Potensi penyakit silicosis di Industri Kapur dan marmer di Kabupaten Bandung Barat
Identifikasi Kondisi K3
Potensi penyakit silicosis di Industri Kapur dan marmer di Kabupaten Bandung Barat
Pendahuluan
Debu putih berterbangan disepanjang jalan
Cerobong pabrik mengubah warna langit
Keindahan alam ternodai
Kesegaran udara teracuni
Yang tertinggal hanya penantian waktu
Penggalian bait puisi dari warga Citatah seakan menjadi gambaran nyata kondisi lingkungan di daerah Cipatat-Kabupaten Bandung Barat, dimana banyak ditemukan tempat penambangan dan pabrik pengolahan kapur dan marmer yang bertebaran disepanjang jalan raya Padalarang- Rajamandala. Debu dan kepulan asap hitam pekat yang keluar dari cerobong asap telah menjadi santapan sehari-hari didaerah tersebut. Lokasi penambangan tersebut merupakan kawasan gunung karst cekungan Bandung, beberapa peneliti geologi menyimpulkan bahwa kawasan tersebut sebagai situs purbakala Bandung tempo dulu. Selain itu, situs arkeologi juga ditemui di daerah tersebut dengan ditemukannya manusia purba di Gua Pawon yang terletak tidak jauh dari lokasi penambangan. Saat ini banyak pihak yang tergabung didalam Kelompok Peneliti Cekungan Bandung mendesakan adanya penyelematan terhadap situs purbakala tersebut dan segera dilakukan penghentian proses penambangan didaerah itu.
Keberadaan daerah Cipatat yang kaya akan nilai sosial, budaya dan sejarah telah berabaikan karena eksploitasi yang tak kenal ramah, telah mengubah kawasan tersebut menjadi kawasan yang rentan terhadap bahaya lingkungan dan penyakit akibat aktivitas pertambangan dan industri di daerah tersebut.
Kabupaten Bandung Barat memiliki areal penambangan yang terhampar hampir seluas 100 hektar yang berlokasi di kecamatan Padalarang, Cipatat, Batu jajar, Cililin sampai dengan Cikalong wetan. Material utama yang dihasilkan dari proses penambangan ini terdiri dari andesit, Marmer dan kapur.
Material Tambang | Luas Lahan | Wilayah |
AndesitMarmer
Kapur |
61.84 Ha26 Ha
15 Ha |
Padalarang, Batu jajar, CililinPadalarang, Cipatat, Cikalong Wetan
Padalarang, Cipatat |
Data diolah dari berbagai sumber1
Menurut data dari Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat tahun 2008, jumlah SIPD/ KP 15 perusahaan (sebagian warisan dari Kabupaten Bandung/induk), Izin Camat Cipatat 15 perusahaan, dan peti 8 usaha. Namun, dari pengamatan di lapangan diperkirakan jumlah pertambangan tanpa izin ini melebihi 8 usaha, cukup banyak, terutama di Desa Gunungmasigit dan Desa Citatah2. Pertambangan batu kapur dan marmer serta industri pendukungnya di kawasan tersebut merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup besar. Disamping masih banyaknya penduduk yang menergantungkan mata pencahariannya kepada kegiatan ini. Sampai saat ini belum ada data pasti dari pemerintah tentang berapa jumlah tenaga kerja yang terlibat didalam proses produksinya. Diperkirakan hampir 80 n penduduk menggantungkan matapencahariannya pada pertambangan kapur dan mamer ini.3
Nilai ekonomi yang tinggi kawasan itu, tidak dibarengi dengan perbaikan kondisi lingkungan dan pekerja disana. Saat ini, akibat penggalian yang seporadis yang dilakukan oleh penambang (baik korporasi ataupun pertambangan Inkonvensional) mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Ancaman longsor dan kekurangan air bersih mengancam warga yang tinggal didaerah itu.4
Disisi lain, kekayaan alam yang ada tidak menjadikan warga yang ada di daerah tersebut sejahtera. Kepemilikan lahan pertambangan dan Industri pendukungnya dimiliki oleh segelintir orang saja. Penduduk lokal yang bekerja di pertambangan dan industri pendukungnya, mayoritas berprofesi sebagai buruh dengan upah yang dibawah upah layak serta rentan terhadap kecelakaan dan penyakit di tempat kerja.
Tujuan
Observasi ini dilakukan guna mendapatkan data kualitatif mengenai kondisi kerja para pekerja di sektor pertambangan dan Industri pendukungnya yang ada di kawasan Kabupaten Bandung Barat. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa kabupaten bandung barat sebagai daerah baru hasil pemekaran daerah yang tujuan awalnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk melihat fakta dilapangan, sudah sejauh mana perhatian pemerintah memperdulikan kondisi rakyatnya dalam hal ini pekerja dan masyarakat yang berlokasi disekitar lokasi pertambangan.
Metode
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung ke lapangan serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait dibidang ini. Pertemuan dengan warga dan stake holder di kawasan itu
Waktu
Kegiatan ini dilakukan sejak bulan Januari 2010 sampai dengan April 2010.
