Satpam Kampus Keluhkan Jam Kerja Panjang dan Upah Murah
Setiap harinya Asep bekerja selama 12 jam dalam sehari, dan 48 jam dalam seminggu. Ia mulai berangkat kerja pada pagi hari yaitu dari jam 7 pagi hingga pukul 7 malam. Asep bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu universitas yang berada di Bandung. Meskipun ia bekerja selama 12 jam lamanya, ia dan juga teman-teman satpam lainnya tidak mendapatkan uang lembur.
“Padalah menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, tidak boleh melebihi 8 jam kerja, sementara kami kerja selama 12 jam. Seharusnya kalau memang ada yang mempekerjakan selama 12 jam, yang 4 jam harusnya masuk lembur dan seharusnya ada biaya lembur, tapi ini engga ada,” keluhnya saat ditemui di halaman kampus, Minggu (5/5/2019).
Merujuk pasal 77 dalam Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, satpam yang bekerja selama 6 hari dalam sepekan, semestinya hanya boleh bekerja 7 jam kejra per hari atau 40 jam kejra seminggu. Sementara satpam yang bekerja 5 hari dalam sepekan hanya boleh bekerja 8 jam kejra per hari atau 40 jam dalam seminggu.
Yang sering dikeluhkan oleh Asep dan teman-teman satpam yang lainnya juga adalah upah yang diberikan tidak sesuai dengan UMK atau UMR, bahkan jauh dari UMR. “UMK Kodya kan lebih dari tiga juga, sementara kami kurang dari tiga juta, jauh,” tegasnya.
Upah jauh dari UMR, dan juga sering tidak tepat waktu sering ia rasakan. Padahal, menurutnya sistem pengupahan di tempat kerjanya sudah menggunakan sistem perol, artinya upah langsung bisa masuk melalui ATM pribadi. Tidak memandang itu hari libur atau hari biasa. “Kalau pun saat jadwal pengupahan itu hari libur, mestinya gajian bisa sebelum jadwal yang sudah ditentukan, bukan malah maju,” ungkapnya.
Ia menceritakan, dengan pemberian upah yang sering telat, upah tidak sesuai UMR, juga dengan ia yang mempunyai tanggungan empat orang anak, dan semuanya sekolah. Ditambah dengan istri yang tidak bekerja, sangat tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Namun menurutnya itu sudah risiko. Sampai berita ini diterbitkan pun, ia masih belum mendapatkan upah dari perusahaan.
Selain itu, permasalahan lainnya adalah, karena bekerja dari pagi hingga malam, Asep dan teman-teman lainnya sering mengalami gangguan kesehatan, seperti pusing, hipertensi, dan lainnya. Namun ia juga mengatakan bahwa itu sudah menjadi risiko ia bekerja.
Tak hanya itu, satpam yang bekerja di sana, menurut Asep tidak ada medical check up. “engga ada cek kesehatan, ada BPJS juga kadang selalu bermasalah,” ungkapnya. Padahal kesehatan kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari hak-hak buruh untuk memperoleh perlindungan dan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Asep berkata bahwa semua satpam dan juga cleaning service di tempatnya bekerja terikat dengan perusahaan outsourcing. Sehingga satpam rentan terkena pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
“Ia juga menambahkan bahwa hampir setiap PT Outsourcing yang dialami satpam selalu merugikan anggota. Dan akhirnya selalu bermasalah baik dengan user (pengguna, dalam hal ini kampus), anggota, bahkan negara sekalipun,” papar Asep.
Menurutnya lagi, tidak ada alasan secara jelas mengapa selalu telat dibayar upah, itulah yang menjadi kesulitan mereka menjadi outsourcing.
“Sementara ia kerja di kampus, setiap hari berhubungan dengan kampus. Tapi ketika ada masalah, kita tidak bisa komplain ke kampus. Kalau pun bisa, kita dilempar untuk mengajukan komplain ke PT Outsourcing, ditambah saat ini PT-nya jauh, berada di Bekasi,” tutupnya.
Reporter: Puji Fauziah
Penulis: Puji Fauziah