Terpaksa Bekerja Minim K3
Sebuah media daring nasional mempublikasikan berita foto berjudul “Jangan Ditiru! Pekerja Ini bekerja Tanpa Alat Pelindung Diri,” Kamis, 25 Juli 2019. Foto yang ditampilkan adalah foto seorang pembersih kaca yang bekerja dengan skylift wire rope diketinggian tanpa menggunakan helm, body harness dan pelindung diri lainnya.
Sekilas, Tidak ada masalah dalam judul yang ditampilkan. Setidaknya bagi mereka yang merasa diri lebih tinggi dari pekerja. Menjadi pengamat paling tidak. Ajakan untuk tidak meniru pekerja yang bekerja tanpa alat pelindung diri sekilas memang terasa tepat. Siapapun tentu akan mewantikan hal baik kepada orang lain.
Dalam sebuah pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang diselenggarakan oleh Local Initiatives for OSH Network, seorang peserta menerangkan betapa menjadi terbatasnya pergerakan kerja saat benar-benar menggunakan alat pelindung diri (APD) yang benar-benar lengkap sesuai standar keamanan dan keselamatan kerja. Walaupun mereka semua sepakat bahwa kerja harus dilakukan dalam situasi dan kondisi yang aman untuk dilaksanakan.
Seorang ahli kedokteran K3 menganjurkan “yang harus diamankan itu harimaunya bukan manusianya yang dipenjarakan,” seraya menganalogikan situasi kerja tidak aman dengan “harimau” dan pekerja yang dipenjarakan sebagai penggunaan APD. Hal ini merujuk pada hirarti tertinggi kesehatan dan keselamatan kerja, potensi dan resiko bahaya yang harus dihilangkan.
Kembali ke berita foto yang dilansir detik.com tersebut, pertanyaannya apakah pekerja yang menjadi objek foto tersebut benar-benar dengan sadar memilih bekerja tanpa APD diketinggian?
Kita patut meragukan jika pekerja tersebut memang sadar memilih menghadapi resiko meregang nyawa ketimbang menggunakan APD yang walaupun menghambat, namun bisa mengamankannya. Tentu tidak satupun pekerja yang dengan sukarela menyerahkan harta terbesar satu-satunya demi upah, bekerja di kondisi yang tidak aman. Namun mengapa pekerja seperti di foto tersebut “berani” mengambil keputusan tetap bekerja walaupun tidak aman?
“Bakat”
“Bakat ku butuh” dalam percakapan warga di tatar Sunda, hal ini dimaknai sebagai desakan atas kebutuhan. Pekerja dengan upah yang jauh dari layak dihadapkan pada kebutuhan biaya hidup sehari-hari yang harus dibiyainya. Termasuk anggota keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dalam pilihan-pilihan yang mengandung resiko, pekerja umumnya memilih untuk tetap bekerja dengan harapan upahnya akan dapat mengatasi resiko lainnya. Kebutuhan hidup dirinya dan keluarga setidaknya diharapkan akan terpenuhi apabila kerja tetap dilakukan walaupun resiko yang dihadapinya tidak terbilang ringan. Apalagi jika disandingkan dengan adagium “lahir, jodoh, dan mati di tangan tuhan,” maka tak ayal sekalipun kondisi kerja yang dihadapinya sangat berbahaya, pekerja akan tetap memenuhi kewajibannya.
Dengan upah yang terbilang pas-pasan, pilihan untuk tetap bekerja dalam kondisi tidak aman adalah pilihan yang jauh lebih menggiurkan. Ketimbang harus berhadapan dan berargumentasi dihadapan manajemen perusahaan. Membayangkan resiko dipecat dan anggota keluarga kelaparan, jauh lebih mengerikan ketimbang resiko kematian yang diyakini sebagai takdir dari Tuhan.
Lapangan kerja yang terbatas untuk dimasuki oleh kebanyakan angkatan kerja kita disadari membuat persaingan menjadi semakin ketat. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian banyak dan sering terjadi menjadi momok menakutkan bagi pekerja. Apalagi jika menimbangnya dengan kurikulum pendidikan yang diciptakan untuk memenuhi pasar tenaga kerja Industri. Kondisi yang serba menekan kemanusiaan para pekerja inilah yang juga membuat pilihan semakin terbatas. Bekerja dalam kondisi tidak aman pun tetap akan dilakukan jika sudah demikian. Bahkan para pekerja rela mengkonsumsi suplemen (jamu, vitamin, dan lainnya) demi menghidupkan industri. Bukan untuk mengembalikan tenaga kemanusiaannya.
Sistem dan Aturan
Walaupun Indonesia sudah memiliki Undang-undang kesehatan dan keselamatan kerja (1970) dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya, peraturan tersebut belum cukup tajam untuk menghukum perusahaan yang abai terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
Berkenaan dengan gambaran foto berita foto dipublikasikan detik.com, Indonesia sebenarnya memiliki aturan teknis Permenaker Nomor 9 Tahun 2016 yang menjadi standar minimum keselamatan kerja diketinggian. Sasaran utama peraturan tersebut pun jelas adalah pengusaha yang mempekerjakan orang diketinggian. Namun mengapa pengabaian aturan oleh perusahaan tidak ditindak tegas oleh aparat hukum?
