Pemasaran Sesat Industri Asbes
Di akhir tahun 2022 publik Indonesia digemparkan dengan berita tentang produk sirup obat mengandung kimia berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG) yang menyebabkan kematian anak akibat gagal ginjal. Protes publik membesar meminta tanggung jawab produsen bahan kimia dan produsen obat. Tidak berhenti disana, sejumlah kalangan juga meminta BPOM memeriksa produk lain yang menggunakan EG dan DG. Plastik PET (mengandung EG dan DG) yang banyak digunakan industri air mineral dalam kemasan (AMDK) menjadi sasaran protes. Sudah barang tentu AMDK melakukan perlawan, bahkan menggunakan momen tersebut untuk berbalik menjadi keuntungan bagi mereka.
Kampanye kemasan berulang dengan dalih green business digaungkan perusahaan AMDK, seakan-akan dengan plastik berulang mereka sudah bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Mereka memasarkan diri sebagai perusahaan ramah lingkungan padahal tidak benar-benar mengambil langkah yang sama besarnya untuk meminimalkan dampak lingkungan dari produk dan aktivitas produksinya.
Inilah yang disebut “greenwashing” yang dipopulerkan oleh ahli lingkungan Jay Westerveld dalam sebuah esai (1986) yang mengkritik gerakan “menghemat handuk” di hotel-hotel pada masa itu.
Bluewashing Industri Asbes
Apa yang yang dilakukan oleh AMDK dengan greenwashing-nya juga dilakukan oleh industri pengolahan asbestos di Indonesia dalam bentuk lainnya, Bluewashing. Bluewashing sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemasaran menipu dengan seolah menampilkan komitmen perusahaan terhadap praktik sosial dan ekonomi yang bertanggung jawab.
Praktek bluewashing ini biasa digunakan untuk memanipulasi seolah perusahaan membantu pencapaian pembangunan seperti Sustainable Develeopment Goals (SDG), atau Millenium Development Goals (MDG) di masa lalu atau tujuan pembangunan lainnya. Praktek yang demikian ini terjadi bahkan dengan legitimasi laporan audit kepatuhan environmental, social and governance (ESG) perusahaan.
Industri asbes sejak awal membuat kampanye pemasaran dengan pesan pokok “bahan bangunan murah dan berdaya tahan lama.” Kampanye yang dilakukan ini tampil seolah sebagai penolong bagi masyarakat dunia ketiga untuk dapat menikmati pembangunan dengan biaya rendah dan berdaya tahan lama. Atap asbes bergelombang yang masih dipasarkan sampai hari ini dengan pesan “murah” dan “tahan lama” adalah bukti nyata praktik bluewashing. Bahkan bagi pekerjanya sendiri ini menempatkan posisinya sebagai penolong dengan menciptakan lapangan kerja untuk penghidupan pekerja.
Kalau greenwashing berkaitan dengan komitmen lingkungan, maka bluewashing lebih berkaitan dengan sosial dan ekonomi. Terlepas bahwa industri asbestos berkomitmen terhadap UN Global Compact sebagai komitment etis atau tidak, praktik pemasaran mengelabui yang sama juga dipraktikkan oleh banyak perusahaan demi pencitraan untuk mengeruk keuntungan.
Keberhasilan bluewashing industri asbes di Indonesia juga dapat dilihat dari adanya peraturan negara tentang “penggunaan aman asbes” dan memungkinkan produknya memperoleh sertifikasi standar nasional Indonesia (SNI). Pemasaran yang intinya adalah membangun mindset juga dilakukan oleh bluewashing industri asbes yang menargetkan bukan hanya konsumen melainkan juga pekerja bahkan pemerintah.
Terbaru, industri asbes di Indonesia bahkan melobi pemerintah melalui kementerian untuk terus menolak asbestos-krisotilmasuk dalam daftar material yang memerlukan prior information consent – PIC (tanggung jawab dan informasi yang tepat) pada daftar konvensi Rotterdam. Ilmuwan, praktisi kesehatan, bahkan banyak uang dikeluarkan oleh industri ini demi menjaga klaim bahwa usahanya memajukan sosial dan ekonomi Indonesia.
Timothy J. McClimon dalam tulisannya di Forbes (3/10/22) bahkan dengan keras mengkritik bentuk baru praktik pemasaran Bernama whitewashing. Praktek yang menurutnya menggabungkan pengelabuan antara greenwashing yang seolah ramah lingkungandan bluewashing seolah mendukung kemajuan sosial dan ekonomi.
Karsinogenik Asbestos
Sebagai informasi, IARC (International Agency for Research on Cancer) menyatakan bahwa semua jenis asbes bersifat karsinogenik (memicu kanker). IARC tidak membedakan jenis asbes mana yang bersifat karsinogenik karena dari hasil penelitiannya semua jenis asbes karena sifatnya akan memicu kanker dan penyakit lainnya.
Di Indonesia, jenis asbes krosidolite telah dengan tegas dilarang melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.03/MEN/1985. Namun untuk jenis krisotile masih dibolehkan dengan pembatasan penggunaan. Pembatas ini kembali dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2001 yang memasukan Krisotil dan Krosidolit sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun dan mengharuskan adanya pemberitahuan bahaya.
Krisotil dengan kode CAS (Chemical Abstracts Service) #: 12001-29-5 dan Krosidolit dengan CAS 12001-28-4, memerlukan pengumuman bahaya sebagaimana dapat dilihat di dalam publikasi resmi badan perburuhan internasional (ILO). Di dalam negeri, kedua CAS itu dipakai juga sebagai ketentuan larangan terbatas impor yang ditetapkan oleh Dirjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan. Dalam CAS tersebut terdapat rujukan langkah yang perlu dilakukan oleh importir agar memberi tanda yang jelas tentang kebahayaan krisotil dan krosidolit.
Di dunia, 64 negara telah melarang asbestos masuk dan digunakan di negaranya. Pelarangan yang demikian bukan tanpa alasan, negara ingin warganya sehat dan terlindungi dari penyakit akibat asbes. Karena itulah di dalam perundingan-perundingan konvensi Rotterdam hanya tinggal tidak lebih jari satu tangan, yang masih bersikeras untuk tidak memasukan krisotil kedalam PIC (Prior Information Consent) konvensi Rotterdam.
Masih sedikit pihak yang berupaya melawan Bluewashing industri asbes dengan terus menyampaikan informasi yang lengkap tentang bahaya asbes. Lion Indonesia adalah salah satu kelompok penyeimbang bluewashing dan membuktikan adanya korban penyakit akibat asbestos lewat advokasi 12 tahun bersama para dokter okupasi dan aktivis lingkungan.