Yang Penting Di-Sanguan (Menyoal Hak atas Makanan Bergizi bagi Buruh)
“Seperti makanan untuk bebek“, ujar Mawar (bukan nama sebenarnya) saat menggambarkan jatah makan para buruh yang didapatkannya ketika lembur ataupun shift kerja malam. Menu makanan yang dimaksud yakni nasi yang terlihat kusam, sepotong tempe atau tahu goreng, serta sedikit sayur kangkung berbau tak segar, yang sesekali diganti dengan mie bihun.
Selama hampir 7 tahun bekerja sebagai buruh kontrak di pabrik manufaktur bordir di Kabupaten Bandung, tak pernah ia mendapatkan jatah makan yang layak, apalagi variatif. Pabrik tempatnya bekerja tersebut seolah hanya sekadar menyelesaikan kewajiban atas tuntutan peraturan terkait penyediaan makanan bagi buruh yang lembur ataupun melakukan shift malam1.
Dari jatah makan itu, setidaknya Mawar berharap agar tidak terjadi insiden keracunan seperti yang dialami 4 buruh di Kota Bandung2. Fenomena ini sering terjadi di banyak pabrik, yang barang tentu merupakan ancaman serius bagi kesehatan para buruh, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Seingat Mawar, ia jarang atau bahkan tak pernah sama sekali menyantap makanan dari pabrik. Kebutuhan akan asupan energi agar bisa kuat bekerja memaksanya untuk membeli makanan di luar pabrik. Namun muncul pula kekhawatiran akan kehigienisan makanan yang dijual di jalanan atau di luar area pabrik. Sementara itu, warung makan yang lebih baik (dengan sajian makanan bergizi dan higienis) terkadang dipatok dengan harga lebih mahal.
Karena itu, Mawar sering membuat bekal sendiri di kontrakannya. Ia terpaksa menyisihkan gajinya yang pas-pasan untuk belanja bahan makanan yang layak. Waktu istirahat pun dikorbankan demi mempersiapkan bekal makanan yang akan ia santap saat lembur atau pada shift malam.
“Yang penting mah di-sanguan, biar kenyang!”, ujar Mawar menjelaskan menu bekal yang selalu disiapkannya. Sanguan merupakan Bahasa Sunda sekaligus kebiasaan beberapa masyarakat sehari-hari yang kurang lebih bermakna apapun lauknya, yang penting menggunakan nasi.
Tenaga buruh yang dikuras pabrik tanpa cukupnya asupan gizi, tak hanya berdampak pada kesehatan fisik melainkan mempengaruhi mental pula. Sedangkan hak Mawar untuk bersosialisasi, memulihkan atau rekreasi, atau sebut saja healing, terbentur akan kemampuan finansial yang sebatas UMK Kab. Bandung. Akhirnya waktu di luar jam kerja ia gunakan untuk beristirahat di kontrakan, demi memulihkan tenaga agar kembali siap bekerja pada esok hari.
Shift kerja malam ataupun lembur merupakan salah satu kondisi khusus pekerja yang berpengaruh pada anjuran Angka Kecukupan Gizi (AKG)3, yang merupakan hak bagi buruh seperti Mawar. Kondisi khusus lainnya dapat ditentukan oleh faktor resiko lingkungan kerja yang berbeda tingkatan, dari ringan hingga berat. Resiko lingkungan kerja tersebut di antaranya seperti suhu lingkungan kerja, dampak bahan kimia, paparan radiasi, psikologis hingga resiko biologis seperti parasit dan mikroorganisme.
Kondisi khusus lainnya yang mempengaruhi Angka Kecukupan Gizi bagi buruh perempuan seperti Mawar, yakni saat masa haid. Pada rentang waktu tersebut, buruh perempuan rentan mengalami anemia. Ihwal lainnya yakni pada kondisi tubuh selama masa kehamilan serta menyusui.
