Covid-19 Sebagai Penyakit Akibat Kerja
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dan berbagai organisasi kesehatan lainnya telah sama-sama menyepakati tanpa keraguan terkait Coronavirus atau Covid-19 sebagai virus yang memiliki resiko penyebaran dan dampak secara global sehingga pada akhirnya dinyatakan sebagai pandemi. Sampai saat ini Coronavirus telah menginfeksi 210 Negara, tak terkecuali Indonesia.
Para pekerja harus tetap berangkat ke pabrik-pabrik karena roda ekonomi tidak bisa dijalankan jika semua orang berada di rumah saja. Para pekerja harus tetap memproduksi dan mensuplai kebutuhan masyarakat, terlebih lagi bagi para pekerja di sektor pelayanan kesehatan yang menjadi palang pintu terkahir dalam penanggulangan penyebaran Covid-19. Dalam pekerjaannya, Para pekerja ini harus melakukan kontak secara dekat dengan para pasien yang terinfeksi, terlebih di tempat kerja dengan fasilitas pencegahan dan alat pelindung diri yang kurang memadai.
Masih banyak hal yang belum jelas terkait pandemi ini, seperti kapan pandemi ini akan berrkahir, namun yang pasti, jaminan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada saat pandemi ini menjadi semakin penting. Besarnya resiko penyebaran Covid-19 menjadikan tempat kerja sebagai pusat penahanan dan mitigasi, dan para pekerja sebagai garda terdepan dalam upaya pemutusan penyebaran Covid-19. Perlindungan bagi para pekerja pun tidak terbatas hanya di lingkungan tempat kerja saja, namun juga dalam perjalanan berangkat dan pulang dari tempat kerja, maupun saat perjalanan dinas.
Selain langkah pencegahan seperti penerapan protokol kesehatan dan K3 yang harus dikedepankan, sebagai langkah rehabilitatif para pekerjapun harus mendapatkan jaminan akses pelayanan kesehatan, hak cuti sakit tanpa kehilangan upah, status pekerjaan, hingga kompensasi, Sehingga para pekerja yang kesehatannya terdampak Covid-19 karena pekerjaaannya tidak harus menjadi semakin terpuruk dalam persoalan finansial ketika sembuh.
Salah satu syarat agar para pekerja mendapatkan hak rehabilitatif ini adalah dengan adanya undang-undang atau jaminan hukum yang menyatakan Covid-19 sebagai Penyakit Akibat Kerja. Dengan klasifikasi pekerja yang terinfeksi oleh Covid 19 terjadi di tempat kerja atau memiliki hubungan dengan pekerjaannya. Isu ini yang menjadi salah satu desakan dari sebagian besar para pekerja dan serikat buruh atau serikat pekerja di seluruh dunia yang menuntut agar Covid-19 secara hukum yang mengikat dinyatakan sebagai Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Langkah untuk menyatakan Covid-19 sebagai PAK Ini juga akan memperkuat langkah-langkah kesehatan masyarakat yang ada dan yang akan berkembang dalam beberapa bulan dan tahun mendatang. Namun apakah Covid-19 dapat dinyatakan sebagai Penyakit Akibat Kerja di Indonesia?
Perpres No. 7 Tahun 2019 Tentang Penyakit Akibat Kerja
Peraturan terkait (PAK) Penyakit Akibat Kerja dan klasifikasi Jenis-Jenis Penyakit yang berhubungan dengan paparan di tempat kerja di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja. Pasal 1 menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja. Selanjutnya pada Pasal 2 menyatakan Jaminan Kecelakaan Kerja, yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Selanjutnya pelaksanaan program JKK di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Covid-19 baru teridentifikasi pertama kali pada akhir Desember 2019 di Wuhan, China dan merebak hingga ke seluruh dunia. Sementara itu, kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan oleh pemerintah pada 2 Maret 2020. Sebagai virus jenis baru tentunya Covid-19 secara spesifik dan jelas tidak tercantum dalam PERPRES no. 7 Tahun 2019 tentang PAK ini. Pada lampiran Perpres ini tentang Jenis PAK, No 1. Bagian C no 9 yang menyatakan “penyakit yang disebabkan oleh faktor biologi lain di tempat kerja yang tidak disebutkan di atas, di mana ada hubungan langsung antara paparan faktor biologi yang muncul akibat aktivitas pekerjaan dengan penyakit yang dialami oleh pekerja yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metode yang tepat”. Keterangan dalam Perpres ini tentunya dilapangan akan mendapatkan kesulitan karena setidaknya membutuhkan kesepakatan atau konsesus terlebih dahulu dari para ahli-ahli kesehatan kerja terkait pembuktian secara ilmiah dengan metode yang sesuai dengan disiplin ilmu kesehatan kerja terkini.
