Korban penyakit akibat asbes ; yang ditinggalkan dan dilupakan
“Harapan saya ya teman-teman yang bantu,” (Sriyono, Mantan Pekerja)
Pesan lirih itu masih terus mengiang sejak tahun 2017 LION Indonesia mendapatkan laporan pekerja pabrik pengolahan asbes di Cibinong. Setahun sebelumnya, LION Indonesia dan INABAN (Indonesia Ban Asbestos Network) menginisiasi pemeriksaan kesehatan bagi para pekerja pabrik pengolahan asbestos di dua pabrik berbeda. Dari dua tempat ini terdapat puluhan pekerja yang mengalami gangguan kelainan paru-paru. Sepuluh diantaranya berasal dari satu pabrik yang sama dengan gejala gangguan paru-paru yang hampir mirip.
Lima orang korban pertama yang LION Indonesia dan INABAN advokasi juga merupakan lima orang pertama yang diakui oleh negara sejak asbestos digunakan pertama kali di tahun 1950. Kelima korban berhasil memperoleh kompensasi dengan perhitungan tingkat kecacatan paru-paru.
Sayangnya, karena kasus penyakit akibat asbestos masih merupakan kasus baru, pihak yang semestinya tanggap dengan jenis penyakit progresif ini tidak kuasa mengambil keputusan karena tidak adanya aturan. Sesuai ketentuan, kompensasi baru dapat diterima jika korban pekerja ini sudah tidak lagi bekerja. Sementara penyakit yang mereka terima akibat hubungan kerja menjadi hilang jika mereka tidak lagi bekerja.
Adu Cepat Korban dan Aturan
Kekosongan peraturan berkenaan dengan tanggung jawab penyakit akibat asbes adalah konsekuensi karena Indonesia memisahkan jenis asbestos untuk kepentingan industri. Coba saja lihat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes. Dalam peraturan tersebut hanya jenis krosidolit (asbes biru) yang dilarang digunakan sementara jenis lainnya boleh dipakai sesuai ketentuan.
Sialnya, ketentuan yang sama hanya meminta pengusaha melakukan pemeriksaan kesehatan tanpa ketegasan periode. Bahkan jikalau pengusaha melanggarpun hanya dikenakan sanksi 4 bulan kurungan atau denda paling tinggi Rp 100.000 Rupiah. Jangan tanyakan kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan sesuai amanat peraturan tersebut.
Pada tahun 2001 melalui Peraturan Pemerintah No.74/2001 akhirnya negara menetapkan bahwa krosidolite menjadi bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat digunakan terbatas. Peraturan ini dengan tegas membuat ketentuan menteri ketenagakerjaan sebelumnya menjadi tidak berlaku. Sementara asbes jenis krisotil (asbes putih) yang dipakai untuk membuat atap asbes bergelombang terus melenggang tanpa ada ketentuan larangan, bahkan sekedar untuk pembatasan. Kondisi inilah yang ditemukan dalam laporan LION Indonesia tentang masih adanya impor krosidolit sampai tahun 2011 dan berubahnya krisotil menjadi “asbes lain-lain”.
Maju mundurnya ketegasan peraturan untuk melindungi rakyat dari bahaya penyakit akibat asbes masih terjadi hingga saat ini. Ketentuan kepabeanan terbaru berkenaan dengan impor asbestos misalnya, membolehkan impor dengan larangan terbatas bagi krosidolit dan asbes lain-lain. Dalam ketentuan PMK No.26/PMK.010/2022 dengan jelas disebutkan bahwa keduanya merupakan B3 yang memerlukan ijin dengan syarat sesuai klasifikasi bahan berbahaya dimana harus mencantumkan peringatan “bahaya”. Walau ditentukan dengan larangan terbatas, namun pemerintah memberikan tarif yang sama untuk keduanya; 0% bea masuk, 11% PPN, dan 2,5-7% untuk PPH.
Sementara aturan perlindungan masyarakat dari penyakit akibat asbes belum jelas dan tegas, pemerintah terus memberi ijin impor bagi perusahaan untuk meraup keuntungan dari pengolahan bahan karsinogenik ini. Korban tidak berdaya membendungnya.
Perhitungan perkiraan Global Burden Disease (2020) lebih dari 1.500 orang Indonesia yang mengidap penyakit akibat asbes. Perhitungan ini didasari oleh banyaknya asbes dan jangka waktu penggunaan asbes yang telah berlangsung di Indonesia. Korbannya bukan hanya dari pekerja pabrik pengolahan bahan baku asbes. Sebuah laporan ilmiah yang dipublikasikan acta medica philiphina (2022) membuktikan korban penyakit akibat asbes juga di derita oleh pengusaha konstruksi yang terpapar asbestos dalam pekerjaannya. Nico van Zandwijk dkk (2022) bahkan menuliskan secara satire dampak penggunaan asbes sebagai The silent malignant mesothelioma epidemic (Epidemi Mesotelioma Ganas yang Sunyi / tidak terdeteksi).
Pengusaha Punya Segalanya
Badan riset kanker dunia (IARC) dengan tegas mengatakan bahwa semua jenis asbes berpotensi karsinogenik. Tidak ada batasan yang dirasa aman untuk menyatakan sebaliknya. Organisasi pekerja sedunia (ILO), Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan 67 negara yang telah melarang asbestos bersepakat bahwa apapun jenis asbestos akan memberi dampak kesehatan yang merugikan.
Namun demikian, masih ada saja negara-negara dibawah koordinasi International Chrysotile Association – ICA (asosiasi krisotil internasional) yang terus berupaya menutupi fakta terus bertambahnya korban penyakit akibat asbes. Kelompok ini bekerja di badan-badan dunia melalui konvensi Rotterdam untuk mempengaruhi usulan memasukan chrysotile kedalam daftar material yang mengharuskan prior information consent (informasi yang jujur dan pertanggungjawaban).
Di Indonesia pelobi-pelobi ICA bekerja bersama asosiasi importir dan pengusaha asbes mempengaruhi kewajiban negara melindungi rakyat dari penyakit akibat asbes. Dana yang dikeluarkan kelompok ini tidak dapat dibilang kecil. Kelompok ilmuwan, media, bahkan hingga pemerintah dilobi dengan paparan informasi sepihak yang menguntungkan mereka. Jelang pertemuan konvensi Bassel, Rotterdam, Stockholm Mei 2023 nanti, kerja-kerja lobi telah diaktifkan menyasar banyak pihak. Tujuannya tidak lain adalah terus menjauhkan krisotil dari daftar PIC, agar impor dan pengolahan tetap bisa dilakukan demi peroleh keuntungan.
“Saya berharap tidak ada lagi korban akibat asbes. Kami mengharapkan penanganan yang layak dari pihak-pihak yang terkait bagi penderita penyakit akibat asbes” pesan Siti Kristina dihadapan delegasi konvensi Rotterdam di Jenewa tahun 2018. Pesan yang sama diperdengarkan oleh Subono, dan Sriyono di tahun berikutnya. Harapan korban makin sederhana, informasi yang benar dan jujur tentang bahaya asbes bagi masyarakat. Tapi bahkan pesan harapan yang sederhana ini harus berhadapan dengan besarnya kekuatan pengusaha.
Korban hanya punya kamu, sebagai kekuatan untuk menghidupkan harapan, agar taka da lagi yang ditinggalkan dan terlupakan.