Pakar Kesehatan Kanada Serukan Kerjasama Tenaga Medis dan Masyarakat Hentikan Bahaya Asbes
Pakar kesehatan dari Kanada Proffesor Yv Bonnier Viger menyambangi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Kamis, 27 Juli 2017, untuk mengajak tenaga medis bersama masyarakat menghentikan bahaya asbes. Para tenaga medis dari Indonesia menyambut antusias ajakan tersebut. Mereka membenarkan ditemukannya dampak asbes.
Proffesor Yv Bonnier Viger
Prof. Yv (sapaan akrabnya) menyebutkan Kanada kini melarang import dan penggunaan asebs. Padahal, negara asalnya pernah menjadi produsen asbes terbesar dari tahun 1950-1970an. “Dulunya ada 13 pabrik asbestos di Kanada, sejak 2008 hanya tinggal 2 pabrik yg ada di kota Quebec,” ceritanya.
Sejarah Kelam Penyakit Asbes di Quebec
Ia menyebutkan bahaya asbes mulai disadari tenaga medis pada 1960an. “Penelitian mengenai penyakit karena asbes, seperti kanker paru, mesothelioma dan asbestosis,” katanya dalam diskusi “Management Asbestos & Asbestos Related Disease.” Kangker paru akibat asbes tidak dapat disembuhkan dan membunuh dalam hitungan bulan.
Ia menyebutkan penyakit akibat asbes sempat mewabah di Quebec. Mereka yang terjangkit sebagian besar adalah buruh yang banyak terpapar asbes. “Dari tahun 1982 sampai tahun 2002 terdapat 1530 orang yang di-diagnosis sebagai mesothelioma pleura dan 170 orang yang didiagnosis dengan mesothelioma peritoneum,” tuturnya.
Prof. Yv memaparkan penyakit akibat kerja dalam hal asbes ini memiliki tantangan tersendiri untuk dideteksi. Ini karena dampaknya butuh 20-30 tahun baru muncul.
Antusiasme Tenaga Medis Indonesia Lawan Bahaya Asbes
Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof.Yv bertemu dengan orang-orang yang berlatar belakang akademisi dan mereka yang berprofesi sebagai dokter. Beberapa bekerja sebagai dokter di perusahaan. Dr. Agus Dwi Susanto yang merupakan ahli dalam bidang Pulmonologist mendampingi prof.Yv sebagai pembicara.
Para peserta tampak antusias. Para peserta banyak bertanya tentang bagaimana pengalaman di Kanada dalam proses pelarangan asbes, serta bagaimana para dokter di kanada menangani penyakit yang berkaitan dengan asbes. Dimulai dengan bagaimana cara mendiagnosa hingga kepada proses pembayaran jaminan oleh negara kepada para pekerja yang terdiagnosa penyakit akibat kerja.
Dr. Agus Dwi Susanto
Dr. Agus Dwi Susanto, dalam paparannya, menyebutkan ia juga menemukan pengakit akibat asbes di Indonesia. Dokter di RSUP Persahabatan itu telah menemukan rata-rata 1 kasus mesothelioma setiap tahun selama 20 tahun terakhir. Pada akhir diskusi Dr Agus Dwi Susanto berkata, “Terkait dengan diagnosa mesothelioma diperlukan sebuah konsensus yang terdiri dari ahli di bidang Pulmologi, Okupasi dan Radiologi agar para ahli dapat menentukan diagnosa yang benar mengenenai Penyakit Akibat Kerja (PAK),” usulnya.
Sejalan dengan pendapat dr. Agus Dwi Santoso, dr. Isti Sapto selaku penasehat BPJS pun mendukung gagasan harus adanya sebuah konsensus dalam menentukan diagnosa PAK. Ini membuat orang-orang yang mengidap penyakit karena asbes bisa teridentifikasi secara jelas. Dengan begitu, kelak akan adanya perlindungan bagi buruh yang menderita PAK asbes. “Selama ini jarang diperhatikan dengan baik,” katanya mengacu pada para buruh yang terpapar asbes.
Mendengar tanggapan tersebut, Prof. Yv merasa ada harapan untuk memperkuat kerjasama tenaga medis dan masyarakat menghadapi bahaya asbes. Harapan muncul karena ada perhatian lebih dan komitmen dari akademisi, ahli kesehatan dan dokter.
Prof.Yv percaya, jika lebih banyak orang dari latar belakang berbeda yang tahu dan peduli akan bahaya karena paparan asbes yang sangat berbahaya, bukan tidak mungkin penghentian penggunaan asbes seperti di Kanada juga bisa dilakukan di Indonesia.
Semoga.
Suasana Kuliah Umum : Peserta antusias mengajukan pertanyaan