Kondisi K3 di sektor pertambangan Batu di daerah Citatah
Asap hitam mengepul dari cerobong asap, membumbung tinggi menyebar ke berbagai penjuru langit, mengikuti arah angin. Mengubah warna langit menjadi hitam. Cerobong asap yang berasal dari pabrik pembakaran batu kapur yang berada di sepanjang jalan tersebut, hampir setiap hari berproduksi. Pabrik tersebut memproduksi tepung kapur yang digunakan untuk pembuatan roofing, keramik, kosmetik, pakan ternak, pupuk serta untuk peleburan besi baja. Tak hanya asap hitam, debu kapur pun berterbangan disepanjang jalan raya Padalarang-Rajamandala. Hampir dipastikan disetiap bangunan yang berada di sepanjang jalan tersebut, debu kapur menebal. Tak terkecuali di di sebuah warung makan di pinggir jalan di pinggir jalan tersebut. terlihat debu menebal di sela-sela kacanya. “sudah biasa, mau diapakan lagi” ungkap Ibu Siti, salah satu pemiliki warung di pinggir Jalan Raya Padalarang-Rajamandala. Dia mengungkapkan bukannya tidak tahu bahwa debu-debu tersebut akan menggangu kesehatannya, tapi karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, dia memilih pasrah pada keadaan dan menutup warung nya dengan tirai agar debu tidak masuk ke dalam warungnya.
Jalan Raya Padalarang-Rajamandala menjadi jalur utama untuk mengangkut batu kapur hasil penambangan dari pegunungan disekitar pabrik tersebut. Setiap kali truk yang mengangkut batu kapur melintasi daerah tesebut, sudah bisa dipastikan bahwa debu kapur berterbangan bersama kepulan asap hitam dari knalpotnya. Maklum, truk yang mengangkut batu kapur tersebut rata-rata sudah tua.
Tak hanya menyebabkan polusi, alam pun rusak oleh aktivitas penambangan ini. Gunung Masigit yang tadinya berdiri kokoh sekarang tinggal setengahnya. Gunung yang mengandung bahan kapur dan marmer tersebut, hampir selama lima tahun terakhir ini dieksploitasi dan dikeruk isinya untuk kemudian dijadikan tepung kapur, keramik dan sebagainya. Tak heran saat ini di daerah tersebut kekurangan air bersih.
Upah Murah, Resiko Tinggi
- Buruh Tambang
Maret 2010, Local Intiative melakukan obeservasi ke lapangan, sebuah Deko -alat berat untuk mengeruk tanah atau batu- tampak terlihat tanpa henti mengeruk dan memecahkan bongkahan bebatuan besar. Terlihat kerumunan buruh tambang menanti reruntuhan bongkahan batu gunung tersebut. Setelah Deko kerja tersebut selesai, rombongan buruh tersebut kemudian bergerombol, menghampiri gundukan batu yang diuruk oleh Deko tadi. Mereka kemudian menggali, dan memecahkannya menjadi bagian-bagian kecil batu tersebut. setelah dirasa cukup ringan untuk diangkat, mereka kemudian mengumpulkan batu tersebut di satu titik tertentu. Setelah beberapa lama, batu yang mereka kumpulkan menggunung. merekapun menunggu. Menunggu truk dari si empunya tambang datang untuk mengangkut batu tersebut.
Tak lama berselang, truk tua dengan bak terbuka yang mereka tunggu pun datang. Dengan sigap mereka mengangkat satu persatu batu teresebut dan melemparkannya ke bak truk tersebut. Truk tersebut memiliki kapasitas 5 ton dan setiap harinya truk tersebut bisa sampai 5-7 kali mengirimkan batu tersebut ke lokasi pabrik pengolahan kapur dan keramik. Tak jauh dari tempat para pekerja tambang, mandor suruhan pemilik tambang batu tersebut memperhatikan dan menuliskan beberapa catatan hasil penambangan hari itu.
Setelah truk terisi penuh, para pekerja bergegas merapat ke pada sang mandor. Tanpa banyak berbasa-basi, mandor tersebut memberikan sejumlah uang pada salah satu buruh tambang tersebut. dengan sedikit tersenyum buruh tersebut pun segera membagi-bagikan uang tersebut pada sesama temannya.
Hari itu mereka berhasil mengisi truk 4 kali balikan, dan untuk setiap ton batu yang diangkut ke truk mereka di bayar dengan harga Rp 5.000. Kelompok buruh tersebut, masing-masing terdiri dari 5 orang buruh. Dan hari ini mereka mendapatkan Rp 100.000 yang berarti setiap orangnya mendapatkan Rp. 20.000.-
Ajang, salah satu pekerja disana mengungkapkan, baginya hari ini mereka mendapatkan kemujuran, karena tidak setiap hari bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari yang mereka dapatkan hari ini. Hal ini dikarenakan sebagian kerja mereka tergantung pada kinerja mesin pengeruk yang disewa oleh pemilik pertambangan. Tidak setiap hari Deko tersebut datang membantu pekerjaan mereka, karena menurut pekerja disana, sebagaian pemilik pertambangan merasa terbebani dengan biaya sewa yang Deko tersebut yang setiap harinya bisa lebih dari Rp. 1.000.000. hal ini jelas bila setiap hari Deko itu disewa, jelas akan mengurangi keuntungan si empunnya lahan.
