32 Tahun, Keadilan untuk Marsinah

·

·

Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi:

“Kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”

Sapardi Djoko Damono, Dongeng Marsinah

(Bandung, 8 Mei 2025) Tiga puluh dua tahun telah berlalu sejak tubuh tak bernyawa Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk. Namun hingga hari ini, detak perjuangannya terus menggema: menuntut keadilan yang tak kunjung tiba. Marsinah adalah buruh perempuan, aktivis serikat pekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Sidoarjo.

Bersama kawan kawan buruh PT CPS, Marsinah melakukan aksi unujuk rasa hingga mogok kerja pada 3 – 4 Mei 1993. Setidaknya ada 12 tuntutan terkait hak dasar buruh yang disodorkan Marsinah dan rekan-rekan buruh lainnya. Dimulai dari Kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh, Asuransi Tenaga Kerja yang ditanggung perusahaan, Penghitungan lembur sesuai peraturan Keputusan Menteri, Jaminan kesehatan karyawan, Kenaikan uang makan dan transportasi, Tunjangan Hari Raya (THR) satu bulan gaji sesuai dengan imbauan pemerintah, Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum, Tunjangan cuti hamil yang tepat waktu, Upah karyawan baru disamakan dengan yang sudah setahun bekerja, Peniadaan pencabutan hak karyawan yang sudah diberikan, Pengusaha dilarang memutasi, mengintimidasi, dan mem-PHK karyawan yang menuntut haknya dan yang terakhir adalah Bubarkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

 Pada 5 Mei, ia dipanggil ke Koramil Sidoarjo dan tak pernah kembali lagi. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan dengan luka-luka penyiksaan brutal, termasuk di area genital. Negara tidak hanya gagal menuntaskan kasus ini, tetapi juga membiarkan aparat militer bebas dari pertanggungjawaban. Penyelidikan negara tidak pernah menyentuh TNI secara serius. Justru beberapa buruh dipaksa “mengaku” di bawah penyiksaan, lalu dibebaskan tanpa kejelasan keadilan.

Para buruh perempuan pada peringatan Hari Buruh Internasional di Taman Cikapayang, Bandung (1 Mei 2025)

Hari ini, 32 tahun berlalu, apa yang menjadi tuntutan Marsinah dan Kawan-kawan buruh PT CPS masih relevan hingga hari ini. Kita para buruh masih berjuang untuk upah yang layak, ketidakpastian status kerja dengan menuntut penghapusan sistem outsourcing, Jaminan Sosial, Kesehatan dan keselamatan kerja, Hak Maternitas hingga kebebasan berserikat.

Pembunuhan Marsinah bukan sekadar soal hilangnya satu nyawa, namun ini merupakan manifestasi bentuk brutal dari kekerasan berbasis gender, Femisida. Marsinah dibunuh karena ia adalah perempuan dan menolak tunduk demi memperjuangkan haknya. Ini bukan sekadar hilangnya satu nyawa, melainkan manifestasi dari sistem patriarki yang menindas perempuan kelas pekerja, disokong oleh militerisme dan negara yang abai. Negara gagal menyelesaikan kasus ini. Tidak ada satupun petinggi militer yang diadili. Penyidikan mandek, bahkan buruh-buruh lain dipaksa membuat pengakuan palsu di bawah penyiksaan. Negara justru membiarkan militer terus menjadi alat represi dalam urusan sipil dan hubungan industrial.

Pada peringatan May Day tahun ini, Presiden Prabowo Subianto berjanji memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi Marsinah, kita bertanya: Apa arti gelar tanpa keadilan? Siapa pelaku pembunuhan Marsinah? Siapa yang bertanggung jawab atas femisida ini?. Tidak cukup menjadikan Marsinah sebagai simbol, sementara warisan kekerasan yang membunuhnya tetap dilanggengkan.

Hari ini pula, negara kembali membuka jalan bagi militer untuk masuk ke ruang-ruang sipil melalui UU No. 3 Tahun 2025, perubahan dari UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam pasal Operasi Militer Selain Perang (OMSP), militer kini memiliki legalitas untuk “menanggulangi aksi mogok buruh” membuka pintu kekerasan yang sama seperti 32 tahun lalu.

Keberaniannya adalah simbol perlawanan buruh perempuan yang tak lekang oleh waktu. Ia mewakili suara mereka yang terus dipinggirkan—buruh perempuan yang tak mendapat cuti haid dan hamil, tak memiliki akses ke fasilitas menyusui dan daycare, tak mendapat asupan gizi layak, dipaksa bekerja dalam ruang yang tak aman dan tak sehat. Mereka dihisap oleh sistem kontrak dan outsourcing, dibayar dengan upah murah, dan diintimidasi ketika berserikat.

Marsinah adalah pengingat abadi bahwa perlawanan tak boleh padam.

Jasamu abadi, Marsinah. Api perjuanganmu terus menyala.


Latest Posts