Upah Murah : Bahaya Laten bagi Kesehatan Buruh
Setiap penghujung tahun, serikat buruh di tiap Kota dan Kabupaten besar di Indonesia melakukan aksi demonstrasi secara rutin dalam rangka mengawal sidang dewan pengupahan yang membahas tentang penetapan upah minimum yang ideal untuk tahun depannya. Penetapan upah diharapkan dapat memenuhi harapan pekerja, pengusaha, dan bagaimana upah minimum mempengaruhi lapangan kerja secara keseluruhan.
Semenjak penerapan Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020)[1] dan Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2021 pasal 25, penetapan upah minimum provinsi maupun Kota dan Kabupaten tidak lagi berdasarkan kebutuhan hidup layak melainkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang meliputi paritas daya beli (keseimbangan kemampuan berbelanja), tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah (marjin antara 50 persen upah/gaji tertinggi dan 50 persen terendah dari karyawan di posisi atau pekerjaan tertentu). Sementara itu, Upah Minimum Sektoral dihapuskan.
Ketentuan baru dari Undang-Undang Cipta Kerja ini menjadi satu dari banyak kritik berbagai elemen masyarakat khususnya serikat buruh/pekerja untuk menolak pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja. Bagi serikat buruh, diskusi dan perdebatan tentang penetapan upah minimum lebih sering membahas tentang hubungannya dengan kenaikan harga kebutuhan pokok yang mendorong menurunnya daya beli pekerja. Bagi pengusaha dan pemerintah, kenaikan upah dianggap hal yang akan mengganggu kestabilan usaha karena menambah ongkos produksi atau mengurangi keuntungan pengusaha. Tak jarang komentar sinis mewarnai berbagai berita terkait tuntutan serikat buruh atas upah, dimulai dituduh sebagai mereka yang tidak bersyukur, hingga menjadi penyebab relokasi industri ke daerah negara yang memiliki upah yang lebih rendah.
Dari berbagai perdebatan terkait upah minimum setiap tahunnya, jarang sekali ada pembahasan terkait upah dan hubungannya dengan kesehatan kerja. Isu upah dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) seringkali dianggap dua isu yang berdiri sendiri dan tidak memiliki hubungan yang erat.
Sejauh mana upah rendah mempengaruhi kesehatan pekerja?
Selama ini, resiko atas keselamatan dan kesehatan kerja lebih dipahami dengan berbagai sumber resiko seperti bahaya kimia, fisika, biologi, psikososial, dan ergonomi. Namun, menurut editorial[2] di May Journal of Occupational and Environmental Medicine, publikasi resmi American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM) menyatakan bahwa upah rendah harus dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan kerja.
J. Paul Leigh, PhD, dan Roberto De Vogli, PhD, MPH, dari Fakultas Kedokteran Universitas California Davis sebagai penulis editorial tersebut menyatakan “pekerja dengan upah rendah mungkin memiliki risiko lebih besar terkena penyakit dan cedera dibandingkan pekerja dengan upah tinggi”. Mereka percaya bahwa upah rendah harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor psikososial – seperti jam kerja yang panjang dan tekanan kerja yang tinggi – yang diidentifikasi sebagai risiko pekerjaan terhadap kesehatan.
Masih berdasarkan editorial ini, beberapa bukti menunjukkan bahwa upah yang lebih tinggi menyebabkan perbaikan dalam kesehatan atau perilaku kesehatan. Misalnya, sebuah penelitian yang menggunakan desain “eksperimen alami” menemukan berkurangnya kecemasan dan depresi di antara orang-orang yang terkena dampak kenaikan upah minimum di Inggris. Selain tunjangan kesehatan, upah yang lebih tinggi telah terbukti meningkatkan hasil di tempat kerja seperti mengurangi ketidak-hadiran dan mendorong produktivitas.
