Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Perlindungan Pekerja di Tengah Pandemi COVID 19
Ketika kebijakan kebijakan pusat terkait Social Distancing atau PSBB (Pembatasan Sosial Besar-Besaran) dengan alasan kesehatan, lalu diteruskan melalui surat edaran beberapa kepala daerah, tidak ada klausul spesifik yang mengarah kepada perlindungan terhadap pekerja/buruh. Pasalnya tidak semua Pekerja/buruh bisa bekerja di rumah, hanya pekerja/buruh bagian office yang dimungkinkan bisa melakukan pekerjaannya di rumah. Bagi pekerja/buruh dibagian lain seperti bagian produksi seperti operator hanya menjadi angan yang tidak mungkin dilakukan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan jaring pengaman bagi Pekerja/buruh ketika bekerja. Namun jaring pengaman ini cenderung tidak pernah menjadi prioritas perusahaan yang ada di Indonesia. Perusahaan selalu abai terhadap K3, terlihat dari angka Keselakaan Kerja yang terus meningkat setiap tahunnya. Tidak kurang ratusan ribu kasus kecelakaan kerja mengakibatkan ribuan pekerja gugur dalam berjuang untuk menghidupi keluarganya, Berbicara K3 di tempat kerja hanya menjadi formalitas saja tanpa melalui riset yang mendalam sesuai prinsip.
Ditengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia K3 tentunya harus ditingkatkan dan disepakati dengan langkah yang harus dilakukan oleh perusahaan. Merujuk Surat Edaran Kementrian Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 tertanggal 17 Maret 2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 maupun Surat Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementrian Ketenagakerjaan RI No.5/193/AS.02.02/2020 tertanggal 12 Maret 2020 tentang Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Penyebaran Covid-19 di Tempat Kerja. Demikian juga Surat Sekretaris Jenderal Kementrian Kesehatan RI No. PK.02.01/B.VI/839/2020 tertanggal 5 Maret 2020 tentang Himbauan Pencegahan Penularan Covid-19 di Tempat Kerja, Pada intinya adalah perusahaan agar segera mengaktifasi P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja) disetiap perusahaannya untuk merumuskan perencanaan dan memitigasi melihat peta awal disetiap perusahaan.
Namun faktanya tidak semua perusahaan di Indonesia telah tertib menjalankan amanat regulasi khususnya yang mengatur tentang P2K3 tersebut. Ini menjadi permasalahan baru ketika melihat situasi dan kondisi seperti saat ini terjadi.
Semangat Surat Edaran Kementrian apabila dilihat mendalam adalah bagaimana tim P2K3 yang diketuai oleh pimpinan perusahaan bisa merumuskan perencanaan hal-hal apa yang akan dan harus dilakukan sesuai kebutuhan perusahaan tersebut dalam menangani atau memutus mata rantai penyebaran COVID 19. Hari ini seakan semua gagap dan latah serta terjebak dengan hal-hal yang tidak subtantif. Dengan demikian perlu duduk bersama antara tim P2k3, buruh, dan serikat pekerja/buruh untuk membahas perencanaan tersebut.
Perlindungan pekerja/buruh menjadi hal yang sangat penting saat ini tidak hanya bagi para pekerja di sektor formal tapi juga para pekerja di sektor informal. Pemutusan rantai penyebaran penyakit Covid 19 tidak hanya berlaku di tempat kerja. Namun juga perlu dilakukan lingkungan permukiman buruh berpenghasilan rendah, kumuh dan memiliki sanitasi yang buruk. Penyediaan alat pelindung diri seperti masker, atau hand sanitizer saat ini menjadi sangat mahal dan sangat sulit didapatkan oleh para pekerja yang memiliki penghasilan yang rendah.
Ketika diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan Serikat Pekerja/buruh di Jawa Barat dan mendapatkan update dari pengurus tingkat perusahaan, disampaikan bahwa masih banyak perusahaan tetap beroperasi di masa PSBB, perusahaan-perusahaan yang mengantongi surat “keterangan/izin operasional dan mobilitas industri” yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian.
