Mendesak Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)

Jakarta Pusat, 14 Februari 2025 – Bertepatan dengan Hari Kasih Sayang atau Hari Valentine, Koalisi Sipil untuk UU PPRT melaksanakan konferensi pers di Komnas Perempuan dengan mengundang perwakilan dari lembaga agama dan organisasi masyarakat sipil. Selama 21 tahun, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memperjuangkan pengesahan RUU PPRT. DPR, dari rezim ke rezim, yang terus menunda pengesahan RUU PPRT berarti tidak mengakui dan menghormati kerja-kerja perawatan.
R. D. Marthen L.P. Jenarut sebagai perwakilan dari Konferensi Waligereja Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap pengesahan RUU PPRT, mengingat pekerja rumah tangga menjadi kelompok yang rentan mengalami manipulasi, perlakuan sewenang-wenang, dan eksploitasi. Mereka menilai, kerja-kerja kelembagaan agama seperti KWI tidak melulu hanya mengurusi urusan bidang spiritual, tetapi juga di saat bersamaan peduli dengan isu sosial dan kemanusiaan.
“Gereja Katolik Indonesia selalu hadir bersama siapa pun untuk menunjukkan keberpihakan terhadap hal-hal seperti ini karena prinsip di dalam ajaran Gereja Katolik Indonesia selalu merujuk pada beberapa hal ini. Yang pertama, setiap kegiatan dan hal harus berpegang pada prinsip menjunjung tinggi harkat martabat manusia, keadilan, solidaritas, dan kesejahteraan. Itu prinsip etis moral yang selalu ditawarkan oleh Gereja Katolik,” tambah Romo Marthen.
Senada dengan Romo Marthen, Pendeta Rev Ethika S. sebagai perwakilan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengungkapkan bahwa dasar keyakinan mereka adalah bahwa setiap manusia adalah makhluk mulia ciptaan Tuhan.
“Apa yang kami sebut sebagai homo imago dei, ‘manusia adalah gambar Allah yang mulia’. Tentunya manusia yang dimaksud termasuk juga saudara-saudara kita yang menjadi pekerja rumah tangga. Lalu, Gereja juga, sesuai amanat Kitab Suci, terpanggil untuk memiliki kepekaan dan kepedulian bagi mereka yang miskin, hina, lemah, yang ada di pinggiran termarginalkan.”
“Alangkah baiknya memang dimulai dari kesadaran mengakui bahwa mereka adalah pekerja. Sebagai pekerja, tentulah dibutuhkan pengakuan atas hak-hak mereka yang sangat mendasar: Apakah mereka sudah punya kontrak kerja, jam kerja yang manusiawi, perlindungan hukum dan perlindungan sosial? Karena itulah PGI mendorong hak-hak yang sangat mendasar itu lewat pengesahan RUU PPRT.”
PGI juga akan melakukan aksi pastoral dalam rangka membangun keluarga yang kuat dan tangguh dengan apa yang dicita-citakan negara dengan berbasis keluarga, sebagaimana pekerja rumah tangga memiliki kontribusi penting dalam menciptakan keluarga yang sehat dan tangguh.
PP Aisyiyah mengapresiasi tim koalisi yang terus mengawal RUU PPRT sehingga memperjuangkan hak-hak nilai kemanusiaan dan keadilan.
“Sebagaimana disebut dalam sebuah Hadits, ‘Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering.’ (HR Ibnu Majah). Aisyiyah menilai bahwa ketidakadilan terhadap pekerja rumah tangga merupakan bentuk kezaliman struktural yang harus dihapuskan lewat kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan,” jelas Dr. Ummu Salamah (PP Aisyiyah).
Selain mendorong pengesahan RUU PPRT oleh Parlemen, Aisyiyah juga mendorong umat Islam untuk memperlakukan pekerja rumah tangga sesuai dengan ajaran agama.
“Kepada umat Islam, Aisyiyah mengajak untuk memperlakukan pekerja rumah tangga dengan adil, sebagaimana Nabi Muhammad memperlakukan para pekerja di rumahnya dengan kasih sayang. Memperjuangkan hak pekerja rumah tangga adalah jihad sosial sebagaimana Islam mengajarkan untuk membela kaum tertindas,” desak Ummu.
Senada, Nur Achmad sebagai seorang pengasuh pesantren di Bogor sekaligus Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyerukan bahwa Islam menegaskan bahwa kemanusiaan haruslah dihargai, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 70, Surat At-Taubah ayat 105, dan Surat An-Nahl ayat 97.