Konvensi ILO No 121 Tahun 1964 Tentang Manfaat Cidera Kerja
COVID-19 dan gangguan stres pascatrauma, jika terjadi karena melalui paparan kerja maka dapat dianggap sebagai penyakit akibat kerja. Sejauh pekerja yang menderita dari kondisi ini dan tidak mampu untuk bekerja, sebagai akibat dari kegiatan yang terkait dengan pekerjaan, mereka harus berhak atas kompensasi tunai dan perawatan medis dan tunjangan lainnya yang berkaitan, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Manfaat Cidera Kerja, 1964 ( 121). Begitupun anggota keluarga tanggungan (pasangan dan anak-anak) dari mereka yang meninggal karena penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan paparan COVID-19 berhak mendapatkan tunjangan tunai atau kompensasi, serta hibah atau tunjangan kematian.
Jika Covid-19 akhirnya dinyatakan sebagai Penyakit Akibat Kerja
Jika pada akhirnya pemerintah menyatakan dukungannya untuk melindungi para buruh dengan salah satunya adalah memberikan pernyataan secara hukum bahwa Covid-19 sebagai penyakit akibat kerja. Maka merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, para pekerja yang terdampak PAK yang berhubungan dengan Covid-19 setidaknya akan mendapatkan beberapa fasilitas seperti pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis hingga tunjangan uang tunai jika mengalami kecacatan atau bahkan meninggal dunia.
Namun seandainya Covid-19 dinyatakan sebagai PAK, masih ada beberapa tantangan besar yang sebenarnya menjadi masalah klasik terkait pemberian keadilan bagi para korban kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Diantaranya, yang pertama adalah penegakan diagnosis penyakit karena paparan di tempat kerja ditentukan oleh para dokter dan atau ahli kesehatan kerja, setidaknya para dokter dan ahli ini harus memiliki pengetahuan yang baik berdasarkan hasil penelitian terbaru terkait pandemi Covid-19. Para dokter kesehatan kerja ini juga harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Saat ini untuk penegakan diagnosis masih merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 tahun 2016 tentang Penyelengaraan Penyakit Akibat Kerja menjelaskan aspek penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
Kedua, Kasus terkait penyakit akibat kerja harus di laporkan oleh pihak perusahaan agar dapat dip roses oleh Dinas Pengawas Ketenaga kerjaan atau BPJS Ketenaga kerjaan agar bisa di tindak lanjuti, komitmen perusahaan untuk bertanggung jawab kepada para pekerjanya menjadi persoalan atau dilemma tersendiri karena setiap laporan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja juga akan dapat berdampak buruk bagi citra perusahaan yang akan dianggap tidak menerapkan sistem protokol kesehatan dan atau manajemen K3. Perusahaan terkait harus bersiap menerma konsekuensi terhadap teguran ataupun sanksi administratif yang akan diterima di kemudian hari.
Dan mungkin yang terakhir adalah peran serikat pekerja atau serikat buruh dalam melakukan pengawasan dan advokasi terkait kasus penyakit akibat kerja. Memperjuangkan hak atas tempat kerja yang sehat dan aman tidak semata-mata hanya terlibat aktif dalam P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut Permenaker RI Nomor PER. 04/MEN/1987. Namun serikat pekerja juga arus memberikan perhatian kepada hak kompensasi bagi pekerja yang terdampak. Menurut konvensi ILO 121 tentang Konvensi Tunjangan Kecelakaan Kerja, 1964 [Jadwal I diubah pada 1980] (No. 121), para pekerja tersebut harus mendapatkan kompensasi atas kerusakan (finansial). Setidaknya mereka harus diberi kompensasi atas hilangnya pendapatan dan untuk biaya pengobatan. Meski kita memahami beratnya tugas dan tanggung jawab serikat pekerja dalam memperjuangkan hak para anggotanya untuk kepastian status kerja dan upah yang layak.
Pandemi ini seharusnya menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga bagi setiap pihak, para stakeholder di tempat kerja seperti manajemen, dokter okupasi atau kesehatan kerja, dan serikat pekerja untuk mengetahui informasi dan hak-hak legal mereka terkait pandemi Covid-19 ini. Serta sama pentingnya bahwa lembaga-lembaga negara yang relevan seperti Kementrian ketenagakerjaan untuk memulai program yang konkrit dalam rangka memberikan perlindungan bagi para pekerja dan pemberi kerja yang terdampak. Tidak hanya sebatas memberikan surat edaran atau rekomendasi yang tidak memiliki memiliki kekuatan hukum, dan memperlihatkan sikap abai dan lepas tanggung jawab atas kemungkinan pelanggaran hak-hak buruh yang dapat terjadi, menambah beban buruh yang menjadi korban terlebih pada masa pandemi ini.
Konsensus antara para stakeholder ini harus dicapai dengan sistem yang demokratis dan mewakili kepentingan setiap pihak untuk meningkatkan respons terhadap COVID-19 yang akan memastikan bahwa hak-hak hukum pekerja terkait dengan kesehatan dan keselamatan ditegakkan. Di masa depan ketika pandemi ini terlewati, kita berharap memiliki sistem yang lebih efektif dan efisien tidak hanya terkait penanganan pandemi di tempat kerja namun juga jaminan hak-hak bagi para pekerja di seluruh Indonesia.
Penulis : Ajat Sudrajat