Solidaritas dan Kolaborasi: Advokasi Korban Penyakit Akibat Asbes (Bagian 1)

Pendahuluan

Penyakit akibat pajanan serat asbes telah terdeteksi di Indonesia. Asbestos yang di Impor dalam nama pasar krisotil atau asbestos telah hadir di Indonesia sejak 1950an. Namun belum ada satupun orang yang didiagnosis menderita penyakit akibat menghirup serat debu berbahaya ini. Baru pada tahun 2017 akhirnya lembaga resmi negara mau mengakui adanya kompensasi bagi pekerja yang mengidap penyakit akibat asbes.

Sejak awal, impor asbes Indonesia yang berasal dari Rusia, Kazakhstan, China, Brazil, dan Kanada mengenakan 0% bea masuk dan pajak yang rendah (maksimal 10%). Indonesia sebagai pasar besar dunia memberi ruang yang luas dan nyaman bagi industri pengolahan asbes untuk meraup untung. Puluhan tahun beroperasi, ribuan pekerja diterpa langsung serat debu pembuat kemalangan, namun tidak satupun dilaporkan mengidap penyakit akibat asbes.

67 negara kini sudah melarang asbestos mulai dari yang parsial hingga yang benar-benar melarang asbestos masuk kenegaranya. Indonesia masih memberi ijin masuk bagi krisotil yang 90 persennya dipakai untuk industri produsen bahan konstruksi seperti atap semen bergelombang asbes, pipa semen, hingga partisi. Makin luasnya negara-negara yang telah melarang asbes membuat negara pemilik tambang dan produsen asbes mengirimkan produknya ke negara lain yang memiliki peraturan yang lebih longgar, salah satunya Indonesia.

Upaya mengadvokasi penyakit akibat asbes di negara berkembang menghadapi tantangan besar tanpa hadirnya solidaritas dan kolaborasi dengan negara yang sudah jauh lebih dulu melarangnya. Maka tepat kampanye “asbestos : not here not anywhere” dirumuskan sebagai kampanye kolaboratif dari negara yang telah melarang untuk mengikutsertakan negara-negara yang masih mengimpor asbes dalam jumlah yang masih besar.

Australia, negara yang dahulu memiliki tambang besar krosidolite kini sudah melarang seluruh jenis asbes secara total. Bukan hanya memiliki peraturan pelarangan, Australia juga memiliki jaringan kerja pelarangan yang dapat menjadi sumber pembelajaran bagi negara-negara lainnya untuk mulai berpikir ikut serta melarang asbes. Serikat buruh, perkumpulan korban, perkumpulan peneliti, pengambil kebijakan dan berbagai komunitas turut serta dalam upaya menjadikan kebijakan pelarangan asbes di Australia benar-benar memiliki kekuatan aplikatif dan bermanfaat bagi warganya.

Kegiatan mengunjungi Australia bagi negara berkembang untuk mempelajari bagaimana implementasi pelarangan asbes, dan lebih jauh penanganan penyakit akibat asbes menjadi sangat penting. Australia selain memiliki pengalaman membangun kebijakan pelarangan asbes juga memiliki pengalaman yang baik dalam membangun jaringan kerja kolaboratif bukan hanya untuk melarang asbes namun juga menangani laporan penyakit akibat asbes.

Atas dasar hal inilah kunjungan LION Indonesia ke Australia dilakukan pada 15-22 Mei 2022, sebagai salah satu perwakilan dari Indonesia dan INA-BAN, LION Indonesia bertemu berbagai organisasi mulai dari serikat pekerja, lembaga korban, lembaga penelitian, dan menghadiri konferensi Asbestos Safety & Management di Blue Mountain.

Agenda Kunjungan Australia

Atas kerjasama Union Aid Abroad Apheda dan UnionsWA diagendakan kunjungan ke beberapa lembaga untuk dapat melihat, berdiskusi dan mempelajari langsung bagaimana Australia membangun sistem penanganan penyakit akibat asbestos. Beberapa lembaga yang dikunjungi adalah lembaga ADSA (Komunitas Masyarakat Penyakit Asbes Australia), lembaga riset kanker dan asbestos, serta serikat pekerja.  Agenda lengkap pertemuan lembaga tersebut adalah sebagai berikut:

  • Cancer Council, 46 Ventnor Avenue, Perth
  • ADSA, 219 Main Street, Osborne Park
  • Clinic (219 Main Street, Osborne Park)
  • Monggo Restaurant, 683C Beaufort St, Mount Lawley.
  • NCARD, QQ Block, QEII Medical Centre, 6 Verdun St, Nedlands
  • Unions WA
  • Conference in Blue Mountains

Keseluruhan agenda kunjungan dilaksanakan 15-22 Mei 2022.

Lessons Learned

Advokasi Sebagai Kerja Kolaborasi

Pertemuan pertama dengan Asbestos Disease Society Australia (ADSA) yang didirikan sejak 1979 merupakan pertemuan yang cukup mengesankan. Pertemuan dengan Rose Marie & Robert Vojakovic sebagai pendiri ADSA memberi kesan yang mendalam tentang konsistensi advokasi yang mereka lakukan. Keduanya telah mendedikasikan diri untuk melakukan advokasi, membangun kesadaran, dan mendukung korban penyakit akibat asbes sejak pendirian ADSA.

Pertemuan Surya Ferdian (LION Indonesia) dan dr Anna Suraya dengan Asbestos Disease Society Australia (ADSA) yang diwakili oleh Rose Marie.

