Digitalisasi, Berkah Atau Musibah untuk Lapangan Kerja?
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mengatakan perkembangan teknologi dan digitalisasi akan membuat sekitat 56 persen pekerja di dunia kehilangan pekerjaan dalam 10-20 tahun ke depan. Meski demikian, penciptaan lapangan kerja tetap akan terjadi, sehingga menutup risiko ‘punahnya’ beberapa jenis pekerjaan, misalnya pengantar pos.
Dirinya mengungkapkan, angka tersebut didapatnya merujuk pada proyeksi dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) yang diterbitkannya belum lama ini. “Prediksi ILO sekitat 56 persen, meski penciptaan lapangan kerja tetap akan besar juga, tapi penciptaannya belum dihitung berapa, ujar Hanif di kantornya, Seni (19/11).
Terkait risiko ini, hanif mengatakan pemerintah sejatinya sudah memiliki solusi, yaitu membuat pemetaan atas pekerjaan yang rentan hilang dan bisa diciptakan ke depan. Hal ini dilakukan dengan turut mengembangkan metode pengembangan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. “Kami namanya man power planning, kami petakan perubahan pasar tenaga kerja di masa depan,” imbuhnya. Namun, ia enggan memaparkan lebih rinci terkait program ini, sekaligus proyeksi penyusutan serapan tenaga kerja yang pada akhirnya bisa teralihkan ke sektor kerja baru di Tanah Air.
Ekonom sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Khasali menambahkan setidanya ada beberapa sektor yang palng rentan tergerus digitalisasi, yaitu keuangan, media cetak, hingga perhotelan. Meski tak memiliki angka pasti mengenai proyeksi penurunan kesempatan kerja di masing-masing sektor, namun dirinya memastikan hal tersebut sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.
Misalnya, pada sektor industri keuangan, beberapa bank sudah tidak lagi membuka kantor cabang dan menambah pegawai dalam jumlah besar. Nmaun, ia mengatakan hal itu tak serta merta membuat PHK di sektor keuangan sudah marak terjadi. “Sekarang belum sepenuhnya bank kurangi pekerja, tapi setidaknya mereka tidak ekspansi juga. Tidak buka kantor cabang baru, ucapnya,
Sementara itu, pada sektor media cetak, hal ini tercermin dari mulai bergugurannya media cetak, khususnya surat kabar yang kemudian digantikan orang media daring (online). Sektor perhotelan juga perlahan akan tergerus jumlah pekerjanya karena perkembangan teknologi dan perubahan pasar membuat orang lebih senang memanfaatkan penyewaan kondominium dan kamar kos untuk menginap, misalnya dengan applikasi AirBnB.
Industri Baru Siap Jadi Pengganti
Meski tenaga kerja di beberapa sektor industri rentan tergantikan oleh digitalisasi, namun Rhenald bilang sejatinya akan selaluada bidang-bidang pekerjaan baru yang siap menjadi pegganti industri lama untuk menyerap tenaga kerja. Hal itu,katanya sudah jadi hukum alam dari perputaran roda ekonomi, meski belum bisa diprediksi, apakah kemampuan serapan dari industri baru mampu menampng semua ‘buangan’ dari industri lama.
Misalnya saja di sektor keuangan, bank mungkin akan mengurangi jumlah tenagakerjanya, tapi kehadiran perusahaan teknologi berbasis keuangan (financial technology/fintech) bisa menggantikan.
“Dalam jangka pendek, fintech akan naik, sampai fintech optia, maka lapangan kerja di bank akan mulai berkurang. Bayangkan, misal ada 200 fintech, masing-masing butuh 30 orang, sudah serap 6.000 pekerja,” terangnya.
Selain akan muncul industri baru yang akan menjadi alternatif untuk sektor yan sama, Rhenald bialng, industri formal menjadi salah satu jalan keluar bagi tergerusnya kesempatan kerja oleh digitalisasi. Misalnya, usaha-usaha yang memanfaatkan layanan antar atau delivery melalui aplikasi online. Syaratnya, sambung Rhenald, para pekerja yang mau menjajal pekerjaan baru ini harus akrab dengan teknologi dan digitalisasi itu.
“Nantinya akan banya restoran yang bisa dibikin di rumah, dintaranya apakai Go-food (layanan pesan antar dari Go-Jek Indonesia),” pungkasnya.
Menurut laporan ILO, mengungkapkan bahwa sebuah pandangan yang sedikit berlawanan tentang lapangan kerja dan teknologi adalah bahwa keduanya saling bersaing. Dan tidak lama lagisejumlah besar pekerjaan manusia akan hilang. Penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa pekerjaan yang melibatkan tugas rutin menghadapi ancaman terbesar dari otomasi danmesin.
Menurut sebuah perkiraan ILO, lebih dari 60 persen pekerjaan bergaji di Indonesia terancam. Laangan kerja akan menjadi semakin terpolarisasi, yaitu konsentrasi pekerjaan berketerampilan sangat tinggi dan berketerampilan renah. Pekerjaan yang melibatkan fungsi berulang yang dapat diubah menjadi alogaritma atau bisa dipelajari oleh mesin akan menjadi usang.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa dibandinkan dengan masa lalu, difusi teknologi terjadi lebih cepat dari sebelumnya. Menariknya dalam beberapa tahun terakhir, penjualan robot industri meningkat di negara-negara seperti Indonesia. Menurut sebuah survei, semakin banyak perusahaan di Asia Tenggara berencana untuk meningkatkan teknologi mereka. Faktanya, di beberapa tempat ada kekhawatiran bahwa sektor manufaktur Indonesia cukup rentan terhadap teknologi dan otomasi.
ILO juga memberikan rekomendasi bahwa di dunia yang terglobalisasi, menolak penggunaan teknologi dalam proses produksi mungkin akan sulit, jika tidak, mustahil. Adopsi teknologi yag lebih baik seharusnya menjadi sarana untuk mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Kemudian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan teknologi baru termasuk digitalisasi dan mesin yang melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam jangka pendek, akan terjadi gangguan di pasar tenaga kerja, termasuk kehilangan pekerjaan.
Di sinilah, kebijakan publik menjadi sangat penting. Kebijakan dan program pasar tenaga kerja aktif dapat dimulai untuk memungkinkan orang mempelahjari keterampilan baru, membantu mereka dalam penempatan kerja dan memberikan intensif kepada perusahaan untuk berinvestasi pada sumber daya manusia.
Sumber: (International Labour Organization/ILO), CNN Indonesia
*Puji Fauziah