Bahaya Laten Lembur
Tidak sedikit buruh yang sangat senang ketika mendapatkan jatah lembur. Apakah dengan sukarela, dedikasi, kepatuhan, atau mungkin karena keterpaksaan demi mendapatkan tambahan upah lembur. Secara aturan, lembur memang mengharuskan kesepakatan antara pihak buruh dan majikan, yang artinya bersifat sukarela tanpa paksaan.
Bagi para pekerja di beberapa sektor industri atau dengan status kerja tetap tertentu, jam kerja panjang, dan tidak menentu mungkin menjadi bagian yang biasa dari prosedur kerja. Perkembangan teknologipun mendorong pekerja dari beberapa sektor pekerjaan dapat bekerja dimana saja. Tidak ada lagi batas-batas tembok pabrik atau kantor yang memisahkan para pekerja dari tempat kerja dan lingkungan pribadinya.
Pemeo di masyarakat mungkin dapat mengamini bahwa kerja keras identik dengan kesuksesan, terutama di tempat kerja. Kerja keras dapat memberikan banyak hal positif, seperti mengembangkan kualitas diri hingga menjadi inspirasi bagi lingkungan kerja sekitar. Namun nyatanya disisi yang lain, kerja keras dengan jam kerja yang panjang dapat berdampak buruk bagi kesehatan pekerja.
Jam kerja panjang dan tidak menentu, menjadi beban kerja yang pada akhirnya beresiko tinggi bagi para pekerja mengalami kelelahan dan mendorong stres. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja, kehilangan fokus dan menambah kemungkinan kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan akan membuka peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri.
Selain memperbesar resiko kecelakaan kerja, Jam kerja panjang juga dapat menyebabkan penyakit akibat kerja. Salah satu resiko kelelahan kerja adalah timbulnya stres akibat kerja. Timbulnya lelah dalam diri manusia merupakan proses yang terakumulasi dari berbagai faktor penyebab dan mendatangkan ketegangan (stres) yang di alami oleh tubuh manusia. Kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.
Badan kesehatan Dunia WHO dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pernah melaporkan hasil studi terkait dampak jam kerja panjang pada 2021. Dalam laporannya dikatakan peningkatan jam kerja berkontribusi pada kematian 745.000 orang melalui stroke dan penyakit jantung iskemik. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa mereka yang bekerja 55 jam atau lebih dalam seminggu memiliki risiko 35% lebih tinggi terkena stroke dan 17% lebih tinggi risiko kematian akibat penyakit jantung iskemik jika dibandingkan dengan orang yang bekerja 35 hingga 40 jam seminggu.
Stres akibat kerja
Lembur atau waktu kerja tambahan mendorong ketidakseimbangan terhadap prioritas pekerja untuk melakukan perawatan diri. Waktu yang tersita karena lembur beresiko atas pemenuhan kebutuhan bagi tubuh dan otak untuk beristirahat dan memulihkan diri. Dalam jangka panjang, hal ini menjadi beban atau tekanan bagi kesehatan fisik dan mental pekerja.
Selain kesehatan fisik, kelelahan karena jam kerja yang panjang memberikan dampak yang signifikan bagi kesehatan mental. Pekerja yang kelelahan dapat mudah stress dan depresi, produktivitas menurun, hingga dapat mendorong perilaku negatif di tempat kerja. Lebih lanjut, peningkatan stres telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, mulai dari diabetes, tekanan darah tinggi, dan masalah pencernaan.
Pada Mei 2019, WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia mengklasifikasikan kejenuhan sebagai “fenomena pekerjaan” di mana stres seseorang di tempat kerja belum dikelola dengan baik. Itu Kondisi ini dicirikan oleh pekerja yang merasa lelah, merasa negatif atau sinis terhadap pekerjaan mereka, dan efektivitas profesionalitas dalam bekerja menjadi berkurang.
Selain perasaan dan konsekuensi yang merugikan ini, berbagai penelitian mengungkap dampak negatif dari kerja berlebihan terhadap kesehatan secara keseluruhan. Tubuh dan otak seseorang memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menjadi tangguh dan mudah untuk berdaptasi. Namun kapasitas ketangguhan tersebut tidak bermakna tidak terbatas, dan perlu disegarkan kembali. Mesin mesin dipabrik yang paling hebat sekalipun memiliki keterbatasan, apalagi tubuh dan otak manusia. Sehingga perlu bagi kita untuk merawat dan memastikan agar tubuh dan otak kita dapat tetap berfungsi dengan baik.
Jam kerja panjang ditambah dengan paparan faktor resiko lainnya ditempat kerja apalagi diatas nilai ambang batas, berkolaborasi memperbesar resiko stres akibat kerja. Sebagai contoh, kebisingan yang diterima secara terus menerus selain dapat menimbulkan gangguan pendengaran juga dapat mengakibatkan stress kerja (Park et al., 2017).
Jam kerja panjang membuat kebutuhan asupan nutrisi sehat para pekerja tidak terpenuhi. Mereka tidak memiliki waktu untuk memilih atau memasak sendiri makanan yang lebih sehat. Lembur atau waktu kerja tambahan di tempat kerja juga berarti lebih sedikit waktu untuk beraktifitas sosial, berolahraga, dan melakukan hal lain yang dapat membuat rileks atau memulihkan tenaga. Konsumsi makanan instan atau “minuman suplemen penambah energi” menjadi pilihan terpaksa yang harus diambil pekerja. Dalam langkah yang ekstrim, ada yang beralih ke alkohol atau obat obatan. Hal yang pasti, pilihan instan ini dalam jangka panjang akan memberikan efek samaping yang memperburuk kesehatan.
