Tapera : Tambahan Penderitaan Rakyat
Seolah tidak cukup dengan Undang-Undang (UU) Omnibuslaw Cipta Kerja yang semakin menggerus jaminan upah yang layak dan kepastian status kerja bagi para buruh. Di penghujung masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 (PP No 21/2024) tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) . Aturan terbaru yang disahkan pada pada 20 Mei 2024 ini akan menjadi tambahan beban bagi Buruh sebesar 2,5% dan Pemberi Kerja sebesar 0,5% dari upah sebulan .
Berbagai penolakan terhadap PP Tapera tidak hanya oleh para buruh namun juga para pengusaha. Meski Tapera ini adalah tabungan yang nantinya akan dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi Peserta. Namun, bagi para buruh potongan yang bersifat wajib ini menambah beban iuran wajib lainnya seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan termasuk tarif pajak penghasilan atau PPh 21.
Iuran | Jumlah Iuran | ||
Pemberi Kerja | Pekerja/buruh | ||
1 | BPJS Kesehatan | 4% | 1% |
2 | BPJS Ketenagakerjaan | ||
Jaminan Hari Tua; | 3,7% | 2% | |
Jaminan Kematian Jaminan | 0,3%; | – | |
Jaminan Kecelakaan Kerja (berdasarkan Tingkat risiko) | 0,24 -1,74%; | – | |
dan Jaminan Pensiun | 2% | 1% | |
Total | 10.24 – 11,74% | 4% |
Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok saat ini dapat naik begitu saja secara tiba-tiba. Pada 1 Juni 2024, Pemerintah menaikkan harga eceran beras medium yang tadinya Rp10.900 naik jadi Rp12.500 dan beras medium jadi Rp14.900 per kg. Kenaikan harga beras ini dengan alasan fluktuasi harga komoditas global dan perubahan iklim yang mempengaruhi produksi pangan nasional.
Aturan Tapera akan semakin menggerus hak atas upah yang layak karena akan mengurangi pendapatan buruh. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) sangat rendah pada tahun ini. Di Jawa Barat, rata-rata besaran kenaikan UMK di hanya sebesar Rp 78.909, atau 2,50 persen. Bahkan ada beberapa kota dan kabupaten yang hanya naik sekitar 1%, seperti Kab. Bandung yang hanya naik 1,02%, Kab. Bandung Barat sebesar 0,80% atau Kab. Sumedang yang hanya naik sebesar 0,96%. Kenaikan upah yang kecil ini akan menjadi lebih tidak berarti karena harus dipaksa ditabungkan kepada negara.
Kenaikan upah pada tahun-tahun kedepanpun dipastikan akan tetap sama dengan tahun ini, tidak akan ada kenaikan upuah yang signifikan karena menggunakan formula PP 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, sebagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja.
Perlu digaris bawahi bahwa UMK dihitung berdasarkan kebutuhan hidup hanya untuk 1 (satu) orang buruh dalam memenuhi kebutuhan mendasar selama satu bulan. Biaya untuk kebutuhan mendasar ini akan berkurang karena dipaksa ditabungkan untuk Tapera. Hal ini artinya buruh dipaksa untuk mengorbankan biaya untuk kebutuhan mendasarnya, buruh akan berpotensi besar untuk berhutang atau bahkan bekerja dengan jam kerja yang panjang untuk mendapatkan upah tambahan seperti lembur atau menambah pekerjaan lain. Pada akhirnya, secara sistematis buruh akan semakin rentan untuk sakit akibat stress kerja atau penyakit akibat kerja lainnya karena kekurangan istirahat. Ketika buruh sakit, ini akan menjadi beban ekonomi tersendiri bagi buruh.
Cakupan kepesertaan Tapera juga akan diperluas bagi para buruh asalkan memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta. Maka pekerja mandiri, termasuk buruh dengan status kerja yang fleksibel seperti ojol, kurir, hingga freelancer juga wajib menjadi peserta Tapera dan harus menanggung sendiri iuran sebesar 3% dari penghasilan yang dilaporkan. Selama ini, para buruh dengan sistem kerja yang fleksibel ini rentan mendapatkan perlindungan. Jika kita berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, para pekerja seperti ojol tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) karena hubungan kerjanya dianggap sebagai kemitraan, bukan pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) apalagi pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Pemberlakukan Tapera seolah tidak sensitif terhadap nasib para buruh saat ini. Hak buruh untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan semakin rentan untuk dikorbankan. Kepesertaan Tapera yang bersifat wajib dikhawatirkan akan mendorong adanya PHK massal dengan alasan efisiensi atau menambah biaya untuk buruh, karena aturan Tapera terbaru akan semakin menambah beban baru bagi Pemberi Kerja. Ditambah dengan adanya Sanksi jika tidak mendaftarkan pekerjanya jika tidak didaftarkan sebagai peserta Tapera, yaitu Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, mempublikasikan ketidak-patuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, dan/atau pencabutan izin usaha.
Berdasarkan data pemerintah, selama satu dekade terakhir, ada sekitar 12 Juta masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rumah. Hal ini sesungguhnya dikarenakan tidak adanya jaminan atas upah yang layak dan juga kepastian kerja karena hubungan kerja yang semakin fleksibel. Sementara harga tanah atau rumah juga terus meningkat.
UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya adalah salah satu biang keladi dari penerapan sistem upah murah dan fleksibilitas tenaga kerja saat ini. Maka sudah seharusnya pemerintah mencabut UU Cipta Kerja beserta dengan peraturan Tapera. Tentu saja tanpa menghilangkan kewajiban pemerintah sesuai amanat UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 yang dimana; “setiap warga negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan Kesehatan”
Penulis : Ajat Sudrajat – Local Initiative for Occupational Safety and Health Network (LION)