17 Tahun Asbes Krisotil di Konvensi Rotterdam – Tragedi Bagi Kesehatan Masyarakat Terus Berlanjut
“Barusan selesai untuk RC amandemen dengan hasil tidak disetujui”
Tanggal 12 Mei siang hari di tengah teriknya matahari, notifikasi layar di ponsel menyala tanda ada pesan masuk. Pengirim pesannya adalah salah satu delegasi resmi Indonesia yang hadir di sidang konvensi Rotterdam ke-11 di Jenewa. Isi pesannya singkat memberi kabar bahwa usaha untuk memasukan asbestos krisotil (dalam lembar ke III Konvensi Rotterdam) kembali gagal. Tidak ada penjelasan lanjutan dari pesan itu.
Seorang teman dari Inggris menuliskan dengan sangat emosional, “Sekop terakhir untuk mengubur kemajuan usaha memasukan krisotil (asbes putih) dalam PIC telah diayunkan, dipimpin kepentingan Rusia.” Teman ini adalah saksi sejak pertama kalinya Konvensi Rotterdam memulai dialog untuk memasukan krisotil kedalam daftar tambahan ketiga konvensi tahun 2006. Daftar tambahan ketiga konvensi adalah daftar material kimia dan pestisida yang membutuhkan persetujuan informasi yang benar dan bertanggung jawab di konvensi Rotterdam.
Menuju sidangnya yang ke-11 pada 1-12 Mei 2023, upaya memuluskan hak publik memperpoleh informasi yang benar dan bertanggung jawab atas perdagangan asbes krisotil telah dilakukan jauh hari. Riset ilmiah kesehatan, penemuan dan pelaporan korban, serta riset bahan pengganti terus bermunculan dan dihadirkan untuk meyakinkan negara anggota konvensi. Belajar dari 13 tahun pengalaman hambatan mekanisme pengambilan keputusan di konvensi, sejumlah negara dimotori Australia, Swiss dan lainya bahkan mengusulkan secara resmi perubahan mekanisme pengambilan keputusan di dalam konvensi.
Birokrasi Antiseptik
Sebuah surat elektronik datang dari delegasi organisasi (NGO) observer mengabarkan penolakan Rusia, Kazakhstan, Zimbabwe, India, Kyrgistan, dan Pakistan terhadap usulan memasukan krisotil kedalam daftar di dalam lembaran tambahan ketiga di konvensi. Surat ini dikirimkan selang 2 hari setelah pimpinan sidang konvensi memutuskan menunda pengambilan keputusan dan akan membawa kembali ke sidang konvensi Rotterdam berikutnya (COP 12, 2025). Seperti sudah diduga sebelumnya, penghalauan masuknya krisotil pasti akan berulang terjadi. Benar saja Rusia sebagai eksportir utama memotori penolakan konsensus.
Sebuah material kimia industrial yang diusulkan dalam sidang konvensi Rotterdam baru dapat disetujui jika konsensus bulat tercapai dalam pengambilan keputusan. Berbagai informasi mulai dari dampak, regulasi negara, hingga penerapan bahan pengganti perlu disampaikan lebih dahulu oleh pengusul kepada komite peninjau bahan kimia (chemical review committee-CRC). Atas dasar itulah CRC membuat dokumen resmi yang akan dibahas di dalam sidang konvensi.
Asbestos Krisotil telah diusulkan sejak tahun 2005 oleh CRC untuk dibahas pada sidang konvensi tahun 2006. Dokumen yang telah didaftarkan secara formal sejak 2006 oleh CRC masih bertengger di laman resmi www.pic.int. Sumbangan informasi terbaru dari berbagai negara termasuk Australia, Swiss, Latvia, Chile, dan Uni Eropa tentang dampak asbestos-krisotil pun telah menjadi dokumen resmi konvensi.