Perlindungan Hak atas Cuti Berbayar
Memperhatikan dampak serius dari kelelahan dan stress kerja, selain manajemen waktu kerja, jaminan atau perlindungan atas hak cuti pekerja menjadi sangat penting. Ada banyak hak cuti yang telah diatur oleh perundang-undangan seperti cuti sakit, cuti tahunan, hari libur nasional hingga yang tidak kalah penting bagi pekerja perempuan yaitu cuti haid.
Untuk para pekerja perempuan, akses untuk mendapatkan cuti haid seharusnya menjadi lebih dipermudah dan tanpa diskriminasi. Hak cuti haid bukan hanya terkait siklus menstruasi tapi juga hak atas kesehatan reproduksi. Cuti Haid dapat dimanfaatkan oleh para pekerja perempuan tak hanya sekedar untuk beristirahat, namun juga waktu untuk memeriksakan kesehatannya secara berkala. Sering kali tanpa disadari, beban kerja jangka panjang dapat mempengaruhi kesehatan para buruh perempuan, khususnya kesehatan reproduksi.
Hak pekerja yang telah diatur undang-undang demikian seringkali diakali atau bahkan diabaikan oleh perusahaan. Cuti yang semestinya tetap ditanggung perusahaan, dibayar, seringkali tidak dipenuhi bahkan dikompensasikan dengan waktu kerja pengganti. Walhasil pekerja lebih memilih untuk mengabaikan hak cutinya ketimbang kehilangan upah yang memang sudah cukup kecil. Dengan alasan mengejar target produksi perusahaan cukup lihai memanfaatkan situasi yang melemahkan pekerja.
Fleksibilitas kerja yang dibuat semakin menguntungkan pemberi kerja di dalam UU Cipta Kerja 2020 dan Perppu Cipta Kerja 2022 makin memperbesar resiko kehilangan hak cuti berbayar bagi pekerja. Kalau pekerja dengan ikatan kerja tetap saja pemberi kerja bisa abai, apalagi bagi pekerja dengan ikatan kerja yang fleksibel (tertentu).
Masuknya Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai hak fundamental yang diakui oleh badan dunia, semestinya menjadi jalan untuk mendesakkan kembali obligasi negara untuk memaksa pemberi kerja memenuhi hak cuti berbayar bagi pekerja.
Medical Check Up dan Layanan Konsultansi Kesehatan
Kewajiban pemberi kerja untuk menyediakan pemeriksaan kesehatan bagi para pekerja telah dijamin oleh Undang-Undang No 01 tahun 1970 yang juga diserap oleh Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hak atas pemeriksaan kesehatan secara tegas diatur harus dilakukan pada pertama kali masuk berkerja, secara berkala, dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan ini harus dilakukan berdasarkan resiko.
Stress check direkomendasikan sebagai langkah efektif untuk mencegah masalah kesehatan mental. Pemeriksaan stres, tes berbasis kuesioner psikologis yang menilai tingkat stres karyawan diarahkan agar terdapat bimbingan dokter-psikolog dan perbaikan di lingkungan kerja. Hal ini diamanatkan oleh Permenaker No 05 tahun 2018 dengan menyediakan kuesioner untuk mengukur kesehatan mental pekerja. Hanya butuh komitmen dari pemberi kerja untuk mengimplementasikannya dan tentunya penyediaan fasilitas konsultasi yang terbuka bagi para pekerja yang membutuhkan.
Serikat pekerja atau serikat buruh perlu memperjuangkan pemeriksaan kesehatan sebagai hak normatif yang fundamental. Untuk memastikan jaminan perlindungan kesehatan mental dan kesehatan pada umumnya bagi pekerja, maka serikat buruh harus mendorongnya dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Sebagai bagian dari hak atas tempat kerja yang sehat dan aman, seorang pekerja harus memiliki akses untuk berbicara dengan supervisor atau dokter ditempat kerja mereka mengenai kekhawatiran yang mereka amati dan rasakan seputar kerja berlebihan dan dampaknya terhadap kesehatan emosional dan fisik mereka.
Bagi para pekerja dan serikat buruh, perlindungan atas jam kerja yang sehat ataupun hak atas cuti seringkali menemui tantangan yang berat. Relasi kuasa yang timpang ditempat kerja, kerentanan atas kepastian kerja, upah yang layak dan kebebasan berorganisasi, menjadikan para pekerja sulit untuk mendapatkan hak tersebut. Namun jika dilihat kebelakang, kelahiran peringatan mayday atau hari buruh internasional pada satu Mei yang saat ini telah menjadi hari libur nasional juga dilandasi oleh tuntutan jam kerja yang sehat. Gerakan mayday bukan sekedar berawal dari tuntutan atas upah yang layak. 8 jam kerja dalam tuntutan utama perjuangan para buruh sejak lama. Hak atas para buruh untuk bekerja dengan jam kerja yang sehat dan tidak eksploitatif merupakan bagian dari pengakuan bahwa buruh berhak atas keselamatan dan kesehatan kerja, pengakuan atas hak asasi manusia.