“Pekerja, apa pun jenis pekerjaannya, salah satunya pekerja rumah tangga, adalah pekerjaan yang mulia yang harus diberikan penghargaan, jaminan keselamatan, jaminan kesejahteraan, jaminan perlindungan, baik urusan ekonomi, agama, diri sebagai manusia harus diberikan oleh para pihak.”
KUPI menolak adanya pembenaran akan penindasan, penghilangan hak ekonomi, hak martabat, hak sosial, hak keselamatan diri dan martabat, termasuk juga perbudakan manusia, penindasan, pelecehan seksual, dan kekerasan seksual bagi para pekerja rumah tangga yang masih dapat kita temukan sehari-hari.
Selain lembaga agama, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT turut mengingatkan tentang perjuangan mendesak pengesahan RUU PPRT, yang pada periode pemerintahan sebelumnya sudah sampai di tahap daftar inventarisasi masalah (DIM) dan menerima surpres dari Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Jumisih, Staf Advokasi JALA PRT, menyayangkan kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di Kelapa Gading yang terjadi dua hari lalu. Menambah panjang daftar kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Ia berharap pengesahan RUU PPRT dapat mengurangi risiko kekerasan berbasis relasi kuasa yang dilakukan pemberi kerja kepada pekerja rumah tangga ke depannya.
Ia menekankan bahwa prinsip perjanjian kerja dalam RUU PPRT “tidak semengerikan yang terpublikasi”. RUU PPRT tidak hanya akan berpihak pada PRT, tetapi juga kepada pemberi kerja. Menambah Jumisih, Eka Ernawati sebagai perwakilan dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai pengesahan RUU PPRT dapat membantu pendataan pekerja rumah tangga oleh pemberi kerja. Ia menyoroti masalah selama ini bahwa pendataan dalam rukun tetangga (RT) belum mencakup tentang informasi tentang siapa dan di mana seseorang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Fanda Puspitasari dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mendorong DPR untuk menjadikan Hari Cinta Kasih ini sebagai momentum untuk menunjukkan keberpihakan dan kasih sayangnya kepada rakyat yang tertindas, termasuk lewat pengesahan RUU PPRT.
Ajeng Pangesti, sebagai perwakilan dari Perempuan Mahardhika, mengkritisi unsur kekeluargaan yang sering kali digunakan untuk merendahkan gaji, jam kerja tanpa batas, dan juga untuk menutupi aib kekerasan yang dilakukan pemberi kerja kepada pekerja rumah tangga.
Selain kepada Parlemen, Ajeng menyorot kerja-kerja pemerintahan Prabowo-Gibran dalam 100 hari kerja yang mengundang banyak kritik, terutama tidak adanya tanggapan serius tentang kekerasan dan femisida yang terus terjadi. Alih-alih, pemerintah sibuk dengan pernyataan tentang perluasan sawit, efisiensi anggaran, dan program Makan Bergizi Gratis yang sama sekali tidak menyentuh kondisi rentan pekerja rumah tangga.
Pada akhir periode DPR sebelumnya, RUU PPRT diumumkan menjadi draf yang di-carry-over. Maka itu, JALA PRT mendesak seluruh anggota legislatif DPR periode 2024–2029, terlebih dalam Komisi XIII yang membidangi Reformasi Regulasi dan Hak Asasi Manusia, untuk memberikan dukungan dalam pengesahan RUU PPRT tanpa alasan penundaan apa pun.
JALA PRT dan Koalisi Perempuan Indonesia menyatakan mereka sangat membuka hati dan pikiran jika ada anggota legislatif yang butuh penjelasan lebih lanjut dan urgensi dari pengesahan RUU PPRT, jam kerja, klasifikasi jenis pekerjaan, perlindungan sosial, dan kekhawatiran tentang pengupahan pekerja rumah tangga yang tertulis dalam draf aturannya. Perempuan Mahardhika juga mendesak pengesahan RUU PPRT oleh parlemen yang tidak dapat dinafikan kembali dengan alasan “baru belajar”, “baru 100 hari bekerja”, atau “belum paham” karena sudah banyak pekerja rumah tangga yang menjadi korban.
Konferensi pers ini adalah salah satu bagian dari Pekan Peringatan Hari PRT Nasional 2025: open mic bersama anggota DPR lintaspartai (12 Februari), live YouTube: Bahas RUU PPRT (13 Februari), konferensi pers (14 Februari), dan aksi jalan bareng PRT dari Sarinah ke Taman Aspirasi, Jakarta (15 Februari).
Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional adalah peringatan yang lahir pada 2007 sebagai refleksi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga anak yang dialami Sunarsih berusia 14 tahun pada 2001. Ia adalah korban perdagangan paksa di Surabaya, mengalami kekerasan berlapis, sampai berujung kematian.