“Bencana Tersembunyi” dalam Fenomena Batu Akik
Fenomena batu akik yang terjadi akhir-akhir ini semakin hari semakin menggila. Penikmatnya bukan hanya sebatas kalangan orang dewasa, tapi tren ini juga sudah merambah ke dunia anak-anak dan remaja. Bahkan, saking dahsyatnya demam batu akik ini, Bupati Purbalingga menginstruksikan para PNS di Pemkab Purbalingga untuk menggunakan batu akik.
Sebenarnya fenomena batu akik di Indonesia pernah terjadi juga di tahun 90-an, lantas meredup dan hari ini kembali booming. Bila kita merundut sejarah, ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa batu akik atau batu alam ini sudah digunakan oleh manusia sejak tahun 400 sebelum masehi di Yunani. Berdasarkan hasil temuan sejarah, ternyata sebelum batu akik ini dimanfaatkan sebagai hiasan atau manik-manik, awalnya batuan tersebut hanya digunakan untuk membuat mangkuk, piring, dan alat dapur lainnya. Barulah setelah itu manik-manik berbahan batu akik menjadi populer dan diproduksi dengan masif.
Secara sederhana, batu akik atau batu alam terbentuk dari hasil kristalisasi magma di perut bumi. Magma sendiri kebanyakan adalah cairan silikat, mengandung sekitar 75-100% Si02 (silika). Kebanyakan mineral silikat mempunyai titik didih diatas 10.000 C°, yang membuat magmanya tetap cair. Kemudian pada masa pendinginan, proses pengkristalan terjadi. Secara alami, hasil dari pengkristalan tersebut menghasilkan batuan yang indah, dengan berbagai corak motif dan warna yang menawan. Hal inilah yang membuat orang-orang rela mencarinya dengan susah payah, bahkan ada yang rela menerjang bahaya di lereng pegunungan.
Seiring pamor demam batu akik yang semakin meluas, maka semakin banyak pula spot-spot penambangan yang dibuat. Bermodalkan alat-alat sederhana seperti palu dan bor tangan, para penambang menggali reruntuhan batu yang menurut mereka berpotensi mengandung batuan tersebut. Setelah mereka menemukan bongkahan batuan yang mereka cari, maka proses selanjutnya adalah pemotongan dan pembentukkan. Proses ini membutuhkan daya konsentrasi dan tingkat kesabaran yang tinggi karena proses ini menjadi dasar untuk mendapatkan batu yang berkualitas tinggi. Dalam proses ini, para pengrajin biasanya memotong dan membentuk bongkahan menggunakan grinda secara manual, hal ini tentu saja cukup beresiko, alih-alih memotong bongkahan, malah jemari yang terpotong grinda.
Dengan booming-nya tren batu akik di dalam negeri, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mulai melirik batu akik sebagai produk yang mampu menambah ragam ekspor Indonesia. Bahkan, batu akik dipercaya mampu meningkatkan devisa perdagangan nasional. Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi lonjakan ekspor perhiasan/permata hingga 68,95% pada periode Januari-Desember 2014. Salah satu pendorongnya adalah batu akik, yang kini sedang menjadi tren. “Ini masuk galian non-logam. Sekarang lagi ramai batu akik, ini bisa jadi komoditi. Ekspornya US$ 4,6 miliar dalam setahun,” kata Kepala BPS Suryamin di kantornya, Jakarta, 2/2/2015. (Sumber: http://kotaknews.com/)
Sepintas, fenomena batu akik ini memang berpotensi menguntungkan di berbagai sektor, baik itu di sektor ekonomi dengan potensi ekspornya, ataupun di sektor kebudayaan dalam pengejawantahan kearifan lokal. Namun dibalik itu semua, ternyata ada hal yang luput dari pengamatan kita, terlihat sepele namun berdampak serius. Dibalik keuntungan-keuntungan yang ditawarkan oleh tren batu akik ternyata ada “bencana” yang sedang melakukan ancang-ancang.
Karl Heiner mengatakan,
“Life is like a good black and white photograph, there’s black, there’s white, and lots of shades in between.”
Hidup atau apapun itu selalu memiliki sisi “hitam” dan “putih”, termasuk demam batu akik yang saat ini terjadi.
SILIKOSIS. Suatu penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silikosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak.
Bisa dibayangkan seorang penambang atau pengrajin batu akik yang selama dia bekerja selalu behubungan dengan bebatuan tersebut, bebatuan yang secara umum terbentuk dari senyawa silika. Terlebih mereka bekerja dengan alat-alat keamanan seadanya, bahkan tanpa peralatan pengamanan sama sekali.
Partikel-partikel silika tak kasat mata yang mereka hirup ketika menambang ataupun memotong/membentuk batu akan mengendap di paru-paru dan bila terakumulasi, tidak menutup kemungkinan akan terjangkit Silikosis. Gejala awal penyakit ini mungkin terlihat ringan, ditandai dengan sesak napas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Bila penyakit silikosis sudah berat, maka sesak napas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung. Namun bukan hanya itu, seorang yang terkena Silikosis akut akan rentan terhadap penyakit lain dan bahkan bisa terkena komplikasi seperti TBC, Bronkitis, dan Emphysenic (kembang paru-paru).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di tahun 1980 menunjukkan bahwa hampir sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Pada survei berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional terbaru ini menyatakan bahwa satu di antara tiga kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru.
Terlebih bagi mereka (buruh) yang bekerja tanpa memperdulikan K3 (Kesehatan dan Keselamatn Kerja) di tempatnya bekerja –seperti penambang dan pengrajin batu akik– mereka akan lebih rentan terserang penyakit paru. Menurut International Labour Organization (ILO), setiap hari terjadi 1,1 juta kematian yang disebakan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan (Occupational Accidents). Dari data ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan paling banyak disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat kecelakaan sebanyak 25 %, penyakit saluran pernapasaan 21%, dan penyakit kardiovaskuler 15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit saluran pernapasaan menempati peringkat ketiga.
Dari data survei tersebut menunjukkan bahwa penyakit paru, khususnya Silikosis, memang sudah menjadi momok yang mengerikan dan sudah merenggut banyak korban jiwa, bahkan sebelum tren batu akik yang terjadi akhir-akhir ini. Namun faktanya, informasi-informasi semacam ini telah luput dari pengamatan kita, bahkan media pun hampir tidak pernah mangangkat isu semacam ini.
Perumpamaan mengatakan,
“Baik buruk adalah dua sisi koin. Jika koin itu adalah kehidupan, maka kita harus mau menerima kedua sisinya jika ingin memilikinya”
Analogi koin ini mengajarkan kita untuk tidak memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja, terlebih dari sudut pandang yang subjektif. Kepekaan lah yang akan membimbing kita untuk menemukan, memaknai, dan merefleksikan diri serbagai bagian dari satu sudut pandang baru.