Solidaritas dan Kolaborasi: Advokasi Korban Penyakit Akibat Asbes (Bagian 2)
Tulisan ini adalah bagian ke-2 dari laporan kunjungan perwakilan Indonesia ke Australia untuk berbagi pengalaman dan peningkatan kapasitas terkait advokasi penghapusan penyakit akibat asbes. Untuk membaca bagian 1 (klik ini) :
Advokasi Berbasis Empiris
Kunjungan ke Australia juga memberikan pelajaran penting tentang advokasi berbasis empiris yang dilakukan oleh masyarakat Australia terhadap bahaya penyakit akibat asbes. Advokasi yang demikian ini digerakkan pada awalnya oleh komunitas korban asbes dengan landasan simpati dan kehendak besar korban untuk memperoleh tanggung jawab industri dan negara. Namun tidak berhenti dalam gerakan simpati, mereka terus mengembangkan diri untuk menjadikan gerakan advokasinya menjadi gerakan berbasis empirik.
Korban penyakit akibat asbes sebagai penggerak utama gerakan advokasi memperlihatkan kekuatannya justru dengan kesediaannya memberi donasi dari hasil pembelaan kasus dan menyediakan dirinya untuk pengembangan penelitian ilmiah yang lebih mendalam. Dari pertunjukan kekuatan merekalah para donator lainnya ikut serta dalam gerakan, dan semangat para ilmuwan untuk terus meneliti segala segi yang dirasa dibutuhkan untuk advokasi penyakit akibat asbestos.
Hadirnya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh jaringan ADSA dan ASEA sebagai penopang advokasi membuat advokasi yang dilakukan semakin solid. Bukti-bukti ilmiah yang dibutuhkan untuk mendukung advokasi hukum disadari menjadi sangat penting. Hal inilah yang dilakukan oleh para peneliti untuk terus menyediakan sumber-sumber referensi ilmiah dalam advokasi.
NCARD dan Cancer Clinic yang menjadi salah satu lembaga berjejaring ADSA dengan segala sumber daya yang dimilikinya menjadi penopang penting dalam gerakan advokasi. Apalagi dengan hadirnya ASEA sebagai lembaga yang dihadirkan oleh Undang-undang federal.
Advokasi berbasis empirik yang dilakukan masyarakat Australia menghadapi bahaya asbes membuahkan banyak hal positif. Selain menjadi penopang kemenangan dalam advokasi hukum hak korban, riset-riset yang dilakukan juga memberi landasan bagi negara untuk membentuk perundang-undangan untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyakit akibat asbestos.
Dalam kunjungan ke NCARD dan Cancer Clinic di Perth delegasi LION Indonesia bertemu langsung peneliti dan melihat fasilitas penelitian yang dimiliki sebagai penopang advokasi dan pemajuan ilmu pengetahuan. Dengan adanya lembaga-lembaga penelitian yang demikian ini, maka advokasi juga bisa bermakna membangun kesadaran yang jauh lebih mendalam bagi publik berkenaan dengan bahaya asbestos.
Hasil dari advokasi berbasis empirik ini terlihat jelas dalam publikasi-publikasi ADSA dan ASEA. Publikasi ilmiah digunakan juga untuk kepentingan penyampaian informasi pencegahan dan penanggulangan asbes yang masih dipakai serta sampah asbes di lingkungan masyarakat. Bukan hanya itu, advokasi berbasis empirik yang dilakukan ternyata juga membuat riset-riset swasta-komersil juga makin berkembang.
Dalam konferensi yang dilaksanakan di Blue Mountain, terlihat banyak lembaga riset komersil yang mengembangkan penelitian untuk mencegah masyarakat dari bahaya penyakit akibat asbes. Ada riset pendeteksi produk mengandung asbestos yang dapat dilakukan dengan cepat, ada produk hasil riset memanfaatkan artificial intelligence guna mendeteksi dan memetakan hotspot wilayah yang terpapar asbestos, belum lagi berbagai peralatan dan teknologi pengamanan diri untuk pencegahan penyakit akibat asbes, serta banyak varian produk hasil riset lainnya.
Dari kunjungan ini, semakin membuktikan bahwa advokasi, riset, dan industri berbasis kebutuhan akan terus terhubung dan berkembang. Keyakinan lama bahwa industri mengikuti pasar lambat laun makin terbantahkan dengan hidupnya industri berbasis kebutuhan publik. Seperti halnya dalam kebutuhan masyarakat untuk hidup sehat tanpa pajanan asbes, nyata-nyata membuat berkembangnya bisnis kesehatan yang sejalan.
Pentingnya Kebijakan Formal
Menarik mengikuti konferensi selama 2 hari di Blue Mountain. Sebuah kota yang dikelola pengembangannya oleh tenaga professional. Bukan hanya menitikberatkan pada sisi kemanfaatan ekonomi, para professional pengelola kota juga mempertimbangkan kehidupan manusia dan lingkungan yang berkelanjutan. Planetary Health dipilih sebagai tema pembangunan kota dengan maksud pengembangan kota perlu memperhatikan kelestarian ruang hidup manusia dan kesehatan manusia sekaligus didalamnnya.