Sabtu 11 April 2020 Menteri Kesehatan menyutujui permohonan PSBB di Jawa Barat dengan Surat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/248/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selanjutnya tanggal 12 April 2020 Gubernur Jawa Barat menyusul dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 443/Kep.221-Hukham/2020 tentang Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Daerah Kabupaten Bogor, Daerah Kota Bogor, Daerah Kota Depok, Daerah Kabupaten Bekasi, dan Daerah Kota Bekasi dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona virus Diseases 2019 (Covid-19).
Selama pemberlakuan PSBB, dilakukan penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja ataupun kantor.Artinya selama kurun waktu tanggal 15 April 2020 sampai dengan 28 April 2020 aktivitas kerja dihentikan sementara waktu. Selama penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja, pekerja wajib menggantinya dengan aktivitas bekerja dirumah dengan bahasa lain “Work From Home” (WFH). Ini yang kemudian menjadikan adanya perbedaanantara buruh/pekerja operator, dengan buruh/pekerja kantoran, karena tidak mungkin buruh operator mengerjakan pekerjaannya di rumah. Melihat klausul lain bahwa ada tempat kerja yang dikecualikan, ini menjadi multitafsir sehingga memberikan ruang bagi perusahaan untuk tetap beroprasi.
Jika masih banyak perusahaan yang beroperasi ketika dimasa pandemik ini, pertanyaannya sudah sejauh mana upaya serikat pekerja/buruh memotret antisipasi perlindungan pekerja/buruh berjalan sesuai protokol yang ada. Sejauh ini masih sangat banyak Perusahaan di Indonesia yang kebingungan menetapkan langkah-langkah penanganan pencegahan penyebaran dan penanggulangan Covid-19 secara sistematis, terukur dan komprehensif.
Sektor garmen merupakan sektor yang banyak sekali melakukan pelanggaran K3 ketika pandemik ini. Pasalnya, apabila melihat dari temuan dan laporan beberapa jaringan serikat pekerja/buruh dilapangan, diterangkan bahwa sebagian besar perusahaan garmen menjalankan K3 hanya sebatas formalitas. Idealnya perusahaan mengajak bicara serikat pekerja/buruh untuk merumuskan cara penanganan, mitigas dan rencana aksi untuk memutus rantai penyebaran COVID 19. Perusahaan-perusahaan disektor Garmen yang telah melakukan upaya serius demikian bisa dihitung jari.
Tidak aneh apabila perusahaan berlaku abai terhadap perlindungan pekerja, dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak mengatur pedoman yang tegas dan bertaring untuk meberikan sanksi kepada perusahaan yang abai. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh untuk menekan pemerintah agar lebih tegas dalam mengeluarkan kebijakan terhadap perlindungan pekerja.
Negara/pemerintah harus hadir untuk melindungi buruhnya melalui kebijakan-kebijakan yang berkekuatan hukum dan memiliki sifat memaksa. Apabila melihat sifat atau karateristik dari Covid 19, kebijakan harus tegas meliburkan seluruh pekerja dengan tidak melupakan upah demi memutus rantai penyebaran Covid 19. Cara inilah yang paling efektif agar virus tersebut tidak menyebar. Jika perusahaan tidak bisa meliburkan setidaknya menyediakan upaya maksimal dalam pencegahan. Tidak hanya sebatas melakukan pemeriksaan suhu tubuh, pemberian masker (kalopun banyak yang mengeluh tidak setiap hari), pemberian hand sanitizer, dan penyemprotan disinfektan. Tapi melakukan rapid test bagi seluruh pekerja sehingga bisa memitigasi dan memetakan, serta melakukan modifikasi tempat kerja dari mulai tempat produksi sampai tempat penyimpanan hasil produksi agar sesuai protokol yang dikeluarkan WHO. Klasul inilah yang diharapkan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh diikuti dengan sanksi tegas apabila perusahaan tidak menjalankan.
(Rian Irawan Manager Advokasi dan Jaringan pada Local Initiative For OSH Netwok – LION Indonesia)