company held the results and if we asked the resulted, the company said we are okay.
Pada tahun 2008 diadakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh orang-orang dari Korea. Semua karyawan ikut pemeriksaan. Kami diperiksa darah, dahak, spirometri dan rontgen. Perusahaan bilang hasilnya baik-baik saja.
In 2008, there was a medical examination by Korean experts. All workers participated. We had blood test, sputum test, spirometri and rontgen. The company said the result was good.
Pada tahun ini juga, saya, Pak Nana Suryana, Pak Sri Hermawan melakukan pemeriksaan lagi tanpa sepengetahuan perusahaan. Kami melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit di Rawa Mangun, Jakarta. Pemeriksaan yang dilakukan CT-Scan dan tes darah. Hasilnya langsung dikirim ke Korea.
At the same year, I was participated in an independent medical examination with two other workers. We had it at an hospital in Rawa Mangun, Jakarta. We had blood test and CT-scan. The result was sent to Korea.
Pada tahun 2010, saya, Pak Nana, Bu Tuniah, Bu Yusni, Bu Dewi melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Kami melakukan periksa darah dan CT-scan. Hasilnya dibawa ke Korea. Dari hasil ini, dokter Korea dan Jepang mendiagnosa saya dengan asbestosis tahap awal. Bu Tuniah dan Bu Dewi juga didiagnosa menderita asbestosis.
In 2010, I participated again in an medical examination in RSCM, Jakarta. We did blood test and CT-scan. The result was sent to Korea. It is from this result that the Korean and Japanese doctor diagnosed me with early asbestosis. Two other workers also diagnosed with asbestosis.
Pada tahun 2012, saya mengalami sakit parah. Saya mengalami tipus. Saya batuk kering berkepanjangan. Berat badan saya menurun. Dan saya sering sesak napas. Saya kemudian memeriksakan diri ke klinik BPJS di Bogor. Saya di rontgen, tes dahak, tes darah. Hasilnya dinyatakan sakit paru-paru. Saya harus minum obat rutin setiap hari selama 6 bulan.
In 2012, I had bad health situation. I had typhoid. I had dry coughing. I lost my bodyweight. I also experienced difficulties in breathing. I checked myself to a clinic in Bogor. I did rontgen, blood test and sputum test. From the result, I was diagnosed with lung disease. I had to take medicine everyday for 6 months.
Pada tahun 2013, saya di undang ke Korea untuk pertemuan para korban. Di Korea, saya menjalani CT-Scan lagi dan hasilnya saya masih positif asbestosis. Sepulang dari Korea, saya menuliskan surat kepada perusahaan mengenai penyakit asbestosis yang saya derita. Saya tidak berhasil masuk ke perusahaan. Akhirnya surat saya titip ke sekuriti. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan surat tersebut.
In 2013, I was invited to Korea for a victim meeting. In Korea, I took another medical examination dan the result was I am still a positive asbestosis patient. Returning from Korea, I wrote a letter to the company about my condition. I could not enter the company so I give the letter to the security. I do not know what happen to the letter.
Setelah di PHK pada tahun 2013, saya tidak lagi mempunyai biaya untuk membeli obat. Paling kalau terkena batuk, saya berobat di klinik yang biayanya murah.
After being dissmissed in 2013, I do not have any more money to buy medicine. If I have cough, I just go to a cheap clinic.
Pada tahun 2016, saya bersama dengan teman-teman yang lain menjalani pemeriksaan lagi di Rumah Sakit Umum Pertamina, Jakarta. 10 dari 20 orang yang menjalani pemeriksaan didiagnosa terkena penyakit akibat asbes. Di tahun 2016 inilah baru ada dokter yang berani menyatakan adanya penyakit kerja akibat asbes.
In 2016, I and friends participated in medical examination again at Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. From this examination, 10 people out of 20 were diagnosed with asbestos related disease. In this year, this is the first time Indonesia doctor have courageous to diagnose us with ocuupational disease related to asbestos.
Dan di tahun 2017 ini, saya dan teman-teman mulai menemukan titik terang. Selama bertahun-tahun saya dan teman-teman berjuang untuk mencari pengakuan dari Pemerintah dan para dokter di Indonesia. Itu sangat susah. Akhirnya di tahun ini, penyakit kerja akibat asbes mendapatkan pengakuan. Kami berharap ini tidak hanya sekedar pengakuan. Kami mengharapkan penanganan yang layak dari pihak-pihak yang terkait bagi penderita asbestosis.
In this year, 2017, I and friends finally found a light to our case. For years I and my friends have been struggling to be recognized by the Govt and Indonesian doctors. It is not easy. Finally this year, occupational disease related to asbestos was recognised. We hope this is not just an empty recognition. We hope we will get better and appropriate treatment from stakeholders that deal with asbestos victim.
Dan di tempat kami, di Indonesia, masih awam dengan adanya asbestosis ini. Saya hanyalah satu dari sekian banyak teman-teman yang terkena paparan asbes di Indonesia. Banyak teman-teman kerja saya yang belum belum mendapatkan kesempatan melakukan pemeriksaan kesehatan. Kemungkinan mereka juga menderita penyakit akibat asbes.
And in our country, in Indonesia, many people still do not know about the dangers of asbestos. I am just one from many of my friends that being exposed to asbestos in Indonesia. There are many of my friends that do not have the opportunity to participate in a medical examination. It is very posible that they have asbestos related disease too.
Saya hadir disini mewakili teman-teman lain yang menjadi korban asbes di Indonesia dan di dunia, berharap agar tidak ada lagi korban akibat asbes. Kami berharap, di pertemuan ini, asbes dapat masuk dalam daftar Lampiran III. Harapan kami, seluruh delegasi yang ada disini mendukung untuk memasukkan asbes ke Lampiran tersebut.
I am here representing my friends, the suferers of asbestos in Indonesia and in the world. We hope there is no more people suffer from asbestos. We hope, in this meeting, all delegates support for the listing of asbestos chrysotile onto Annex III by supporting the amandment to article 22 of the Rotterdam Convention.
Terimakasih
Thank you very much