ADSA memberikan layanan yang variatif. Mulai dari pencatatan pajanan asbes yang dirasa-dilaporkan oleh siapapun yang merasa terpapar asbes. Menjadi penasehat (advisor) baik bagi masyarakat terpapar asbes maupun untuk kebijakan di pemerintah. Advokasi hukum hak korban penyakit akibat asbes. Hingga memberi layanan medis bagi korban pajanan asbes. Mengembangkan penelitian terkait asbestos di Australia.

Pertemuan dengan Rose Marie dan Robert Vojakovic banyak mengisahkan bagaimana awal mula inisiasi ADSA dan kisah tentang tambang asbes (crocidolite) di Wittenoom. Tambang asbes yang pada awalnya memberi masyarakat Australia barang kebutuhan pembangunan (konstruksi) yang murah dan akhirnya banyak digunakan di sana. Namun lambat laun, tambang ini pun menghasilkan petaka berupa banyaknya orang yang mengidap penyakit akibat asbes. Bukan hanya pekerja yang berhubungan langsung dengan tambang, melainkan juga pekerja lainnya yang menggunakan produk yang mengandung asbes.

Dalam penjelasannya, Rose Marie juga mengatakan bahwa ADSA berhubungan dengan pihak-pihak professional lainnya dalam menjalankan aktivitasnya. Ada advokat yang menjalankan advokasi hukum, ada dokter dan tenaga penunjang medis seperti radiolog yang melaksanakan pemeriksaan kesehatan, ada ilmuwan yang terus mengembangkan penelitian beserta laboratorium penunjangnya.

Diskusi bersama Surya Ferdian (LION Indonesia) dan dr Anna Suraya dengan Robert Vojakovic

Cukup menarik melihat bagaimana data individu terpapar dan mengidap penyakit akibat asbes didokumentasikan dan dipelihara dengan baik oleh ADSA. Dengan adanya dokter residen yang bekerja untuk ADSA, Dr Gregory Deleuil, setiap penderita penyakit akibat asbes dapat terus dipantau penyakitnya secara regular.

Simon Millman, anggota parlemen negara bagian Western Australia yang pernah bekerja untuk ADSA dalam melakukan advokasi gugatan korban penyakit akibat asbes memberi kesaksian bagaimana ADSA membangun jaringan yang luas dalam advokasinya. Simon menegaskan bagaimana upaya advokasinya di dukung oleh riset dan bukti-bukti ilmiah yang disediakan oleh ilmuan yang berada dalam jaringan ADSA. Kami menemui Simon Millman sebelum menghadiri undangan makan siang bersama Bill Jouhnston (Menteri Dalam Negeri), dan Konsular Indonesia di Australia.

Pertemuan perwakilan Indonesia, Vietnam dan Laos dengan Simon Millman, anggota parlemen negara bagian Western Australia yang pernah bekerja untuk ADSA
Makan siang bersama perwakilan Indonesia, Vietnam dan Laos dengan Bill Jouhnston (Menteri Dalam Negeri), dan Konsular Indonesia di Australia.

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Prof. Richard Lake dan tim dari National Center for Asbestos Related Disease (NCARD). Dijelaskan bagaimana saling dukung antara ADSA, Pendanaan Serikat Buruh, dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terkait penyakit akibat asbes. Dengan berbagai konsentrasi keilmuan dan dukungan teknologi, NCARD, menjadi penopang scientific based advocacy bagi jaringan advokat ADSA. Kolaborasi ADSA dan Asbestos Safety and Eradication Agency (ASEA) yang demikian juga disampaikan Melissa Ledger, Matt Govorko, and Melissa Treby dalam pertemuan di Cancer Clinic di Perth.

Diskusi bersama Prof. Richard Lake (kanan berbaju biru tua) dan tim dari National Center for Asbestos Related Disease (NCARD)

Kerja kolaboratif ADSA juga dinyatakan oleh Federasi serikat pekerja UnionsWA melalui keterangan yang disampaikan Lachlan dan Owen White dalam diskusi informal bersama LION Indonesia. Mereka menyampaikan bagaimana kerja serikat buruh untuk mengembangkan pendanaan (fund raising) guna mendukung kerja ADSA dan juga jaringan kerja mereka di Internasional untuk advokasi penyakit akibat asbes dan hak-hak pekerja.

Diskusi bersama ADSA Federasi serikat pekerja UnionsWA

Pengalaman panjang Australia dengan banyaknya korban penyakit akibat asbes yang hadir dari pekerja tambang Wittenoom dan pekerja dengan produk mengandung asbes, membuat mereka sangat serius dalam penanganan penyakit akibat asbes. Kerja advokasi yang dilakukan bukan hanya soal berhadapan dengan hukum dan kompensasi melainkan juga terus mengembangkan pengetahuan yang dapat memberi kepercayaan bagi warganya tentang bahaya pajanan asbes.

Kerja kolaboratif yang diinisiasi oleh masyarakat berujung pada terbentuknya undang-undang asbestos safety and eradication agency act tahun 2013. Kolaborasi kerja yang diinisiasi masyarakat pada awalnya ditanggapi oleh pemerintah dengan sangat serius karena banyak pihak yang juga ikut terlibat di dalamnya. Butuh waktu setidaknya 34 tahun untuk masyarakat Australia memperoleh perhatian serius dari pemerintah yang membuat undang-undang federalnya. Hampir setara dengan munculnya penyakit akibat akibat pajanan asbes bagi individu.

(berlanjut ke tulisan bagian ke 2)