Mari sejenak membayangkan kondisi kerja seorang buruh di perkebunan atau pertanian yang bekerja di luar ruangan pada siang hari dengan suhu tinggi. Asupan air minum yang cukup tentu saja dibutuhkan agar tak dehidrasi, kemudian sayuran dan buah juga diperlukan untuk menopang energi. Belum lagi resiko tempat kerja yang memaksa mereka berdampingan dengan bahan kimia tertentu seperti pupuk atau pestisida, yang sangat mungkin memicu keracunan kronis. Paparan kimia tersebut dapat menurunkan nafsu makan, hingga mengakibatkan terganggunya metabolisme tubuh dan fungsi pencernaan. Hal itu berdampak pula pada berkurangnya berat badan.
Selain itu, kondisi kerja di luar ruangan rentan akan paparan parasit dan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit seperti cacingan, sehingga kondisi tersebut membuat buruh perkebunan dan pertanian membutuhkan tambahan gizi lebih dibandingkan dengan kebutuhan energi dan protein pada kondisi kerja di dalam ruangan.
Setidaknya, sepertiga hari-nya para buruh dihabiskan dengan memeras tenaga dan pikirannya di pabrik, termasuk waktu berangkat dan pulang. Maka dorongan untuk menjaga dan membangun kesehatan bagi para buruh perlu diintervensi oleh pabrik.
Pabrik mesti menyediakan fasilitas ruang makan atau kantin4. Pun fasilitas yang higienis juga diperlukan demi menyuplai kebutuhan makan dan minum yang memenuhi Angka Kecukupan Gizi, yang variatif serta gratis agar para buruh tetap sehat dan produktif.
Setiap majikan wajib memenuhi hak atas asupan makan dan minuman yang bergizi bagi para buruh. Buruh seperti Mawar yang selama ini menanggung resiko kerja di pabrik demi memutar roda surplus bagi para majikan, tak seharusnya memohon-mohon demi hak atas makanan yang sehat dan bergizi yang memang merupakan kewajiban pabrik.
Pemenuhan hak atas asupan makanan dan minuman yang bergizi bagi para buruh tidak hanya sebatas untuk meningkatkan derajat kesehatan buruh dan penerapan syarat atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) saja. Melainkan juga mengurangi komorbiditas atau sakit karena penyakit akibat kerja, mengurangi absensi, dan meningkatkan produktivitas.
Layaknya perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh pabrik, penyediaan makanan yang bergizi bagi buruh pun malah sering diremehkan. Apalagi menyoal penyediaan ruang makan dan kantin yang hanya sebatas anjuran. Lemahnya pengawasan dan rendahnya sanksi kepada pabrik seolah jadi jalan mulus untuk mengabaikan hak-hak buruh demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pada hakikatnya, hak atas makanan yang sehat dan bergizi merupakan hak dasar yang harus dijamin, khususnya bagi para buruh. Hak Asasi Manusia bersifat universal dan saling bergantung. Sehingga menjamin gizi yang baik bagi buruh merupakan realisasi hak-hak dasar lainnya, seperti hak atas kesehatan, hak untuk hidup, hak atas air, serta hak atas pendidikan.
[1] Pasal 7 ayat 1 KEP.102 /MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, di mana perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban : (a). membayar upah kerja lembur; (b). memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; (c). memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.
[2] https://bandung.kompas.com/read/2023/07/22/142530478/44-karyawan-perusahaan-di-bandung-diduga-keracunan-makanan
[3] Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia yang selanjutnya disingkat AKG adalah suatu nilai yang menunjukkan kebutuhan rata-rata zat gizi tertentu yang harus dipenuhi setiap hari bagi hampir semua orang dengan karakteristik tertentu yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis, untuk hidup sehat. Pasal 1 PERMENKES RI No 28 Tahun 2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia.
[4] Perusahaan yang memiliki 50 – 200 tenaga kerja dianjurkan untuk menyediakan ruang/tempat makan, sedangkan bagi perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 200 orang, diminta menyediakan kantin. Anjuran ini berdasarkan surat edaran menteri tenaga kerja no. SE.01/MEN/1979 .
Penulis : Saefulloh
Editor : Trimurti.id