K3 Dalam Wacana Ketenagakerjaan Indonesia
Penduduk dan Angkatan Kerja di Indonesia
Indonesia memasukan usia penduduk antara 15-64 Tahun sebagai usia produktif secara ekonomis. Walaupun banyak kritik terhadap praktek pekerja anak-anak, namun secara faktual anak usia 15 tahun telah melakukan kegiatan ekonomis. Itulah kenapa anak usia 15 tahun dimasukan kedalam angkatan kerja di Indonesia.
Badan Pusat Statistik memproyeksikan angka Angkatan Kerja di Indonesia mencapai 68% dari total populasi Indonesia. Sensus penduduk Indonesia terakhir dilakukan pada tahun 2010 mendata 237.641.300 penduduk. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk diproyeksikan 1,38% dari total populasi Indonesia, ini berarti Indonesia akan memiliki 173 juta lebih penduduk usia produktif pada tahun 2015, 184 juta lebih pada 2020 dan 207 juta lebih penduduk usia produktif di tahun 2035. Inilah yang digadang sebagai “bonus demografi” Indonesia.
Di Indonesia, seseorang yang sudah memasuki usia 25 tahun diproyeksikan sedang mempersiapkan diri untuk mencapai puncak usia produktif yang berada pada rentang 40-49 tahun. Lapangan kerja sektor informal masih menjadi dominan dalam menyerap tenaga kerja ketimbang sektor formal, 46:54 persen pada 2014. Industri manufaktur dan konstruksi bangunan menjadi lapangan pekerjaan yang banyak diisi oleh angkatan kerja Indonesia setelah sektor pertanian, perdagangan (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Februari 2016, BPS: 2016).
Kesenjangan Angkatan Kerja
Satu-satunya lapangan pekerjaan yang mendominasi serapan tenaga kerja perempuan di Indonesia adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel. Ada 52 orang perempuan dari 100 penduduk angkatan kerja disektor tersebut. Sedangkan dalam sektor konstruksi berada pada titik ekstrim berlawanan, dimana diantara 100 pekerja hanya ada 3 orang perempuan. Kesenjangan tingkat pengangguran antara laki-laki dan perempuan juga menunjukan pengangguran dikalangan perempuan lebih tinggi. Hal ini menyeret perempuan pada kondisi dimana mereka dipekerjakan dengan tidak layak di sektor-sektor informal.
Kesenjangan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki juga tercermin dalam kesenjangan rasio nominal upah baik di sektor agrikultur dan non-agrikultur yang berada pada kisaran 63-76 %. Walaupun secara nominal angka upah terus naik sekitar 100-200 ribu rupiah dari periode-ke-periode namun nilai riil upah terhadap harga kebutuhan ternyata tidak demikian. Women and Men In Indonesia 2015, (BPS, 2015) menyebutkan upah perempuan pada sektor pertanian berkisar Rp.708.466 sedangkan laki-laki berkisar Rp. 1.122.671, dan pada sektor non agrikultur, perempuan di upah Rp1.475.1863, sedangkan laki-laki diberi upah Rp.1.941.662.
Upah rendah, serapan industri yang kecil, minimnya pemenuhan hak ketenagakerjaan dikombinasikan dengan pengawasan yang minim membuat kelompok perempuan dan pekerja anak menjadi semakin tinggi resiko paparan di hadapinya.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memperkirakan setiap hari enam orang buruh meninggal dunia di tempat kerja. Secara rata-rata, setiap tahunnya terjadi 98,000-100,000 kasus kecelakaan kerja dan 2400 kasus diantaranya berakibat kematian. Pada tahun 2015 angka kecelakaan kerja mencapai 105. 182 kasus dan sebanyak 2.375 kasus mengakibatkan hilangnya nyawa buruh.
Data BPJS di atas hanyalah permukaan gunung es dari lemahnya penerapaan K3 di Indonesia. Data tersebut merupakan data kasus yang ditangani oleh BPJS yang saat ini beranggotakan 19,2 juta pekerja dan belum mencakup angka kasus penyakit akibat kerja. Profesor Dr.dr L. Meily Kurniawidjaja, M. Sc, Sp.OK dalam pidato pengukuhan Guru Besar-nya, meyakini bahwa dari data laporan Jamsostek pada tahun 2013 bahwa ada 9 orang meninggal akibat kecelakaan kerja, sebenarnya hanya menunjukan 10% dari kondisi aktual yang sesungguhnya terjadi. Hal ini terkait dengan kondisi bahwa tidak semua pekerja menjadi anggota Jamsostek/BPJSNaker dan pekerja yang bersifat informal dan non-formal.
Di Indonesia, terdapat kasus kecelakaan yang setiap harinya dialami para buruh. Dari setiap 100 ribu tenaga kerja yang mengalami kecelakaan, 31,9% di antaranya terjadi di sektor konstruksi. Hal ini dikatakan langsung oleh pejabat Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun Juli 2015. Padahal, menurut statistik BPS 2016, jumlah tenaga kerja tetap di sektor konstruksi berjumlah 980.650 orang sementara angka yang terbesar adalah dari tenaga kerja harian lepas berjumlah 1.470.939.665. Perlu dicatat bahwa anggaran APBN-P 2016 mengalokasikan lebih dari 300 Triliyun untuk sektor infrastruktur.
Sektor pekerjaan yang juga menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi selanjunya adalah sektor manufaktur, 31,6%. Menyusul angka tersebut adalah kecelakaan sektor transportasi sebesar 9,1%. Padahal Jumlah tenaga kerja yang diserap dari sektor ini terus bertambah.
Peran Buruh dan Serikat
Kementerian Ketenagakerjaan mengakui secara terbuka bahwa lembaganya mengalami defisit jumlah pengawas ketenagakerjaan dan K3. Padahal ada sedikitnya 42 peraturan terkait K3, ratusan ribu kasus kecelakaan pertahun (2015: 108.00), dan puluhan ribu penyakit (2014: 40.694 kasus). Lebih dari 3000 orang pengawas dibutuhkan untuk mengawasi ketaatan K3 ratusan ribu perusahaan yang ada di Indonesia.
Dengan kondisi kementerian yang begitu lemah, harapan hanya bisa datang dari serikat buruh. Sampai tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia menyatakan bahwa ada 8 Konfederasi serikat buruh, 101 Federasi, 11,852 serikat tingkat pabrik, ditambah dengan 170 Serikat pekerja BUMN. Jumlah total keanggotaan serikat yang tercatat sampai tahun 2015: 3,414,455 pekerja. Jumlah yang sangat bisa diharapkan untuk menjadi pengawas atas nasib K3. Syaratnya adalah semakin banyak serikat yang konsern untuk mengawal isu K3 di masing-masing basis keanggotaan. Sudah saatnya isu K3 bersanding dengan upah menjadi medan perjuangan serikat buruh. Buruh tentu tidak berharap upah yang diterimanya harus dikeluarkan kembali untuk memelihara kesehatan dirinya, padahal perusahaan sudah diwajibkan negara untuk menerapkan K3 bagi pekerjanya.