Blue Mountain adalah salah satu kota di New South Wales yang secara regulasi menerapkan aturan ketat pencegahan bahaya penyakit akibat asbes. Asbestos management toolkit merupakan upaya manajemen kota untuk mengadopsi kebijakan asbestos yang dimiliki negara bagian New South Wales. Asbestos dilarang digunakan, namun sisa-sisa penggunaan asbestos yang marak di masa lalu masih berpotensi menjadi sumber penyakit akibat asbes bagi warga. Untuk itulah toolkit manajemen asbestos di kota Blue Mountain di pakai sebagai landasan untuk mengelola keberadaan asbestos dan kemungkinan masuknya asbestos bersamaan dengan produk-produk infrastruktur.
Kebijakan non-asbestos yang diterapkan negara federal diimplementasi di negara-negara bagian hingga ke kota-kota di setiap negara bagian. Hal yang demikian ini mengindikasikan kehendak warga untuk hidup sehat tanpa pajanan asbes. Keberpaduan antara kepedihan yang dihasilkan dari penggunaan asbes, kehendak untuk hidup sehat, dan pembangunan yang bermanfaat terlihat menjadi dasar penerapan kebijakan formal pengelolaan asbestos di lingkungan.
Kesamaan kehendak yang demikian juga pada saatnya mampu mendesak bisnis untuk turut serta dalam memelihara kehendak baik tersebut. Industri mengembangkan model bisnis yang tidak lagi melibatkan asbestos bahkan mengembangkan lini bisnis sesuai kehendak publik untuk tidak terjangkit penyakit akibat asbes. Kesadaran bahwa penyakit akibat asbes akan merugikan bukan hanya individual melainkan bisnis bahkan keuangan negara sudah menjadi kesadaran bersama dan dituangkan dalam kebijakan formal negara.
Masyarakat yang sadar bahaya asbes membuahkan advokasi berbasis empirik. Bisnis yang sadar bahaya asbes mengembangkan lini bisnis berbasis riset untuk mencegah asbes dan memelihara kesehatan. Pemerintah yang sadar bahaya asbes menghasilkan kebijakan untuk melindungi publiknya dari bahaya asbes dan meminta bisnis yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat. Pelajaran besar bagi Indonesia.
Harapan Untuk Indonesia
Melihat bagaimana kemajuan pencegahan dan penanganan penyakit akibat asbes di Australia memang sangat mengagumkan. Untuk negara yang sangat serius sejak 1979 dan memperoleh aturan undang-undang pada tahun 2013 hal ini menjadi cermin bagi Indonesia.
Butuh waktu 34 tahun advokasi para korban penyakit akibat asbes dan simpatisan gerakannya untuk mendapatkan akomodasi dari negara. Gerakan advokasi bahaya penyakit akibat asbes dari pihak yang konsern di Australia tumbuh dan besar karena semua mau terlibat dan mengambil peran dalam konsentrasi bidangnya masing-masing. Semua terkoneksi oleh asosiasi kelompok bernama ADSA.
Kondisi yang demikian memberi pelajaran perlunya konsistensi advokasi. Selain konsistensi diperlukan adanya kepemimpinan dalam gerakan yang mampu menggerakkan seluruh potensi jaringan yang dimilikinya. Kepemimpinan ide dalam gerakan advokasi yang diperlihatkan ADSA dapat menjadi pembelajaran penting membangun gerakan advokasi yang berjalan hingga puluhan tahun.
Advokasi yang dimulai dari rasa empati mendalam dirasakan tidak cukup untuk menjadikannya sebagai gerakan yang sistematis berumur panjang. Gerakan advokasi perlu di dukung juga oleh jaringan yang menyediakan fakta-fakta empiris untuk dihadirkan untuk publik maupun dihadapan penegakan hukum. Saling dukung antar komunitas dalam gerakan advokasi menjadi hal penting yang perlu dihadirkan untuk mencapai tujuan.
Majunya riset dan teknologi pencegahan bahaya penyakit akibat asbes di Australia tidak lain karena adanya kehendak bersama masyarakat untuk mencegah diri dari bahaya asbestos. Dari kehendak inilah kesadaran terbangun dengan alamiah ilmiah. Bencana Wittenoom yang pernah mereka hadapi membuat semua mata terbuka tentang bahaya asbes.
Indonesia memang bukan negara yang menambang dan memproduksi sendiri beragam produk mengandung asbes. Indonesia mengimpor asbestos sejak tahun 1950an dan mengolahnya menjadi berbagai produk khususnya produk untuk keperluan infrastruktur. Pengakuan akan adanya korban akibat bekerja dengan paparan asbes memang sudah ada sejak 2017. Namun kesadaran yang sama besarnya belum muncul secara merata di kelembagaan negara maupun di publik. Perlu ada upaya lebih serius untuk membangun pemahaman dan kesadaran yang demikian.
Masih butuh waktu panjang bagi Indonesia untuk dapat mendekati pencapaian Australia untuk melarang asbes dan mencegah penyakit akibatnya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan hal demikian akan dapat dicapai jika advokasi penyakit akibat asbes terus diperbesar melibatkan banyak pihak dengan ikhtiar saling dukung satu-sama lainnya.
Terima kasih untuk Union Aid Abroad APHEDA, UnionsWA, Sigture, ABAN (Asia Ban Asbestos Network), ADSA, ASEA, NCARD, Cancer Clinic, Blue Mountain City Council, dan semua pihak yang telah memberi kesempatan Indonesia belajar banyak dari Australia untuk mencegah penyakit akibat asbes.