Sengkarut Infrastruktur Berujung Maut
Pembangunan gedung bertingkat, jalan raya, pelabuhan, bandara, kawasan-kawasan industri dan pabrik menjadi ukuran kemajuan sebuah bangsa yang disepakati oleh dunia. Penilaian berbasis pembangunan ekonomi menjadi kiblat utama keberhasilan bangsa.
Kekuatan korporasi yang berada dibalik kekuasaan negara membuat sedemikian rupa agar semua negara di dunia melaksanakan pembangunan. Pembangunan diartikan sempit dalam artian ekonomi. Merubah masyarakat tradisional menjadi modern dalam pandangan mereka adalah mengubah dari kehidupan masyarakat agraris menjadi industrial. Tidak lupa membuka pembatasan kewilayahan menjadi pasar bagi semua warga dunia.
Di Indonesia kritik terhadap pembangunan-isme era orde baru sudah tidak terhitung jumlahnya dihasilkan oleh ilmuan, aktivis, agamawan, budayawan dan lainnya. Bencana yang dihasilkan oleh pembangunan juga sudah tidak terhitung menjadi kajian ilmiah dan perdebatan publik. Masalah hutang negara, korupsi, ketidakmerataan, kerusakan lingkungan, ketimpangan dan dan berbagai permasalah yang mengikuti gerak pembangunan era Soeharto sampai hari ini masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya teratasi.
Belum kunjung selesai masalah yang dihasilkan pembangunan-isme Orde Baru, tahun 2007 Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Dengan dalih perlu adanya pengganti Garis Besar Haluan Negara(GBHN) yang banyak dikritik, UU ini menegaskan kembali pentingnya pembangunan dalam arti industrialisasi.
Pelaksanaan UU 17/2007 adalah dengan dilahirkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Indonesia mandiri, maju adil dan makmur yang menjadi visi pembangunan didefinisikan sebagai “not business as usual.” Bisnis yang bukan hanya sekedar bicara dalam rangkaian investasi-pembangunan-produktifitas-kesejahteraan. Bisnis yang “dilindungi” dengan perangkat-perangkat aturan kenegaraan UU, Perppres, dan peraturan pelaksana lainnya.
Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (KP3EI) sebagi lembaga koordinator pembangunan Indonesia, hingga tahun 2014 melaporkan keberhasilannya mengkoordinasikan 51 regulasi mulai dari UU hingga peraturan menteri/lembaga. Baru selama 38 bulan MP3EI dijalankan, peraturan negara dibuat sedemikian rupa untuk melindungi pelaksanaan pembangunan Indonesia. Memudahkan dan melindungi investor. Jika dihitung satu tahun ada 17 peraturan untuk melindungi investasi dan pembangunan, hingga saat ini setidaknya ada 200 lebih aturan yang menjadikan Indonesia setidaknya sebagai surga investasi.
Pembangunan di era Industrialisasi yang berdalih penguatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak akan pernah juga dapat dilepaskan hubungannya dengan industri keuangan. Industri keuangan yang dibangun oleh sekelompok kekuatan keuangan raksasa untuk terus memperluas jangkauan bisnisnya. Hasilnya negara-negara yang “dipaksa” membangun akan sangat bergantung kepada bisnis mereka. Hutang negara berkembang adalah keuntungan bagi korporasi keuangan raksasa dunia diatas sengkarutnya negara-negara dunia ketiga.
Utang Konstruksi Dibawa Mati
Maret 2016 data World Bank, menyebutkan di tahun 2016 Indonesia sudah mencairkan USD 16,4 Milyar dari lembaga International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan USD 2,9 Milyar dari International Development Association (IDA). Angka ini nyatanya terus meningkat sejak 2006 yang berjumlah USD 8.8 Milyar dan mencapai USD 14,05 Milyar. Artinya, beriringan dengan direncanakannya MP3EI bersamaan dengan itu utang Indonesia pun meningkat. Data Bank Indonesia menyebutkan total utang Luar Negeri Indonesia hingga triwulan II 2016 sebesar USD 323,8 Milyar, meningkat 6.2% dari tahun sebelumnya, 2015. Sebesar 87,2% utang luar negeri Indonesia tersebut merupakan utang jangka panjang yang akan diwariskan kepada bangsa Indonesia.
TIdak terlampau jauh berbeda, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhonono (SBY) dengan Joko Widodo mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur di posisi kedua setelah anggaran pendidikan. Bedanya, pada era SBY anggaran infrastruktur dibarengi dengan alokasi anggaran subsidi energi yang juga besar. Era Joko Widodo pemerintah mengalokasikan Rp.313 Triliyun lebih APBN untuk infrastruktur. Konsentrasinya membangun konektivitas nasional dan kawasan Kawasan Industri. Alasan kedua rezim pemerintahan ini masih sama, pembangunan infrastruktur menyerap jutaan tenaga kerja.
Padahal nyatanya kondisi kerja pekerja konstruksi berada pada posisi yang memberi sumbangan terbesar dalam kecelakaan kerja. Kecelakaan sektor konstruksi mencapai 32 % menurut Sekretaris Ditjen Bina Konstruksi, Panani Kesai (Desember, 2015). Angkatan kerja yang diserap sektor konstruksi pun merupakan angkatan kerja produktif yang dijadikan kuli-kuli pada proyek-proyek infrastruktur.
Tanpa jaminan sosial memadai, jam kerja yang melebihi batas, upah rendah dan tempat tinggal yang tidak layak dan jauh dari kondisi kesehatan yang memadai. Riset yang dilakukan sejumlah lembaga mengatakan kondisi demikianlah yang terjadi pada proyek-proyek infrastruktur. Kecelakaan yang terjadi di sektor konstruksi sering berakhir hanya dengan uang kerahiman kalau tidak mau dibilang tidak diakui oleh perusahan.
Lebih dari itu hubungan kerja antara pekerja dengan majikan yang dibuat sedemikian jauh dan tersamar menambah resiko besar yang dihadapi pekerja konstruksi. Hubungan dari pekerja, mandor (perekrut), mandor lapangan, pelaksana lapangan, hingga penerima kontrak proyek dibuat bertingkat-tingkat seakan ingin mengaburkan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap nasib pekerja.
Kosongnya serikat buruh yang konsentrasi mengawal isu konstruksi padahal ada ratusan proyek infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah adalah isu tersendiri yang patut menjadi perhatian. Padahal disektor manufaktur terkait infrastruktur ada beberapa serikat pekerja yang memiliki anggota dengan jumlah yang cukup besar. Inilah perlunya keseriusan serikat buruh untuk menggarap isu konstruksi.