GEMPA CIANJUR DAN PEMBELAJARAN DARI HANSHIN
Gempa Bumi 5,6 skala richter yang mengguncang Cianjur masih menyisakan duka. Setidaknya 321 orang meninggal, 11 orang hilang, 73.874 orang menungsi di 325 titik pengungsian (kompas.com). Bupati Cianjur mengatakan 3.500 rumah warga rusak (28/11).
Indonesia memang terkenal dengan solidaritasnya yang begitu kental dan cepat bereaksi dalam situasi kedukaan. Pelajaran besar yang terlihat dimasa pandemi covid 19 misalnya memperlihatkan bagaimana usaha-usaha bersama dilakukan publik untuk menjaga dan menyelamatkan lingkungannya. Begitu juga halnya dalam situasi kebencanaan. Tanpa perlu komando berlama-lama, berbagai upaya bantuan segera mengalir. Relawan berdatangan untuk membantu mengatasi dan memulihkan situasi normal.
Asbestos dan Bencana
Hampir 27 tahun yang lalu, 17 Januari 1995, gempa bumi besar terjadi di Hanshin, bagian Selatan perfektur Hyogo, Jepang. Gempa dengan guncangan 6,9 skala richter yang berlangsung 20 detik memakan korban meninggal 6.434 orang, 240.000 rumah hancur, demikian pula dengan gedung-gedung berinsulasi asbestos yang berada di kawasan industri Hanjin. Debu termasuk debu asbes berterbangan kesegala arah.
Jepang yang telah mengadopsi perjanjian internasional berkenaan dengan bahaya asbes jauh sebelum gempa besar Henshin terjadi, melakukan pengujian kualitas udara pasca gempa. Pengukuran kualitas udara yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup, membuktikan konsentrasi besar debu asbestos[1] yang disemburkan oleh setidaknya 3.740 ton produk bangunan mengandung asbes.
Apa yang tejadi setelahnya bencana gempa besar Hanshin adalah bencana lanjutan dengan peningkatan laporan korban penyakit meshotelioma yang disebabkan oleh asbestos. Laporan yang ditulis Furuya&Takahashi (2017) mengatakan pada periode 1987-2005 (18 tahun) terdapat 500 korban mesothelioma yang menerima kompensasi. Pada tahun 2005 (10 tahun setelah gempa besar) terlapor 500 kasus meshothelioma, dan tahun 2006 meningkat menjadi 1000 kasus. Kubota shock menjadi istilah yang dikenal setelah gempa besar tsunami debu asbestos. Kubota menunjuk industri besar pengolahan asbestos yang ikut hancur dalam tragedi gempa besar Hanshin dan menaburkan debu asbes berkonsentrasi besar di lingkungan.
Cerita tentang gempa besar hanshin dan tsunami debu asbestos ini masih terukir dan terngiang di Jepang. Banyak kebijakan lahir setelahnya sebagai penyikapan terhadap situasi kemungkinan terjadinya bencana yang hampir serupa. Bukan hanya tentang perawatan korban penyakit akibat asbes, kompensasi, bahkan desain infrastruktur, dan kebijakan pelarangan total asbestos di Jepang pun salah satunya dilatari oleh gempa besar ini.
Jepang, seperti halnya juga Indonesia berada di jalur gunung berapi dan struktur rapatan bumi yang hampir serupa. Kemungkinan terjadinya gempa dan gunung meletus di Jepang sama besarnya dengan apa yang mungkin terjadi juga di Indonesia. Dua negara yang sama-sama memiliki resiko kebencanaan yang hampir serupa.
Pembelajaran dari Bencana
Ketika tsunami terjadi di Aceh 2004 indonesia begitu tersadar dengan besarnya potensi korban dalam kebencanaan. Gempa Mentawai, Jogja, dan sejumlah tempat lainnya memberikan perkembangan pembelajaran mitigasi, dan penaganan kebencanaan bagi Indonesia.
Dalam 2 peristiwa bencana besar terakhir, likuifikasi di Sulteng, dan gempa di Lombok (NTB) pemerintah daerah bersama organisasi-organisasi kemanusiaan mendorong lahirnya kebijakan untuk mencegah bahaya asbestos. Dua ketetapan resmi pemerintah daerah dilahirkan untuk mencegah bahaya asbes di masa depan dengan menetapkan material bangunan tanpa asbestos dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Di tingkat nasional, organisasi kemanusiaan juga berhasil mendorong kebijakan kementerian untuk menjaga para relawan dari paparan asbestos yang berbahaya bagi pekerja kemanusiaan. Dalam pedoman pekerja kemanusiaan di wilayah bencana dipaparkan tentang bagaimana aktivis menangani pecahan asbes di lapangan, pemindahan/pengangkutan sampah material bangunan mengandung asbestos, bahkan hingga penggantian material bangunan asbes yang beresiko dari bangunan yang masih ada.
Kedepan kita perlu lebiih banyak belajar dari Jepang dan negara sejenis dalam memitigasi dan penanganan bencana khususnya berkenaan dengan keberadaan material bangunan mengandung asbestos. Indonesia masih mengimpor lebih dari 100.000 ton asbestos-krisotil di tahun lalu untuk diolah sebagai campuran pembuatan atap dan dinding mengandung asbes. Industri pengolahan asbestos pun masih terus mempekerjakan penduduk dan memberi paparan asbestos yang beresiko bagi kesehatan mereka.
Satu hal yang selalu terlewat dalam peristiwa kebencanaan adalah upaya untuk mengetahui situasi udara dilapangan. Hal ini tidak lain karena kebijakan negara masih permisif terhadap resiko asbestos. Jepang langsung menerjunkan Kementerian Lingkungan Hidupnya untuk memeriksa situasi lingkungan pasca bencana seperti di Hanshin dan Ledakan Reaktor nuklir Fukushima. Ini dilakukan untuk memeriksa kelayakan bekerja dan hidup manusia selanjutnya.
Indonesia perlu memikirkan metode yang tepat untuk memeriksa kelayakan lingkungan pasca terjadinya bencana. Kualitas udara dimana 15,77 persen atap rumah menggunakan asbestos, keberadaan gedung tua yang masih menggunakan insulasi berbahan asbestos dan lainnya, sangat berpotensi menyemburkan debu asbes dalam kebencanaan. Belum lagi persoalan belum adanya tempat pembuangan akhir yang aman bagi sampah material mengandung asbes.
Bencana memberi kedukaan, tapi pembelajaran didalamnya membuat kita dapat menghindar dari kedukaan berkelanjutan.
[1] https://www.env.go.jp/en/wpaper/1995/eae240000000045.html