Isu K3 Masih Jadi ‘Anak Bawang’
May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan buruh untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan buruh.
Indonesia sejak tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh di tanggal 1 Mei. Namun sampai saat ini, rata-rata tuntutan serikat buruh tingkat nasional maupun tingkat pusat hanya mengangkat persoalan upah dan penolakan sistem kerja kontrak/outsourcing. Padahal ada isu yang substansif namun berdampak masif yang secara gerakan elitis diangap tidak cukup ‘seksi’ untuk diangkat, yaitu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Imbasnya, kasus-kasus kecelakaan kerja ditangani secara parsial, hanya untuk mendapatkan kompensasi dari perusahaan ataupun pemerintah (dalam bentuk BPJS).
Riset dari International Labour Organization (ILO) mengatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki peraturan perundangan terlengkap se-Asia mengenai hak-hak dasar buruh (khususnya K3) di tempat kerja. Namun realitanya, banyak buruh diluar sana yang merasakan ketidakpuasan dengan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja yang (seharusnya) disediakan oleh pihak pengusaha. Kondisi seperti ini membuat para buruh merasa depresi dan frustasi, terlebih isu K3 ini hanya dianggap sebagai persoalan yang umum, sehingga tidak cukup dianggap sebagai persoalan internal serikat tertentu. Pada akhirnya, keresahan dan kegundahan buruh akan buruknya kondisi di tempat mereka bekerja sulit untuk diaspirasikan, imbasnya, sebagian dari mereka rela melakukan aski yang ekstrim untuk mengungkapkan kekecewaan mereka.
Pada tahun 1970 di Korea, sorang buruh bernama Chun Tae Il membakar dirinya sendiri ketika berlangsung demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja dan penegakan hukum di Korea. Disebutkan bahwa Chun melakukannya untuk menyikapi penderitaan buruh pada masa itu. Sedangkan baru-baru ini, di peringatan May Day 2015, seorang buruh bernama Sebastian Manuputi (32) membakar diri dan melompat dari atap stadion Gelora Bung Karno menuju panggung utama dalam sebuah acara peringatan Mayday di Jakarta. Sebastian, yang dikenal giat dalam memperjuangkan isu K3, melakukan hal ini karena rasa frustasinya terhadap buruknya kondisi kesehatan kerja di tempat dia bekerja. Dan, apabila masalah ini terus berlarut-larut tanpa adanya perubahan, maka sungguh tidak mengherankan bila suatu saat nanti akan muncul Sebastian-Sebastian baru yang tentunya sudah muak dengan kondisi di tempatnya bekerja.
Aksi yang dilakukan oleh Chun Tae Il ataupun Sebastian, selain dinilai sebagai cerminan kekecewaan buruh terhadap buruknya implementasi hak-hak yang harusnya diberikan, juga sebagai cerminan perjuangan buruh yang merindukan kesejahteraan tanpa harus mendengar lagi kata kecelakaan, kecacatan, dan kematian di tempatnya bekerja. Karena faktanya, menurut data Internasional Labor Organization (ILO) pada tahun 2013, rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Dari total jumlah itu, sekitar 70 persen berakibat fatal yaitu kematian dan cacat seumur hidup. Kasus kecelakaan kerja di Indonesia termasuk yang paling tinggi. Dimana 9 pekerja meninggal setiap harinya. Dengan demikian, menurut ILO, bahwa di seluruh dunia tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun. Hal tersebut disumbang dengan banyak perusahaan tidak menyediakan alat keselamatan dan pengamanan untuk buruhnya. Dan, banyak pengusaha juga mengabaikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) karena enggan mengeluarkan biaya tambahan.
Dalam pidato pembukaan Seminar dan Kongres Nasional Perhimpunan Perawat Kesehatan Kerja Indonesia (PERKESJA) di Jakarta satu tahun yang lalu, dr. Muchtaruddin Mansyur mengatakan:
“Hasil laporan pelaksanaan kesehatan kerja di 26 Provinsi di Indonesia tahun 2013, jumlah kasus penyakit umum pada pekerja ada sekitar 2.998.766 kasus, dan jumlah kasus penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan berjumlah 428.844 kasus. Rendahnya jumlah kasus terkait kerja yang relatif rendah tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya, tetapi lebih pada tidak terdeteksi dan terdiagnosis,”
Data-data tersebut membuktikan bahwa hak-hak buruh menyakngut K3 belum sepenuhnya diberikan, terlbih diabaikan. Para buruh bak sapi perah, dipekerjakan layaknya seorang budak pekerja. Faktanya, memang benar, kondisi ini memang real terjadi di negara kita ini. Bahkan survei yang digelar oleh lembaga Global Slavery Index tahun lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan situasi dunia kerja terburuk sejagat.
Pada dasarnya, permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan K3 tidak hanya berhubungan dengan kesadaran buruh, tetapi mengenai sejauh mana informasi mengenai keselamatan kerja dan keamanan kerja diberikan kepada buruh; sejauh mana upah yang diterima oleh buruh dapat mengurangi beban dan jam kerja; sejauh mana pemilik perusahaan menyediakan alat-alat perlindungan bagi pekerja; sejauh mana lingkungan kerja aman untuk buruh bekerja; sejauh mana perusahaan memberikan pelatihan mengenai K3 bagi buruh; dan sejauh mana serikat buruh memaknai K3 sebagai hak dasar bagi mereka. Dan dengan adanya May Day ini, diharapkan semua pihak dan masyarakat umum agar lebih aware mengenai isu ini sebagai momentum awal dalam revolusi buruh menuju ke arah yang lebih baik.