(Para penambang batu kapur di daerah Citatah, mereka memecahkan bongkahan batu, dengan alat sederhana)
Ade, salah satu mandor diwilayah itu membenarkan apa yang dikatakan oleh Ajang. “hasil kerja kita tergantung pada kinerja Becko” ungkap Ade yang sudah bekerja di pertambangan sejak tahun 1998. Sejak tahun 2008, dia diangkat sebagai mandor oleh pemilik lahan pertambangan. Sebagai mandor, pendapatan dia didasarkan pada hasil bahan tambang yang diangkut. Menurut dia rata-rata perhari dia mendapatkan sekitar Rp. 30.000 per hari. Si Pemilik tambang menjual Batu kapur tersebut ke pabrik-pabrik yang ada disekitar lokasi pertambangan dengan harga Rp. 35.000 – Rp.40.000 per ton. Biasanya pemilik lahan dengan pabrik sudah memiliki ikatan yang sudah lama terbangun, sehingga pabrik-pabrik tersebut memiliki pemasok tradisional didalam menyediakan bahan bakunya.
Lahan pertambangan batu kapur biasanya dimiliki oleh perorangan atau tanah desa yang dikelola oleh kepala desa. Pemilik lahan disebut Anemer. Para pemilik lahan ini memperkerjakan para buruh pertambangan dengan merekrut warga sekitar. Dengan sistem kerja buruh harian lepas. Mereka diupah berdasarkan hasil yang mereka dapatkan. Saat ini untuk setiap satu ton batu yang dikumpulkan dan diangkut ke truk, para buruh tersebut dibayar senilai Rp. 5.000 per ton nya. Cara kerja para buruh ini biasanya dengan sistem kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 4-5 orang. Dalam kondisi normal satu kelompok ini biasanya bisa mengumpulkan batu perharinya lebih 15 sampai dengan 20 ton.
Kelompok buruh ini, bertugas untuk memecahkan batuan kapur menjadi bagian-bagian kecil sehingga mudah untuk diangkut ke dalam truk. Sebelum dipecahkan menjadi bagian-bagian kecil, bagi pemilik lahan yang memiliki modal besar, dia akan menyewa alat berat untuk memecahkannya. Tetapi bagi pemilik pertambangan kecil atau yang dikelola secara inkonvensional dengan menggunakan alat sederhana seperti linggis, palu dan pahat oleh oleh para buruh. Batuan kapur yang siap angkut tersebut di kumpulkan dalam satu titik untuk kemudian dinaikan ke truk dan dikirim ke pabrik penggilingan kapur.
Memperhatikan cara kerja para buruh tambang, hampir semua nya dilakukan secara manual. Ketika memecahkan batu kapur, mereka menggunakan palu dan pahat. Dan ketika mencongkel batuan yang terjepit, mereka menggunakan linggis. Mereka bekerja tanpa menggunakan sarung tangan, sepatu karet atau masker. Bagi mereka penggunaan alat tersebut menjadi faktor penghambat kerja mereka. Apalagi pendapatan mereka tergantung pada seberapa banyak batu yang berhasil mereka kumpulkan. Dan memang, bila mereka ingin menggunakan peralatan pelindung kerja, mereka harus membelinya karena tidak disediakan oleh para majikannya. Di beberapa sudut pegunungan, terlihat para pekerja tambang harus mendaki tebing bebatuan yang curam untuk mencari bongkahan batu. Mereka melakukan hal tersebut dengan tanpa menggunakan alat pengaman yang memadai.
Tanpa alat pelindung dan hanya menggunakan baju kaos yang dibungkuskan ke kepala, mereka bekerja ditengah kepulan debu bebatuan. Begitu pun dengan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, para pekerja ini tidak diikutkan dalam prgram perlindungan Kesehatan dan Kecelakaan kerja (Jamsostek)
Sugiman (70), sudah melakukan profesi sebagai buruh tambang selama 40 tahun menyatakan bahwa dia menjalankan profesi ini dilakukan karena tidak ada pilihan lain. Hal ini pula diikuti pula oleh anaknya Ajang (30) yang sudah lebih dari tiga tahun menjalani profesi ini. Ajang sebelumnya menjadi buruh tani serabutan di desanya. Karena musim tanam yang berubah dan dirasa hasilnya kurang begitu memuaskan, dia kemudian bekerja pada tetangganya menjadi pengrajin batu ukiran. Selama dua tahun dia bekerja membuat produk-produk batu ukiran yang di kirim keluar daerahnya. Tapi karena ada permasalahan pemasaran, produksinya berhenti dan saat ini dia menjadi buruh tambang di kawasan Cipatat. Bagi Ajang, tidak ada pilihan lain selain menjadi buruh penambang batu. “habis nyari kerja susah” ungkapnya dengan nada penuh kepasrahan.
