K3 Sebagai Hak Asasi Manusia
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak” (Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945)
Hak untuk mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dijamin oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tidak hanya terbatas kepada hak atas akses pekerjaan dan upah yang layak, Jaminan sosial, kebebasan berserikat namun juga melingkupi hak atas keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), berangkat sehat pulang selamat.
Kembali mengutip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB, 1948, “Setiap orang berhak untuk hidup, bekerja… atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan… Setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya…”. Deklarasi ini menguatkan kembali hak kita para buruh, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dan meningkat harkat derajat kita dan keluarga kita sebagai manusia yang bekerja. Tak ada satupun pekerja yang harus sakit, terluka bahkan meninggal dunia karena pekerjaannya.
Perubahan teknologi, sosial, dan organisasi termasuk sistem status kerja di tempat kerja, serta globalisasi yang cepat, telah memperlihatkan munculnya risiko dan tantangan baru. Terlepas dari berbagai jaminan Undang Undang dan peraturan yang telah puluhan tahun ada, kemajuan yang tak terbayangkan dalam ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknologi, dan segala upaya khusus dalam konteks tertentu, hak semua pekerja atas kondisi kerja yang aman dan sehat sayangnya masih jauh dan lebih merupakan hak istimewa, daripada hak asasi manusia bagi setiap buruh.
Menurut perkiraan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), penyakit dan cedera terkait pekerjaan bertanggung jawab atas kematian 1,9 juta orang pada tahun 2016. Dalam laporan global ini juga disebutkan paparan polusi udara (partikel, gas, dan asap) di tempat kerja bertanggung jawab atas 450.000 kematian. Sementara itu terdapat 488 juta orang terpapar risiko bekerja dengan jam kerja yang panjang. Secara keseluruhan, lebih dari 745.000 orang meninggal tahun itu karena terlalu banyak bekerja yang mengakibatkan stroke dan penyakit jantung.
Penyakit dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan membebani biaya kesehatan, mengurangi produktivitas dan disisi lain dampak sosial serta ekonomi yang terkadang sebagian besar harus ditanggung oleh pekerja dan keluarga mereka yang menjadi korban. Disisi lain, penyakit akibat kerja atau yang berhubungan dengan pekerjaan sebagian besar tetap tidak terlihat dibandingkan dengan kecelakaan industri. Penyakit akibat kerja yang terkenal, seperti pneumokoniosis, tetap tersebar luas, sementara penyakit akibat kerja seperti gangguan mental dan muskuloskeletal (MSD), sedang meningkat.
Pekerja tidak diragukan lagi termasuk yang paling rentan terhadap paparan bahan beracun dan berbahya di tempat kerja. Para buruh, mereka yang paling pertama dan paling terpapar, terluka dan sakit. Di antara pekerja, ada yang bahkan lebih rentan dan kurang mendapat perlindungan yang memadai, seperti mereka yang bekerja di sektor tertentu, mereka yang hidup dalam kemiskinan dan pekerja usia subur.
Setiap pekerja memiliki hak untuk dilindungi dari resiko kecelakaan kerja, dan paparan racun B3 atau penyakit akibat kerja. Paparan zat beracun bagi pekerja memiliki efek riak – karena dapat juga mempaparkan kepada keluarga, komunitas, dan lingkungan. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, eliminasi bahaya adalah yang terpenting, bukan hanya sekedar spanduk spanduk berisi himbauan dan penyediaan alat pelindung diri seadanya.
Sementara banyak kemajuan telah dibuat dalam mengatasi tantangan untuk mencipatakan tempat kerja yang sehat dan aman, ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat kapasitas pencegahannya dalam sistem K3 nasional. Dengan upaya kolaboratif dari pemerintah dan organisasi pengusaha dan pekerja, perjuangan melawan “epidemi tersembunyi” ini harus menjadi salah satu gerakan utama dalam agenda nasional hingga ke tingkatan tempat kerja untuk keselamatan dan kesehatan kerja.