Serikat Buruh dan Ancaman Paparan Bahan Kimia
Tak dapat dipungkiri, penggunaan bahan kimia untuk industri telah membawa kehidupan kita berjalan dengan segala kemudahan dan kemajuannya hingga saat ini. Namun dibalik kemajuan tersebut, paparan bahan kimia beracun di tempat kerja telah menghadapkan para pekerja di seluruh dunia dalam krisis kesehatan global. Perkembangan industri kimia dan penggunaan bahan kimia di tempat kerja berbanding lurus dengan resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Lebih dari 1 miliar pekerja setiap tahunnya terpapar oleh bahan beracun berbahaya, termasuk polutan, debu, uap, dan asap di lingkungan kerja mereka. Menurut Perkiraan Bersama WHO/ILO tentang Beban Penyakit dan Cedera terkait Pekerjaan, 2000-2016: Laporan Pemantauan Global, Paparan polusi udara (partikel, gas, dan asap) di tempat kerja bertanggung jawab atas 450.000 kematian. Banyak dari pekerja ini kehilangan nyawa mereka setelah terpapar, meninggal karena penyakit fatal seperti kanker dan keracunan, atau dari cedera fatal akibat kecelakaan kerja seperti kebakaran atau ledakan.
Paparan bahan kimia di tempat kerja memiliki efek toksik pada sistem tubuh yang berbeda, termasuk sistem reproduksi, kardiovaskular, pernapasan dan kekebalan, serta organ tertentu, seperti hati dan otak.
Beban tambahan lainnya yang harus ditanggung oleh pekerja dan keluarga mereka seperti dampak kesehatan, cedera tidak fatal dan penyakit kronis lainnya, yang sayangnya dalam banyak kasus tidak terdeteksi. Kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian dan cedera serta penyakit akibat kerja ini sesungguhnya sepenuhnya dapat dicegah.
Pandemi COVID-19 dan pengaruhnya terhadap paparan bahan kimia bagi pekerja
Industri kimia memiliki sejarah panjang pertumbuhan yang stabil sekitar 4 hingga 4,5 persen per tahun, meskipun beberapa perataan telah terjadi selama beberapa tahun terakhir (UNEP 2019). Dampak pandemi memaksa banyak negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial, hal ini tentunya mengganggu sektor kimia di seuruh dunia. Adopsi peraturan lockdown maupun pengurangan jam kerja operasional pabrik di industri kimia di tengah pandemi dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid 19.
Di Indonesia sendiri, berbagai Industri mengalami penurunan selama pandemi seperti Industri Minyak dan Gas (Migas), Kosmetik, Komoditas Ekspor, dan Tekstil. Namun, Industri Produk Kesehatan, Fast Moving Consumer Good (FMCG), Petrokimia, dan Kimia Dasar yang terkait justru mengalami kenaikan.1 Pandemi COVID-19 juga menyebabkan peningkatan produksi obat obat-obatan, sabun, disinfektan, hand sanitizer, bahan kimia lainnya, dan APD. Peningkatan produksi yang cepat ini dapat menimbulkan risiko kecelakaan industri dan tantangan bagi setiap pemangku kebijakan, termasuk serikat buruh atau serikat pekerja.
Berdasarkan keterangan dari Kementrian Perdagangan, pada Triwulan II tahun 2021 ini subsektor Industri kimia, farmasi dan obat tradisional menjadi salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan sangat tinggi yaitu sebesar 9,15%, dengan nilai ekspor sebesar 9,28% dan peningkatan investasi sebesar 16 Triliun Rupiah.
Di tempat kerja lainnya, terutama di layanan penting utama seperti perawatan kesehatan, transportasi, toko kelontong, personel darurat, dan sektor tenaga kerja lainnya, para pekerja mungkin mendapati diri mereka sering bekerja dengan adanya bahan kimia dan disinfektan (ILO 2020). Beberapa bahan kimia yang sering digunakan untuk mendisinfeksi COVID-19 termasuk amonium kuaterner, hidrogen peroksida, asam peroksiasetat, isopropanol, etanol, natrium hipoklorit, asam oktanoat, fenolik, trietilen glikol, asam L-laktat, asam glikolat, atau diskloroisosinurat dehidrasi (Fair 2020). Amonium kuarter dan natrium hipoklorit, khususnya, membawa peningkatan risiko PPOK atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Dumas et al. 2019), dapat berdampak pada kesuburan (Melin et al. 2014) dan dapat memperburuk gejala asma (Fair 2020).2
Tren K3 dan bagi tantangan serikat buruh di Sektor Kimia
Perubahan dalam praktik kerja, demografi, teknologi, dan lingkungan telah menghasilkan masalah Keselamatan dan kesehatan kerja baru dan tren yang berkembang dari ketidaksetaraan kesehatan kerja di antara pekerja, terutama dalam hal paparan bahan kimia yang tergolong beracun dan berbahaya.
Kelompok pekerja tertentu, seperti pekerja muda, populasi yang menua, pekerja migran, pekerja perempuan dan pekerja di sektor informal, para pekerja ini menghadapi peningkatan paparan bahan kimia berbahaya dan menderita dampak kesehatan yang tidak proporsional dan sering tidak terdeteksi.
Industri kimia memainkan peran penting dalam perekonomian global karena melayani berbagai sektor sebagai salah satu sektor industri yang paling dinamis berkembang dan inovatif, dan terlebih terutama mempekerjakan pekerja terampil. Namun, fakta ini tidak membuatnya kebal dari berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi oleh pekerja dan serikat pekerja di industri lain.
Semakin besarnya resiko keselamatan dan kesehatan kerja khususnya penggunaan bahan kimia di tempat kerja, maka semakin penting untuk melakukan dorongan atas kebijakan dan partisipasi aktif dari setiap stakeholder termasuk para pekerja dan serikat buruh, mendukung transisi yang adil dan berkelanjutan dalam proses kerja yang lebih aman, pengelolaan limbah, penyediaan alat pelindung diri standar yang baik hingga penggantian bahan baku yang lebih aman khususnya Bahan Beracun Berbahaya.
Setiap hari adalah kampanye untuk semakin memperkuat serikat buruh sebagai lembaga yang demokratis dan menjadi aktor yang lebih aktif dalam menggorganisir, saling melindungi dan melayani para anggotanya untuk tempat kerja yang lebih sehat dan aman. Melalui program-program peningkatan kapasitas serikat buruh khususnya terkait K3, penelitian aktif, advokasi kasus penyakit akibat kerja, hingga mendorong kebijakan K3 dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama) hingga peraturan di tingkat daerah dan nasional.
Referensi
1 https://unpar.ac.id/pengaruh-covid-19-terhadap-industri-kimia-nasional/
2 ILO, 2021, Exposure to hazardous chemicals at work and resulting health impacts: A global review.