Bagi sebagian penduduk Ciitatah, adanya aktivitas penambangan dan berdiri pabrik-pabrik yang berada di sekitar desanya menimbulkan harapan tersendiri buat mereka. Dengan adanya aktivitas penambangan dan pabrik ini diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk desa tersebut. Hal ini berarti adanya lapangan pekerjaan buat mereka yang berarti mereka bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Harapan ini ternyata tidak bisa didapat dengan mudah. Jarang sekali pabrik-pabrik yang ada disekitarnya memperkerjakan penduduk lokal disekitar lokasi pabrik tersebut memperkejakan penduduk lokal sebagai pekerjanya. Mereka lebih suka menggunakan tenaga kerja dari luar daerah tersebut. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik antara pabrik dengan penduduk sekitarnya.
- Buruh Tepung Kapur
“pas masuk hitam, tapi keluar bisa putih” salah satu candaan warga disekitar terhadap para pekerja yang bekerja di penggilingan kapur. Hal ini merujuk pada kondisi kerja yang penuh dengan debu kapur yang menempel pada badan para pekerja, sehingga ketika mereka pulang bekerja di pabrik itu, badan mereka dipenuhi oleh debu putih yang menempel di badan mereka. Mereka bekerja tanpa masker atau alat lainnya, hanya menggunakan kaos baju atau potongan untuk dijadilan pelindung kepala dan menutup bagian mulut dan hidung mereka.
Seperti yang terjadi di disalah satu pabrik penggilingan kapur, PT Djaya Putera yang sudah beroperasi sejak tahun 1998. Proses produksi yang menghasilkan tepung kapur tidak dilengkapi dengan ventilasi dan sistem K3 yang memadai. Eden, salah satu superviser di pabrik tersebut menjelaskan bahwa bangunan pabrik sangat tertutup karena ventilasi yang seharusnya ada ditutup karena adanya protes dari warga sekitar atas polusi debu yang sangat mengganggu warga sekitar. Akibatnya udara tidak mengalir dengan baik dan kondisi kerja dipenuhi dengan debu. Anehnya, dalam kondisi kerja seperti itu, para pekerja tidak dilengkapi dengan alat pelindung kerja yang memadai. Alasannya tidak disediakan oleh perusahaan. Dan mereka dianggap sudah terbiasa dengan kondisi kerja seperti itu.
Saat ini, pabrik tersebut memperkerjakan sekitar 28 orang pekerja. Mereka bekerja dengan sistem borongan lepas dengan pendapatan rata-rata Rp. 600.000 per orang. Masih jauh dari upah minimum kabupaten yang ditetapkan sebesar sekitar Rp 1.105.000-. sedangkan untuk tingkat superviser mendapatkan upah perbulannya rata-rata Rp. 900.000-. Menurut Eden, biasanya hasil produksinya digunakan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak. Saat ini dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.
Para pekerja ini bekerja secara berkelompok ditiap unit produksi. Satu kelompok terdiri dari 4-5 orang. proses produksi didalam pabrik kapur ini, di mulai dari pemilihan batu kapur, penghancuran bongkahan batu kapur melalui ke mesin penghancur-yang dinamakan dengan Jablogan-, kemudian masuk mesin penyaring proses ini dilakukan sampai 2 kali. Setelah halus, batu kapur tersebut di bakar dengan suhu tinggi. Dari seratus kilogram batu gamping dapat menghasilkan 56 kilogram kapur dengan cara membakar batu gamping pada suhu 903 derajat Celsius. Pembakaran itu akan menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan menyisakan quick lime (CaO). Kapur (CaOH2) didapat dengan menambahkan air secukupnya pada CaO.
Dari proses produksi ini, kami melihat bahwa tingginya resiko bahaya kerja bagi pekerja yang terlibat dalam proses produksi ini tidak diantisipasi dengan membangun sistem K3 yang memadai bagi kesehatan para pekerja. Akan tetapi dari segi perlindungan kerja dan jaminan kesehatan mereka tidak dilibatkan dalam program Jamsostek.
Eden, menambahkan selama dia bekerja di pabrik itu, belum pernah mengalami sakit yang parah atau gangguan pernafasan. Selama ini para pekerja kebanyakan hanya mengeluh sakit badan dan sakit pinggang. “hal ini wajar, namanya juga orang kerja” begitu respons dari Eden menanggapi para pekerja yang mengalami sakit seperti itu. Dia juga menambahkan bahwa bila para pekerja mereka sakit, mereka dirujuk ke dokter yang telah ditunjuk oleh perusahaan.
Akan tetapi pernyataan Eden ini bertentangan dengan pernyataan Jajang, salah satu pengurus serikat pekerja di daerah Bandung Barat, dia meyakini bahwa di pabrik tepung kapur tersebut memiliki potensi yang tinggi akan bahaya penyakit kerja yang berdampak pada paru-paru, karena dari Rumah Sakit Yayasan Citra Medika pernah menyampaikan bahwa di pabrik tepung kapur banyak pekerja yang mengalami keluhan sakit itu seperti sesak nafas, batuk-batuk.