Seperti dalam setiap sidang konvensi, informasi terbaru dari berbagai negara pun dihadirkan. Namun hingga akhir sidang konvensi 12 Mei lalu, krisotil masih dihadang. Sialnya, keputusan memang harus diambil berdasarkan konsensus bulat berdasarkan peraturan yang disepakati sejak awal konvensi. Sialnya lagi, Indonesia pun tidak bersuara terhadap pengusulan masuknya krisotil, walaupun sudah terdeteksi dampaknya bagi pekerja dan pengguna atap asbestos.
Seorang teman memberi julukan sidang konvensi Rotterdam dengan “birokratik-antiseptik” untuk mengungkapkan kekesalannya. Cukup dapat dipahami birokrasi pengambilan keputusan dalam perjanjian internasional termasuk di dalam konvensi Rotterdam memang butuh kesepakatan bulat.
Mekanisme mufakat bulat memang mekanisme resmi konvensi internasional. Mekanisme ini pula yang paling sering dipakai untuk menganulir temuan ilmiah dan temuan lapangan dampak material kimia dan pestisida berbahaya bagi manusia. Menyebut “antiseptik” dalam satu tarikan napas dengan birokrasi bermakna bahwa mekanisme yang sudah birokratis itu dipakai oleh negara-negara pihak untuk cuci tangan dari tanggung jawab. Inilah yang membuat kesal banyak negara dan organisasi internasional.
Pengabaian Menuai Resiko
Krisotil yang usia pengusulannya ke dalam persetujuan informasi (PIC) sudah mencapai 17 tahun, masih tetap harus ditunda entah sampai kapan. Negara pengekspor tidak mau mengakui dampak kemanusiaan, negara importir di hipnotis dengan berbagai cara untuk ragu mengakuinya. Dampak kristolit terus diabaikan sementara korban terus berjatuhan dan bisnis terus meraup untung dari ketidaktahuan publik.
Di era saat ini, hanya krisotil dari dua keluarga asbestos (amfibol dan serpentin) yang masih bisa diperdagangkan dengan kekuatan hipnotis. Krosidolite, amosite, antophylit, actinolite, dan tremolit dari keluarga amphibol telah diatur ketat dan harus memiliki persetujuan informasi dari penjual dan pembelinya. Isi informasinya termasuk bahaya, dampak kesehatan, penanganan, dan pertanggungjawaban. Informasi inilah yang menjadi pembeda antara transaksi hipnotis dan realistis.
Dari dokumen-dokumen resmi pengusulan krisotil ke dalam daftar material kimia industri di konvensi Rotterdam, berbagai badan dunia dan negara telah memberi laporan ilmiah dampak karsinogenik (penyebab kanker) dan penyakit lainnya dari penggunaan asbestos termasuk krisotil.
Temuan badan riset kanker internasional (International Agency for Research on Cancer – IARC) mengatakan semua jenis asbestos berpotensi menyebabkan kanker paru, mesothelioma, dan lainnya. Temuan ini dikonfirmasi oleh badan dunia yang mengurusi kesehatan (WHO), dan juga menjadi perhatian khusus badan dunia yang mengurusi ketenagakerjaan (ILO). Berbagai negara yang pernah booming meraup untung dari asbestos pun telah mengeluarkan riset-riset yang mereka yakini tentang bahaya asbestos. Semuanya bersuara di dalam sidang konvensi Rotterdam. Namun tidak berdaya menghalau pengambil keputusan birokratik-antiseptik yang terus mengabaikan krisotil masuk ke dalam daftar.
Saat ini krisotil adalah material yang masih terus diperdagangkan dari Rusia, Kazakhstan, India, China, dan negara kecil lainnya. Material ini hadir ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia tanpa diikuti persetujuan informasi. Seperti halnya di Indonesia, krisotil mayoritas digunakan sebagai campuran bahan baku konstruksi (atap, dinding, plafond, hingga pipa). Selain juga digunakan sebagai bahan campuran untuk barang friksi (bergesekan) seperti gasket, kanvas rem, dan lainnya serta bahan insulasi (penahan panas dan kebakaran).
