Perubahan iklim: Ancaman Serius Bagi Kesehatan Buruh
Selama beberapa tahun terakhir berdasarkan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebagai salah satu program BPJS Ketenagakerjaan, angka kasus kecelakaan kerja di Indonesia terus meningkat. Sebuah ironi dibalik semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan bahkan semakin besarnya nilai investasi di Indonesia. Bagaimana pembangunan yang terus meningkat, akan tetapi para buruh masih harus terus berjudi dengan keselamatan dan kesehatannya di tempat kerja.
Belum selesai permasalahan klasik terkait jaminan tempat kerja yang sehat dan aman, saat ini kita harus menghadapi ancaman perubahan iklim yang dampaknya semakin nyata dan menambah permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menjadi semakin kompleks.
Ketika iklim terus menjadi lebih hangat dan basah, kita harus menghadapi peningkatan angka penyakit paru-paru dan kardiovaskular, penyakit yang berhubungan dengan panas yang juga dapat menyebabkan stress kerja, penyakit menular baru yang muncul, serta banyak dampak buruk lainnya terhadap Kesehatan Masyarakat, khususnya para pekerja.
Berdasarkan laporan terbaru dari International Labour Organization (ILO), lebih dari 70 persen pekerja diseluruh dunia memiliki kemungkinan besar akan terpapar bahaya kesehatan akibat perubahan iklim. Laporan yang bertajuk Ensuring safety and health at work in a changing climate[1], menyebutkan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja di seluruh wilayah di dunia.
ILO memperkirakan bahwa lebih dari 2,4 miliar buruh (dari 3,4 miliar angkatan kerja global) kemungkinan besar akan terpapar panas berlebih pada suatu saat selama bekerja, menurut angka terbaru yang tersedia (2020). Ketika dihitung sebagai bagian dari angkatan kerja global, proporsi tersebut telah meningkat dari 65,5 persen menjadi 70,9 persen sejak tahun 2000.
Selain itu, laporan tersebut memperkirakan bahwa 18,970 nyawa dan 2,09 juta tahun hidup yang disesuaikan dengan disabilitas hilang setiap tahunnya karena 22,87 juta orang yang meninggal karena cedera akibat kerja yang disebabkan oleh panas yang berlebihan. Belum lagi 26,2 juta orang di seluruh dunia yang menderita penyakit ginjal kronis akibat tekanan panas di tempat kerja (angka tahun 2020).
Laporan tersebut mencatat bahwa perubahan iklim memiliki hubungan dengan banyak kondisi kesehatan pekerja termasuk kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, disfungsi ginjal, dan kondisi kesehatan mental.
Dampak perubahan iklim terhadap pekerja lebih dari sekedar paparan terhadap panas berlebih tapi juga menciptakan “campuran bahaya” yang mengakibatkan berbagai kondisi kesehatan yang berbahaya. Paparan sinar ultraviolet, kejadian cuaca ekstrem, polusi udara, penyakit yang ditularkan melalui vektor, dan bahan kimia pertanian seperti pestisida merupakan juga risiko yang dikaitkan dengan dampak dari perubahan iklim.
Secara ekonomi, perubahan iklim juga selama ini telah mulai memberikan pengaruh buruk bagi tingkat kesejahteraan para buruh. Para buruh harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air bersih untuk dikonsumsi, atau biaya kesehatan buruh dan keluarganya yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berhubungan dengan polusi air dan udara karena industri.
Meski para buruh yang semakin besar kemungkinannya untuk sakit ini, mereka tetap akan dipotong upahnya setiap bulan untuk membayar iuran program JKK dari BPJS Ketenaga-kerjaan. Akan tetapi mereka akan semakin sulit untuk mengakses fasilitas program JKK, karena sulit untuk mendiagnosa sumber paparannya. Fasilitas program JKK hanya dapat diakses jika terbukti sebagai penyakit akibat kerja, atau jika terbukti penyakit yang diidap tersebut memiliki kaitan dengan paparan langsung di tempat kerja. Paparan polusi udara di luar tempat kerja dapat menjadikan penegakan diagnosa penyakit akibat kerja menjadi semakin sulit. Apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau polusi udara, yang jelas para buruh semakin rentan untuk sakit dan tidak jarang dapat berakibat fatal.
Perubahan iklim dan Relokasi Industri
Beberapa tahun terakhir, relokasi industri marak terjadi di Indonesia. Berbagai Perusahaan satu persatu pindah dari daerah industri seperti Jakarta, Bekasi, atau Karawang menuju daerah Jawa Tengah atau di perbatasan Jawa Barat seperti Majalengka dan sekitarnya. Relokasi industri ini selalu dikaitkan dengan dampak perbedaan Upah Minimum yang sangat signifikan, karena lokasi baru tersebut memiliki upah minimun yang jauh lebih rendah. Namun, relokasi industri ini jarang dikaitkan dengan rusaknya infrastruktur atau dalam hal ini krisis air bersih diakibatkan oleh perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan atau berkurangnya debit air.
Fenomena kekeringan tentunya juga berdampak pada industri pertanian. Namun, kebutuhan akan air dengan kuantitas yang banyak dan kualitas yang baik untuk produksi merupakan hal yang krusial bagi sebuah industri lainnya, seperti makanan, minuman atau teksil misalnya. Sumber air yang telah tercemar oleh limbah yang dihasilkan oleh area industri itu sendiri tentunya akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Tidak jarang pabrik-pabrikpun harus membeli pasokan air dari pihak luar, yang akhirnya akan menambah biaya produksi.
Meski belum ada penelitian terkait hubungan ini di Indonesia, namun hal ini juga mungkin merupakan salah satu alasan dari mengapa banyak industri melakukan relokasi ke daerah industri baru yang memiliki sumber air yang masih melimpah dan belum tercemar.
Suatu hal yang sangat miris, ketika bagaimana dengan mudahnya modal berpindah. Relokasi industri ke tempat baru dengan infrastruktur sumberdaya alam yang masih melimpah dan belum tercemar, dengan meninggalkan lingkungan yang rusak dan tercemar begitu saja tanpa tanggung jawab. Di sisi yang lain, nasib para buruhnya yang ditinggalkan terkadang dengan keadaan yang tidak jauh berbeda, dibiarkan sakit dan diabaikan. Bahkan tidak jarang mereka kehilangan pekerjaannya tanpa dipenuhi hak hak normatifnya seperti pesangon dan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan kembali.
Perubahan iklim yang menambah beban kesehatan dan keseselamatan kerja yang sangat signifikan, tentunya memerlukan tindakan segera untuk diatasi. Arah kebijakan untuk perbaikan kondisi kerja yang sehat dan aman harus menjadi prioritas dari respons terhadap perubahan iklim. Serikat buruh harus mulai berperan aktif untuk memulai memitigasi dampak dari perubahan iklim, khususnya memperjuangkan kepentingan para buruh dan menjaga lingkungan untuk kesejahteraan para buruh itu sendiri. Tidak ada pekerjaan di Bumi yang rusak.
[1] https://www.ilo.org/resource/news/climate-change-creates-cocktail-serious-health-hazards-70-cent-worlds