Dia menambahkan, bahwa di Pabrik tepung kapur, debu kapur bisa “memandikan” si pekerja, dan dalam bekerja mereka tanpa menggunakan alat pelindung diri, hanya baju yang ditutupkan ke kepala sampai ke muka si pekerja. Selain itu, proses pembakaran batu kapur dilakukan dengan menggunakan bahan bakar dari ban bekas, sampah yang mengandung unsur kimia yang menambah resiko bahaya. Hal ini menambah resiko para pekerja terkena penyakit. Asap dan debu yang berbahaya ini jelas tidak hanya berdampak pada para pekerja didalam pabrik akan tetapi juga bagi lingkungan disekitarnya.
“Saya sebenarnya sangat ngeri kalau melihat situasi kerja di pabrik tepung, mereka hanya menggunakan alas kaki seadanya padahal bersentuhan dengan batu panas, perlindungan kepala hanya dengan menggunakan baju yang ditutupkan ke kepala sampai ke muka tanpa menggunakan masker yang khusus” ungkap Jajang sambil memicingkan matanya, yang kebetulan lokasi kantor serikatnya berjarak sekitar 100 meter dengan pabrik pengolahan kapur. Dia juga menambahkan, hampir setiap hari lantai halaman kantornya dipenuhi debu kapur yang menebal dan bila malam tiba terasa bau yang menyengat akibat dari proses pembakaran kapur didaerah itu.
Aktivitas pabrik kapur memang meresahkan warga terutama akibat pencemaran udara. Polusi debu dari proses produksi yang dilakukan menyebabkan pencemaran udara yang cukup parah, terlebih pada musim kemarau. Budi (25), salah satu warga desa pamuncatan mengatakan bahwa sejak banyak nya pabrik kapur beroperasi, banyak dari warga sekitar yang mengalami gangguan kesehatan warga seperti gatal-gatal dan gangguan pernafasan. Kondisi yang lebih parah terjadi bila musim kemarau, polusi dirasakannya lebih tinggi dibandingkan musim penghujan.
Seperti biasa untuk meredam gejolak warga yang menyangkut persoalan lingkungan, pengusaha biasanya memberikan uang kepada warga sekitarnya sebagai bentuk konpensasi atas pencemnaran lingkungan yang dilakukannya. Dan warga biasanya menyebut konpensasi ini sebagai “uang pengganti debu”
Minim perlindungan.
Sudah satu bulan, Sugiman (60) tidak bisa bekerja sebagai mana mestinya, sekujur badannya sakit dan suhu badan cukup tinggi, mencapai 38 derajat celcius. Pria yang sudah memiliki 8 anak ini, sehari-hari bekerja sebagai penambang batu di daerah Citatah. Dia sudah menjalani profesi ini sejak tahun 1970an. Hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk memecahkan dan mengangkut batu kapur di pertambangan Bagi dia, dan beberapa warga yang tinggal di desanya, tidak ada pilihan lain selain menjadi buruh tambang. Menjadi “Kuli” adalah jalan untuk bertahan hidup.
Sugiman hanya meminum obat yang dibeli dari warung. Bukannya tidak ingin sembuh lebih cepat dengan pergi berobat ke dokter dan klinik. Tapi ketiadaan biaya pengobatan menjadi penyebabnya. Di tempat kerjanya, dia dan keluarganya tidak diikutkan dalam program jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK). Sebagai buruh harian lepas, dia hanya bisa pasrah dan berharap dirinya lekas sembuh sehingga bisa kembali kepertambangan. Artinya bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluargannya.
Dia cerita, sampai hari ini, selama dia bekerja di pertambangan tidak pernah mengalami gangguan sesak nafas atau ganguan paru lainnya. Yang paling banyak dideritanya seputar masalah sakit pinggang, flu dan batuk. Akan tetapi dia sangat mewajarkan perihal sakit yang setiap tahunnya menderanya. “kalo flu dan batuk mah sudah jamak disini mah, namanya orang hidup pasti sesekali sakit” dengan logat sundanya yang khas, dia berseloroh. Ketika ditanya soal kecelakaan kerja yang sering dia alami ditempat kerjanya, dengan lugas dia menjawab “pernah kaki saya terpukul oleh palu, tapi itu mah wajar disini. Namanya juga kerja pasti ada resikonya” lebih lanjut dia menceritakan ketika terjadi kecelakaan itu, luka yang dideritanya hanya diobati dengan cara tradisional. Dan bagi dia cara itu lah yang paling mujarab.
Satu hal yang dia keluhkan selama ini bahwa setelah bekerja lebih dari 40 tahun, kesejahteraan dia tidak pernah meningkat. “tambah tua bukannya tambah tenang” dengan pandangan yang menerawang, lelaki tua ini menerangkan dalam umur lebih dari 60 tahun dia harus bekerja berat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal kondisi badannya sudah tidak sekuat di masa mudanya.