Sebagai negara keempat terbesar kosumen asbestos, krisotil telah memberi keuntungan ratusan miliar rupiah kepada sedikit jumlah industri bahan baku konstruksi Indonesia. Puluhan juta lembar atap mengandung asbes didistribusikan ke berbagai belahan negeri oleh pelaku Industri. Sementara industri memperoleh insentif 0% bea masuk, bahkan informasi bahaya atap asbes pun tidak sama sekali diberitahukan kepada konsumen.
Hipnotis Industri
Upaya menghipnotis diri sendiri dilakukan resmi oleh negara dengan menamai import krisotil sebagai import asbestos “lain-lain” selain krosidolit. Seolah ada asbestos jenis lain diluar krisotil yang telah 17 tahun digugat untuk adanya persetujuan informasi. Lagi-lagi, negara menutup mata dan hatinya dari perasaan bersalah akan dampak kesehatan bagi masyarakat dimasa depan, dan hanya menikmati hasil ekonomi yang hanya sesaat.
Menengok jauh ke belakang, hipnotis eksportir asbes cukup besar mempengaruhi kebijakan industri bahan konstruksi di Indonesia. Bahkan salah satu industri asbes terbesar di Indonesia turut diresmikan dalam sebuah upacara kenegaraan di era orde baru. Bukan itu saja, kementerian ketenagakerjaan yang menjadi pelindung tenaga kerja dengan sukarela turut serta mengkampanyekan “penggunaan aman asbestos” lewat peraturan kelembagaannya. Hipnotis ini semakin sulit dilepaskan karena kesadaran baru tentu akan mengguncang kondisi lama dibawah pengaruh hipnotis.
Berbagai alasan dipakai industri dan digaungkan lembaga negara untuk tetap mengkonsumsi asbes. Bahkan terbaru, seorang calon presiden dengan gagah mengiklankan seolah telah berjasa meningkatkan kualitas rumah penduduknya dengan menggunakan atap berbahan asbestos. Seolah tidak ada akses informasi yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi bahaya asbestos.
“Tuhan menciptakan segala sesuatunya bermanfaat bagi manusia, buat apa tuhan ciptakan asbestos kalau tidak bermanfaat,” ucap seorang pejabat kementerian yang pernah penulis temui. Pejabat ini lupa, bahwa tuhan juga menciptakan akal sebagai kesadaran manusia. Akal inilah yang harus diisi dengan informasi yang benar agar manusia sadar memilih manfaat ciptaan tuhan yang akan dinikmatinya dan bertanggung jawab atasnya. Informasi yang benar tentang bahaya asbestos ini juga yang terus disembunyikan dan tidak mau diakui negara.
Di Indonesia 5 pekerja pabrik pengolahan asbestos sudah ditetapkan sebagai korban penyakit kerja dan memperoleh kompensasi. Menyusul, 1 konsumen atap asbes, 1 mantan kontraktor pengguna bahan bangunan mengandung asbes, dan puluhan mantan penderita kanker dilaporkan secara ilmiah sebagai korban asbestos di Indonesia. Berbagai riset bahan pengganti asbestos pun telah banyak dipublikasikan dan diserahkan untuk makin meyakinkan pemerintah agar bersuara di dalam sidang konvensi Rotterdam.
Watak birokrat-antiseptik memang masih melanda banyak negara. Dalam banyak pertemuan yang dilakukan Lion Indonesia, aroma birokratis dan cuci tangan ini begitu kuat terasa. Saling lempar tanggung jawab antar lembaga sudah tidak asing ditemui Lion Indonesia dan mungkin lembaga lain yang memperjuangkan perubahan kebijakan di Indonesia.
Bahkan di danau yang tetap sekalipun ada air yang mengalir berubah-ubah. Disanalah keyakinan Lion Indonesia dan jaringannya ditegakkan. Indonesia pasti akan merubah kebijakannya, Lion Indonesia dan jaringannya menjadi batu dan karang untuk itu.