Sudah tidak terbilang alasan kurangnya jumlah pengawas dan mekanisme paska UU Pemerintahan Daerah dikemukakan oleh pejabat pengawas ketenagakerjaan dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan. Pengawasan yang lebih banyak berharap dari laporan kepatuhan oleh perusahaan sangat sulit diharapkan untuk dapat secara tepat menerapkan aturan yang ada.
Dengan kondisi yang demikian, makin mudah lah pengusaha untuk tidak taat peraturan. Apalagi sanksi yang dikenakan dalam kasus-kasus ketidakpatuhan pun terbilang sangat ringan. Ketimbang patuh aturan yang berkonsekuensi meningkatkan belanja perusahaan untuk sistem keamanan kerja, perusahaan lebih memilih untuk membangun kepatuhan para pekerja dengan ancaman PHK dan sejenisnya. Perlu diingat bahwa pemberi kerja diberikan hak besar dan legal sebagai pelapor kondisi kerja dalam peraturan yang ada. Sementara pekerja baru bisa diterima laporannya jika sudah dilegalisasi perusahaan.
Dalam sistem hubungan kerja yang tidak seimbang, kondisi yang dihadapi pekerja disaat perusahaan bisa dengan seenaknya tidak mematuhi aturan, tentu akan berdampak sangat besar. Jangan harapkan pekerja bisa menolak bekerja pada situasi beresiko. Bahkan untuk menyampaikan bahaya situasi yang dihadapinya saat bekerja saja mereka lebih memilih menggerutu atau hanya menjadikannya obrolan sesama. Kesadaran (consciousness) yang terbangun di dalam benak pekerja adalah “menjaga keberuntungan karena sudah bekerja.” Karena itu pekerja akan seminimal mungkin memposisikan dirinya sejajar dengan manajemen/pengusaha dan membangun kepatuhan mutlak. Hingga satu saat mereka akan meledakkannya pada kondisi yang sudah sama sekali tidak dapat diterimanya.
Serikat Buruh, Serikat Pekerja
Harapan pekerja untuk dapat sejajar dengan pengusaha/manajemen adalah tatkala mereka menjadi anggota serikat buruh atau serikat pekerja. Kesempatan pekerja untuk secara sejajar memelihara hubungan kerja yang produktif dan ramah K3 menjadi terbuka disaat ada serikat buruh, serikat pekerja di perusahaan.
Bukan perkara mudah membangun serikat buruh/pekerja di perusahaan. Hambatan yang harus dilalui pun bukan main-main. Lebih mudah bagi kita untuk menemukan serikat buruh/pekerja yang dihalangi oleh pengusaha dan kroninya, ketimbang serikat buruh yang dapat menjadi mitra strategis perusahaan (istilah yang digandrungi pemerintah) dalam penciptaan dan pemeliharaan kondisi sehat dan aman untuk bekerja.
Tidak sedikit serikat pekerja yang harus berhadapan dengan preman atau orang bayaran perusahaan yang mengancam eksistensinya. Di lokasi-lokasi kawasan industri misalnya, kita akan mudah menjumpai perseteruan serikat pekerja dengan oknum organisasi masyarakat (ormas) dengan berbagai jaketnya. Bahkan di beberapa lokasi, oknum ormas jauh lebih dipercaya untuk merekrut tenaga kerja ketimbang lembaga profesional apalagi serikat pekerja.
Sialnya, dalam peraturan K3 bahkan hingga ke peraturan teknis, peran serikat buruh atau serikat pekerja sama sekali tidak dikenal. Satu-satunya harapan pekerja untuk sejajar dalam bernegosiasi dengan perusahaan terkait K3 justru tidak diberi ruang sedikitpun untuk terlibat. Bahkan tidak ada aturan yang secara tegas mengharuskan perusahaan/pengusaha untuk melibatkan serikat pekerja/serikat buruh untuk terlibat dalam SMK3. Padahal serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi legal dalam hubungan industrial yang diresmikan oleh undang-undang.
Memasukkan kepentingan kesehatan dan keselamatan kerja di dalam aturan perjanjian kerja bersama memang harus diakui masih langka dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh. Kondisi demikian ini memang perlu di kritik. Namun perlahan mulai tumbuh dan menguat kesadaran serikat untuk memasukan kepentingan kesehatan dan keselamatan kerja.
Di serikat buruh/serikat pekerja inilah harapan untuk membangun kembali consciousness buruh agar berani menolak bekerja di situasi tidak aman sebagaimana amanat undang-undang dapat disematkan. Dengan demikian kita tidak akan temui lagi foto seperti berita detik.com dan jika masih ada maka judul berita pun berubah “Dipaksa Perusahaan! Pekerja ini Bekerja Tanpa Alat Pelindung Diri.”