Tidak hanya pekerja tambang, pekerja di pabrik pengolahan kapur pun sangat minim mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan ataupun jaminan hari tua. Banyak penguasaha pengilingan kapur di daerah Citatah tidak mendaftarkan para pekerjanya ke Jamsostek. Padahal menurut aturan, bila memperkerjakan lebih dari 10 orang pekerja, pengusaha wajib mendaftarkan pekerja sebagai peserta Jamsostek. Jangan ditanya tentang cek kesehatan berkala, untuk tangungan biaya kesehatan bila pekerja sakit pun tidak ada.
Penegakan Hukum
Indonesia memiliki lebih dari 42 aturan perundangan-undangan (tingkat nasional) yang mengatur tentang pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Indonesia. Banyaknya aturan tersebut tidak serta merta menjamin kondisi K3 di Indonesia menjadi lebih baik. Kecelakaan kerja masih kerap terjadi, data dari Jamsostek tahun 2009 mencatat ada 88.492 kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang mengakibatkan 1.970 orang meninggal dunia, cacat fungsi 4.023 orang, cacat anatomis secara tetap 2.534 orang dan sebanyak 79.985 tenaga kerja sembuh. Untuk permasalahan penyakit kerja, sampai saat ini belum ada data yang yang tersaji dari pihak pemerintah. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar sebenarnya buat pemerintah. Kondisi kerja yang buruk sangat potensial menyebabkan penyakit kerja buat pekerja. Akan tetapi karena peran pemerintah yang minim dan lemahnya pengawasan dan sosialisasi dari Pemerintah menyebabkan kondisi ini tak kunjung mengalami perbaikan.
Banyak pihak malah berpendapat bahwa pengusaha, yang dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk memberikan hak-hak K3 kepada pekerja jarang sekali tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Selain sanksi yang minim, ketidak tegasan pemerintah menjadi salah satu faktornya.
Amroni, salah seorang Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di kabupaten Bandung barat mengungkapkan selama ini bila pihaknya menemukan kelalaian dari pengusaha hanya memberikan nota berupa peringatan dan belum pernah sampai dibawa ke pengadilan. Pendekatan yang persuasive ini dilakukan dengan alasannya untuk lebih membangun iklim usaha yang kondusif.
Penelitian yang dilakukan oleh Local initiative tentang kondisi K3 di Indonesia di sektor garmen dan tektile tahun 2010, menyimpulkan suatu perbandingan kondisi K3 antara perusahaan yang bermodal asing dengan perusahaan bermodal dalam negeri sangat lah menyolok. Kondisi K3 di perusahaan yang bermodal asing mayoritas kondisinya lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi K3 di perusahaan yang dimiliki oleh modal dalam negeri. Hal ini salah satu faktornya disebabkan adanya kesepakatan “code of Conduct” yang diterapkan oleh para Buyer di luar negeri. Dalam kaitan ini, Amroni menyatakan bahwa daya tekan pemerintah yang lemah serta sanksi yang ringan menjadi penyebabnya.
“Yang justru membantu kondisi K3 itu yah dari Buyer, dari kita sudah diperingatkan berkali-kali tapi jarang dianggap, tapi bila buyer yang meminta, mereka pasti melaksanakan”
Tumpulnya hukum di Indonesia bagi kaum pengusaha bukan lah rahasia umum lagi. Di banyak kasus perburuhan sering kali terjadi, penerapah upah di bawah aturan, keterlambatan pembayaran upah, lembur yang tidak dibayar, pelanggaran kesepakatan kerja bersama, pemberangusan serikat dan masih banyak lagi tindakan yang bisa dikatagorikan sebagai bentuk pelanggaran Pidana yang tidak pernah ditindak oleh pemerintah. Dalam kaitannya K3, sanksi yang diberikan bila pengusaha melakukan pelanggaran hanya berupa kurungan maksimal 6 bulan atau denda yang hanya senilai Rp. 100.000.
Dalam sebuah laporan yang dileluarkan oleh Dewan K3 Nasional, mencatat beberapa permasalahan yang menyebabkan Kondisi K3 di Indonesia
- Belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur K3 secara menyeluruh sebagai pelaksanaan Undang-undang Keselamatan Kerja.
- Peraturan Perundangan K3 dalam bentuk Standar jumlahnya masih sangat terbatas dan banyak yang tidak sesuai lagi dengan ilmu dan tehnologi mutakhir.
- Terdapat tumpang tindih pengaturan K3 yang dilaksanakan berbagai instansi teknis
- Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan K3 masih belum efektif dan menyeluruh
- Sistem pelaporan K3 belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku
- Penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan perundangan K3 sangat lemah.
- Kesadaran dan komitmen pengusaha dan pekerja terhadap K3 masih belum tinggi, K3 masih dianggap sebagai beban dalam biaya belum sebagai kebutuhan bagi kegiatan.
- Panitia Pembina K3 diperusahaan yang wajib dibentuk belum terlaksana sesuai peraturan yang berlaku
- Sistem Manajemen K3 yang diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan dan sekaligus akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, masih mengalami kendala.