Sebagai dampak negatif, upah rendah secara langsung mendorong atau memaksa pekerja untuk mengambil jam kerja panjang dengan lembur, atau mungkin mengambil pekerjaan tambahan di tempat lain untuk mencukupi kebutuhan hidup layak. Hal ini tentunya semakin menambah resiko kesehatan kerja sebagaimana hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Penelitian kedua organisasi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) ini menyatakan bahwa Jam kerja yang panjang menyebabkan ratusan ribu kematian per tahun. Bekerja lebih dari 55 jam seminggu pada pekerjaan berbayar mengakibatkan 745.000 kematian pada tahun 2016, dan akan naik menjadi 590.000 pada tahun 2000.[3] Penelitian ini menunjukan bahwa Jam kerja yang panjang lebih berbahaya dibandingkan bahaya pekerjaan lainnya.
Upah yang rendah juga dapat menimbulkan dampak kesehatan tidak langsung – misalnya, jika pekerja terpaksa memilih antara hal-hal penting seperti sewa rumah atau makanan sehat. Terkait makanan sehat tentunya berhubungan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No. 28 Tahun 2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia, Serupa dengan penetapan BP (Biaya Pangan) dalam GK (Garis Kemiskinan), penetapan BP dalam upah minimum (seharusnya) didasarkan pada kecukupan gizi, terutama kecukupan energi pekerja, dengan komoditas pangan yang beragam memenuhi prinsip gizi seimbang. Sayangnya, Permenkes ini tidak dapat lagi diterapkan karena penerapan Undang-Undang Cipta Kerja.
Hubungan upah rendah atau ketidakstabilan pendapatan dan kesehatan juga dibuktikan dalam studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Circulation[4]. Studi ini menemukan bahwa penurunan upah atau perubahan upah dapat berdampak negatif pada kesehatan jantung baik bagi orang muda maupun orang yang lebih tua.
Hasil penelitian ini berasal dari pengumpulan data dari hampir 4.000 orang selama 15 tahun, dimulai dari usia 23 tahun hingga 35 tahun. Para peneliti menanyakan penghasilan mereka pada awal penelitian dan empat kali penelitian berikutnya, dan juga menganalisis catatan medis mereka untuk mengetahui kejadian jantung dan kematian. Selama masa studi, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang mengalami ketidakstabilan pendapatan – yang sebagian besar berupa penurunan pendapatan – memiliki risiko dua kali lipat terkena masalah jantung, dan hampir dua kali lipat risiko kematian dini, dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan yang lebih stabil.
Betapa pentingnya upah layak bagi kesehatan dan kesejahteraan pekerja, pekerja yang mendapatkan upah layak dapat menghindari kerugian pengusaha karena ketidak-hadiran pekerja yang sakit, stress dan memberikan motivasi hingga akhirnya mendorong produktivitas.
Pendapatan atau upah layak seringkali berada di luar kendali masyarakat termasuk para pekerja, termasuk dengan tantangan penerapan Undang-undang cipta kerja saat ini yang semakin membatasi tercapainya upah layak. Sama halnya dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5 Tahun 2023 Tentang Penyesuaian Waktu Kerja Dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor Yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, dimana Permenaker ini juga mengancam pemenuhan upah layak karena melegalkan pemotongan upah hingga 25%.
Namun, sejarah pernah membuktikan bagaimana para pekerja dan serikat pekerja dapat berjuang dan memberikan harapan yang baik dimasa depan bagi penentuan upah yang layak. Model serikat pekerja yang dimulai dari bentuk gotong royong (mutual aid), dimana para pekerja bersatu untuk mengadvokasi diri mereka untuk merubah kebijakan baik di tingkat pabrik dengan Perjanjian Kerja Bersama ataupun mendorong pemerintah untuk menetapkan upah minimum yang layak.
Penulis : Ajat Sudrajat
[1] UU CIpta kerja no 11 Tahun 2021 saat ini telah diganti dengan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
[2] Leigh JP, De Vogli R. Low wages as occupational health hazards [Editorial]. J Occup Environ Med. 2016;58(5): 444–7.
[3] https://www.who.int/news/item/17-05-2021-long-working-hours-increasing-deaths-from-heart-disease-and-stroke-who-ilo
[4] https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIRCULATIONAHA.118.035521