Hal tersebut disebabkan karena tingkat pemahaman terhadap SMK3 masih rendah, kurang sosialisasi dan biaya audit dirasa memberatkan. Kendala terhadap implementasi peraturan perundangan K3 juga terjadi karena fihak perusahaan masih ingin mencari jalan pintas dengan cara berkolusi dengan para pengawas.
Di kabupaten Bandung Barat sendiri saat ini memiliki lebih dari 307 perusahaan yang diawasi oleh 4 orang pengawas dan hanya satu orang pengawas yang memiliki keterampilan khusus dalam bidang K3. “kadang ironis kita mendorong K3 di tempat kerja orang lain, akan tetapi di tempat kerja kita sendiri K3 nya buruh” ungkap Amroni di akhir wawancara yang dilakukan. Sudah tiga tahun Dinas Tenaga kerja kabupaten Bandung Barat menempati gedung yang dulunya merupakan pabrik tekstil di kawasan Batu Jajar. Suasana pengap, panas dan crowded menjadi tempat kerja keseharian para pekerja di Dinas tenaga kerja kabupaten Bandung Barat. Dia juga mengakui bahwa kondisi K3 di daerahnya memang masih buruk.
Keberadaan Serikat
Saat ini, terdapat lebih dari 50 Industri penggilingan Kapur yang terdaftar secara resmi di pemerintah, sisanya yang bisa menyapai lebih dari 100 industri kapur ini yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat dan belum terdaftar secara resmi di Pemerintahan setempat. Dari data tersebut hanya 5 perusahaan penggilingan kapur yang sudah berdiri Serikat dan berkabung ke dalam SPSI-KEP Bandung Barat.
Ketiadaan serikat didalam perusahaan ini, diakui oleh Jajang –Ketua SPSI KEP Bandung Baratmenjadi salah satu faktor lemahnya daya tekan terhadap pengusaha dan pemerintah setempat untuk menegakan hak-hak pekerja di daerahnya.
Dia menceritakan di PT Java Stone, tempat dia bekerja, keadaanya tidak jauh berbeda dengan pabrik-pabrik lain yang memiliki potensi bahaya penyakit kerja yang diakibatkan oleh debu, akan tetapi sejak tahun 2001, melalui serikat pekerja meminta perusahaan tersebut untuk menyediakan fasilitas K3 serta memperbaiki sistem K3 di pabriknya.
“yah, sekarang kondisi nya lebih baik, walau belum sempurna” ungkap Jajang yang masih percaya bahwa kondisi pabriknya lebih baik dibandingkan dengan pabrik lainnya berkat adanya perjuangan serikat di pabriknya.
Pemetaan aktor di industri pertambangan Bandung Barat.
Dari hasil observasi dan pertemuan dengan beberapa stake holder di pertambangan dan Industri Kapur kawasan Bandung Barat.
Alur produksi yang terjadi di industri pertambangan di bandung Barat
Alur produksi yang terjadi di industri pertambangan di bandung Barat
Aktor | Karakteristik | Sistem kerja | Jaminan sosial |
Buruh Tambang | Biasanya penduduk lokalyang tinggal didekat
lokasi pertambangan, kebanyakan dari mereka merangkap sebagai buruh tani. |
Terkatagori sebagai pekerjainformal, Sistem kerja
harian lepas, upah didasarkan pada hasil yang didapat hari itu. Rp. 5000 per ton batu yang dikumpulkan Biasanya dilakukan Perkelompok. |
Tidak memiliki jaminansosial, bila mengalami
kecelakaan atau sakit biasanya mengharapkan kebaikan dari majikannya |
Mandor | Rata-rata penduduk lokalyang memiliki kedekatan
atau masih memiliki hubungan keluarga dengan pemilik tambang, |
Terkatagori sebagai pekerjainformal, Sistem kerja
tergantung pada hasil tambang, dengan upah rata-rata perhari Rp. 30.000. |
Tidak memiliki jaminansosial, bila mengalami
kecelakaan atau sakit biasanya mengharapkan kebaikan dari majikannya |
Anemer/pemilik
lahan pertambangan |
Si pemilik lahanpertambangan, biasanya
didapat dari warisn orang tuanya atau seseorang yang karena jabatannya berhak atas tanah tersebut (lurah, camat). Memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. |
Keuntungan yang didapatdari selisih biaya produksi
(upah buruh, sewa peralatan, dan pajak) dengan harga bahan tambang yang dijual ke pabrik. Harga pasaran batu kapur yang dijual ke pabrik Rp. 35.000 – Rp 40.000 per ton. Biasanya antara pabrik dan anemer memiliki hubungan yang sudah lama. |
– |
Buruh pabrik | Mayoritas dari pabrikyang ada disana
memperkerjakan buruh dari luar daerah tersebut dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki |
Terkatagori sebagai pekerjaformal, dengan sistem kerja
normal 40 jam per minggu, dan upah ditentukan berdasarkan upah minimum kota/kabupaten |
Memiliki jaminan sosialberupa Jamsostek
dengan kepesertaan menggunakan paket B |
Superviser | Mayoritas dari pabrikyang ada disana
memperkerjakan buruh dari luar daerah tersebut dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki |
Terkatagori sebagai pekerjaformal, dengan sistem kerja
normal 40 jam per minggu, dan upah ditentukan berdasarkan upah minimum kota/kabupaten |
Memiliki jaminan sosialberupa Jamsostek
dengan kepeertaan menggunakan paket B |
Pemilik/managemen | Mayoritas dari pemilikpabrik merupakan orang
luar daerah tersebut |
||
Pengrajin | Mayoritas penduduklokal | Dikerjakan denganmelibatkan keluarga. Masih
menggunakan alat sederhana. |
Tidak ada |
Pemetaan Masalah K3 di Industri pertambangan Bandung Barat
Dari hasil observasi sementara yang dilakukan,buruh di pabrik penggilingan kapur memiliki potensi yang tinggi terhadap bahaya penyakit di tempat kerja. Debu kapur menjadi faktor dominan sebagai bahan berbahaya yang bisa menjadi penyebab penyakit kerja. Di pabrik. Konsentrasi debu kapur sangat tinggi bila dibandingkan dengan di pertambangan dan pengrajin. Hal ini disebabkan karena minimnya ventilasi udara yang ada dipabrik tersebut. Ditambah lagi faktor temperatur yang tinggi akibat dari proses pembakaran kapur di pabrik yang menambah tingginya resiko kerja.
Pemetaan bahaya di tempat kerja
Jenis Bahaya | Buruh Tambang | Buruh Pabrik | Penambang |
Noise | Ya | Ya | Ya |
Chemicals | – | Ya | Ya |
Gases and Fumes | Ya | Ya | Ya |
Vibration | Yes | Ya | Ya |
Dust | Ya | Ya | Ya |
Electrical | – | Ya | Ya |
Heat | Ya | Ya | – |
Fire | – | Ya | – |
Radiation | – | – | – |
Penggunaan alat pelindung diri
Jenis Perlindungan | Buruh Tambang | Buruh Pabrik | Pengrajin | |||
Disediakan | Dipakai | Disediakan | Dipakai | Disediakan | Dipakai | |
Ear Muff | Tidak | – | Tidak | Tidak | Tidak | – |
Mask | Tidak | – | Jarang | Jarang | Jarang | Jarang |
Protective Shoes | Tidak | – | Jarang | Jarang | Tidak | – |
Tinggi nya resiko bahaya kerja di sektor pertambangan dan Industri Kapur tidak diimbangi dengan ketersediaan alat pelindung kerja yang memadai. Walaupun alat pelindung diri ini dalam prinsip K3 sebagai upaya terakhir dalam sistem managemen K3, tetap saja hal ini tidak dilakukan oleh para pengusaha yang sebenarnya hal ini menjadi kewajiban mereka. Di beberapa pabrik memang disediakan alat perlindungan diri, akan tetapi jumlahnya dan jenisnya masih minim sebatas untuk menggugurkan kewajiban pengusaha. Sosialisasi K3 yang jarang serta tekanan kerja yang tinggi – sistem target/borongan- membatasi kenyamanan pekerja didalam menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan sepatu.
Kesimpulan
Pertambangan dan Industri kapur di kawasan Bandung Barat telah menjadi suber matapencaharian sebagian besar penduduk disana yang sebagian besar Sampai hari ini, belum ada penelitian yang menguji secara pasti perihal resiko bahaya dari aktivitas pertambangan dan Industri penggilingan kaaur di daerah Bandung Barat bagi kesehatan manusia. Akan tetapi, dampak keberadaannya sudah sangat dirasakan oleh masyarakat disekitarnya. Udara yang tercemar, debu kapur yang menebar dan air bersih yang susah didapat menjadi tanda-tanda bahwa keberadaan Industri pertambangan kapur yang ada di kawasan karst Citatah telah mengakibatkan kesehatan warga terganggu, terlebih lagi para pekerja yang hampir setiap hari menghabiskan waktunya di lingkungan yang buruk.
Memburuknya kondisi kerja dan lingkungan di sana terjadi karena telah terjadi pembiaran oleh pemerintah yang seharusnya bisa mengawasi dan melakukan tindakan terhadap para pelaku yang melakukan pelanggaran hukum. Kondisi yang terus berkembang ini telah memunculkan “perlawanan-perlawanan kecil” dari berbagai komunitas masyarakat yang ada di Bandung Barat untuk memperbaiki kondisi llingkungan di sana.
Footnote:
1http://www.bandungbaratkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=106%3Apertambangan&catid=58%3Asumber-daya-alam&Itemid=1
2 Achmadherawan.com
3 Kompas-jawa barat 14/05/2009
4 idem
Lampiran
(Para pedagang Batu akik yang sedang menggosok dan menghaluskan batu akik. Tanpa menggunakan masker, mereka rentan terkena penyakit silicosis. Kota Bogor, Desember 2010.)
(Aktivitas penambangan batu kapur di daerah Citatah kabupaten Bandung Barat)